Quantcast
Channel: Riza Almanfaluthi
Viewing all 861 articles
Browse latest View live

Dari Mereka Saya Belajar Lagi

$
0
0


Above the sky

Pagi itu, lebih dari 30 ribu kaki di atas permukaan laut, awan putih di langit Aceh bergulung-gulung seperti permadani. Cahaya kuning matahari yang baru saja terbit menghiasinya. Memesona saya yang berada di balik jendela Boeing 737-900ER yang menuju Jakarta ini. Ini perjalanan biasa, sekali dalam sebulan dari Tanah Rencong.

Selagi menikmati pemandangan luar biasa itu, saya teringat sesuatu. Sebuah amanah yang harus saya tunaikan segera. Membaca 20 artikel dan menilainya. Sebenarnya, membaca adalah sebuah kebiasaan yang tak bisa saya tampik saat terbang. Dan ketika lelahnya mendera, maka tidur menjadi obat setelahnya.

Saat ini adalah saat yang tepat untuk melakukannya ketika jiwa telah dipenuhi dengan rasa puas terhadap keindahan, akal jernih di pagi hari yang belum tercemari polusi masalah kehidupan, dan badan yang insya Allah senantiasa diberi kesehatan.

Saya membuka tablet Samsung saya. Dan mulai membaca. Membaca sebuah pengalaman hidup yang diceritakan oleh para perempuan. Mereka adalah para istri pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Institusi terbesar dalam mengumpulkan uang untuk membiayai berjalannya Republik ini. Mereka mengadakan sayembara menulis tentang suka duka menjadi istri pegawai DJP.

Saya beruntung diminta menjadi juri dalam sayembara itu. Ini berarti anugerah. Sebuah kesempatan langka untuk menyelami hati terdalam para perempuan. Maka membaca tulisan itu adalah membaca hati mereka sembari menghitung tetesan air mata mereka yang jatuh berderai karena hidup yang harus berpisah dengan para terkasih.

Membaca karya mereka adalah membaca kerja nyata tak kenal menyerah dalam memelihara asa, menernak rasa syukur, menumbuhkan empati yang teramat dalam. Dan kebetulan, saya adalah laki-laki yang saat ini sedang ditakdirkan untuk jauh dari keluarga, maka insya Allah saya tahu betul psikologis orang yang sedang berjauhan.

Di sana ada rindu yang menyelinap diam-diam dalam relung-relung kalbu. Ada kerja dakwah yang terwujud untuk memberi kemanfaatan sebanyak-banyaknya kepada orang lain. Ada harapan yang tak kunjung padam di setiap harinya. Mungkin kabar menggembirakan dalam bentuk sebuah surat panggilan diklat, surat keputusan mutasi, atau pengumuman kelulusan tugas belajar dalam kedinasan. Karena itu cara terindah yang Allah berikan untuk bisa berkumpul dan bersatu dengan kekasih tercinta.

Maka izinkan saya untuk tersenyum simpul saat membaca tulisan mereka. Sesekali cerita mereka ada yang berkembaran dengan perjalanan hidup saya, dulu, saat masih muda dan seusia mereka. Ada beberapa yang menghentak hati, bahkan membuat mata saya menjadi telaga. Swear…

Buat saya, apa yang mereka tulis tentang perjalanan mereka dari Aceh hingga Papua adalah sebuah langkah kecil untuk menjadi penulis hebat. Semuanya. Tak terkecuali. Tak masalah pada akhirnya saya harus memilih lima yang terbaik.

Dan langkah-langkah kecil itu akan menjadi langkah tegap, bertenaga, dan bernas ketika dihinggapi sebuah kesadaran: “Saya harus belajar lagi. Saya harus tetap menulis. Kapanpun.”

Izinkan pula saya untuk memberi sedikit racikan buat menambah kelezatan tulisan mereka. Penulis sejati tak pernah melewatkan usaha menyunting. Ya menyunting. Jangan pernah tak melakukan upaya ini saat mengirimkan tulisan untuk lomba.

Menyunting berarti memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil yang tak perlu. Bacalah berulang kali sebelum “sent”. Saya membiasakan 10 kali membaca ulang. Membacanya pun tidak sekaligus di waktu yang sama. Karena bisa jadi sebuah kesalahan akan ditemukan pada saat membaca untuk yang kelima kalinya.

Dengan cara itu, setidaknya membawa kontribusi besar dalam penilaian juri dan editor terhadap tulisan-tulisan saya yang saya ikutkan lomba dan saya masukkan ke koran. Terakhir resensi saya di koran Republika tidak ada satu huruf pun yang diedit oleh editor. Jika saya saja bisa, apatah lagi mereka. Ah, seiring dengan berjalannya waktu, saya yakin mereka bisa.

Di bawah ini ada 5 prinsip untuk menjadi juara lomba menulis. Sudah pernah saya tulis di blog saya di sini. Barangkali bisa menjadi bekal buat mereka, para perempuan penulis.

Pertama, saya meyakini betul bahwa konsistensi dalam menulis itu penting. Entah mau menulis apa yang penting punya target dalam waktu tertentu untuk menghasilkan karya tulisan. Sekarang sudah tersedia banyak media untuk menyalurkan hasrat menulis. Terkecuali Anda hanya menyukai buku diari maka blog tentu bisa menjadi pilihan lainnya.

Kedua, banyak belajar, terus menerus belajar dengan membaca tulisan, artikel, atau karya orang hebat lainnya. Lagi-lagi hal ini terkait dengan banyak baca. Anda banyak baca, Anda akan punya banyak referensi, dan Anda akan mendapatkan banyak ide.

Ketiga, ikuti banyak lomba menulis agar semangat berkompetisi terjaga. Jangan pernah takut kalah. Jangan pernah merasa Anda tidak layak ikut karena kemampuan Anda belumlah seberapa. Suatu saat saya mengumumkan suatu lomba menulis di sebuah grup. Seorang teman menyeletuk bahwa dirinya tidak akan pernah menang selama saya juga ikut menjadi peserta lomba. Ini terlalu berlebihan. Saya belum seberapa hebatnya. Kalaupun saya ikut, belum tentu saya juga bisa menang. Kebetulan saya tidak boleh ikut dalam lomba menulis itu karena saya adalah juri lomba.

Keempat, setelah dalam tempo tertentu mengikuti banyak lomba maka ada saat untuk pilih-pilih lomba. Tidak semua lomba harus diikuti. Ingatlah kepada petenis kawakan dunia, para pemenang grand slam, mereka hanya mengikuti lomba yang sesuai level mereka. Anda sesungguhnya ingin menjadi katak kecil dalam kolam besar atau menjadi katak besar dalam kolam kecil?

Kelima, jangan pernah menyerah. Ini sebuah karakter yang mesti dimiliki oleh siapa pun dan dalam bidang apa pun. Jadikan ketidakberhasilan, ketidakberdayaan, ke-iri-an Anda menjadi pemicu Anda menuju keberhasilan.

*

Sekarang tulisan mereka sedang digodok oleh dua juri yang lain. Buat pemenang saya ucapkan selamat. Barakallah.

Sudah berpanjang kalam, semoga tak membosankan. Ah kiranya cukup bekal buat mereka. Saya berharap, mereka tetaplah memelihara harapan. Dan menyandarkan harapan itu kepada Sang Maha Pemberi Harapan. Ialah tempat melabuhkan sejuta asa kita.

Dari mereka, saya belajar lagi, tertatih-tatih, tentang memelihara harapan.

Sejuta jura. Tabik.


***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 30 Desember 2015


Filed under: Motivasi, Tips Menulis Tagged: 5 prinsip jadi juara lomba menulis, aceh, Boeing 737-900ER, lomba menulis, papua, persatuan istri pegawai direktorat jendral pajak, pipdjp, tanah rencong

Mereka Berhasil Menurunkan Berat Badannya

$
0
0


Kalau tulisan saya itu ternyata membawa manfaat buat orang lain, saya sudah cukup senang. Beberapa orang yang berhasil menurunkan berat badannya dan terinspirasi untuk menjalani Freeletics serta meniru apa yang saya lakukan memberikan komentar dan pendapatnya.

Dari Muhammad Iman Santosa yang berhasil menurunkan berat badannya dari 97 kg menjadi 83 kg.

Assalamualaikum,wr.wb…blog ini sangat berguna sekali untuk saya…tadinya saya pikir saya doang yg dibilang penyakitan krn berat badan drop krn workout…berat sy dr 97 Kg turun menjadi 83 kg..itu dalam waktu sekitar 4 bulan, tinggi saya 183..saya dibilang sakit gula, stress dll..saya blm sampe 5 minggu…menu latihan pun masih amburadul karna tdk pake coach..alhamdulillah dgn blog ini insaaallah latihan lebih teratur…terimakasih..

Lalu ada dari Evan Chandra yang berhasil menurunkan berat badannya sebanyak 5 kg dalam dua minggu dari 97 kg menjadi 92kg. Berikut testimoninya.

5 kg dalam 2 minggu bener2 super freeletics. Walaupun belum keliatan mengempis tapi udah berasa enteng walaupun masih pre workour.

Evan ini hanya saya motivasi via Facebook Messenger dan tidak setiap saat saya bimbing. Tapi benar-benar berhasil. Dan Evan sampai saat ini masih terus menjalani Freeleticsnya. Pada saat saya menulis ini, Evan menginformasikan kalau berat badannya sudah 88 kg.

Ada lagi dari Boy-Alton Arif. Yang diam-diam ternyata ikutan Freeletics pakai coach juga. Begini testimoninya.

Kan sbnrnya gara2 mas jg gw subscribe coach. Gw liat mas konsisten bgt dan sukses, makanya gw subscribe biar ngikut jejak jg. Waktu mas pertama kali wo yg dr pdf gw jg ikutan yg cardio, beda 5 mingguan kalo gak salah. Tp sejak minggu ke-8 gw berhenti gara2 sakit 2 minggu eh pas mulai lg badan sakit2 kaya dari nol lg. Skrng ikut coach biar ada rasa terpaksanya mas. Harus dipaksa biar biasa…hehehe

Ada juga teman yang kemudian beli menu latihan selama setahun supaya bisa konsisten dalam berlatih dalam rangka menguruskan badannya. Iya, soalnya sudah beli mahal-mahal masak tidak berlatih. Sayang duitnya kan? Karena teman saya ini tak punya kartu kredit, akhirnya saya bantu dengan menggunakan kartu kredit saya supaya bisa konsisten berlatih.

Ini sebagian dari testimoni orang-orang yang saya pun tidak kenal dekat dengan mereka. Tetapi berhasil menurunkan berat badannya dan berkeinginan untuk konsisten dalam Freeletics. Mereka tidak saya bimbing, kalau saya bimbing cuma sekali atau beberapa kali, lalu menjalani latihannya sendirian. Jadi tetaplah berlatih, bersama atau tidak bersama dengan saya.

Freeletics memang “individualis” banget. Ini operasi senyap. Saya juga dulu latihannya selalu sendirian. Siang atau pun malam. Gratisan lagi. Dan berhasil. Ya, sampai akhir 2015 saya masih menggunakan menu gratisan. Artinya apa? Gratisan atau berbayar bukan kuncinya. Kuncinya konsistensi.

Kunci untuk bisa konsistensi itu bagaimana? Tetap menjaga motivasi. Bahwa yang saya lakukan adalah kerja jangka panjang, bukan jangka pendek, sehingga perlu menjaga nafas panjangnya. Bukan untuk gaya-gayaan. Tapi kesehatan di masa depan insya Allah. Jadi saya pun tidak serakah untuk latihan. Semua terukur dan ada menunya. Tidak ikut-ikutan.

Jadi buat yang merasa gagal melulu dalam konsistensi latihannya perlu ditanyakan dalam hati yang paling dalam. Ikutan ini buat apa? Buat gaya? Kalau buat gaya, itu akan capek sendiri. Beneran.

Btw, sudah setahun lebih saya berkecimpung di dunia Freeletics. Sebagai pertempuran dalam mengarungi lautan sepi di Tapaktuan. And how about my greatness? Ada 7138 menit, 17285 burpee, 25545 situps. Ini hanya sebagiannya saja.





Sekarang sudah di level 50, sebentar lagi level 51. Sudah 512 workout saya jalani dengan poin 185.622. Ini hanya angka. Statistik belaka. Tak ada yang perlu dibanggakan.

Saya yakin masih banyak yang membaca blog saya lalu terinspirasi dan tetap fokus berlatih walau tidak pernah memberitahu saya. Untuk itu saya hanya bilang: “Jaga fokus dan teruslah berlatih.” Key Success is kunci kesuksesan. Ya iyalah. I believe, you can achieve your dream.

Dan di awal tahun 2016 ini tidak tahu kenapa tiba-tiba saya dapat menu gratisan. Dapat 3 bulan ditambah 3 minggu menu latihan gratis karena share di Facebook tentang my greatness. Fasilitas gratis ini sampai awal bulan Mei 2016. Lumayan. Karena dapat gratis itu jadinya saya belum beli dulu. Padahal di bulan Januari 2016 ini lagi musim-musim diskonnya. Sampai 30%. Lagi murah-murahnya.

So, di awal 2016 ini saya mengajak teman-teman. Buat teman-teman yang mau dan berniat dalam menurunkan berat badan lalu menjaga kebugaran dan mau menjajal menu latihan pakai coach selama dua minggu dan gratis, silakan klik link ini: TRAIN WITH FRIENDS. Waktunya terbatas.

Sudah sampai di sini dulu yah. Buat yang sudah berhasil, saya cuma minta didoakan saja dari kalian. Doa kebaikan apa saja.

Dan, masih ada yang mau testimoni lagi? Silakan.


***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 2 Januari 2015



Filed under: freeletics, Motivasi Tagged: blog freeletics, Boy-Alton Arif, Evan Chandra, FREELETICS, freeletics blog, freeletics coach, freeletics free, konsistensi, Mereka Berhasil Menurunkan Berat Badannya, Muhammad Iman Santosa

Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini

$
0
0


(Ilustrasi Engkong via segalainfo.com)

Engkong ini bapaknya Enyak yang sering bantuin di rumah kami. Kemarin, Engkong meninggal. Memang sudah waktunya. Umurnya sudah seratus tahun lebih—semoga Allah memberikan tempat yang terbaik buatnya. Lah, kalau yang masih muda mati emang bukan waktunya? Waktunya juga sih. Maksudnya yang tuaan udah kelamaan hidup di dunia begitu.

Tanah kuburan masih merah, kembang setaman belumlah juga layu, kendinya pun masih tegak berdiri, sang anak perempuan Enyak bilang, “Nyak kalau ngeliat kondisi kayak gini, jadi ngeri Nyak.”

“Ëmang nape?” tanya Enyak.

“Ya, ada orang mati yang hidup jadi tambah susah gini. Enyak kalau meninggal jangan sampe kagak ninggalin banda dah.” Banda itu maksudnya harta dalam bahasa Betawi Ora. Betawi Ora itu komunitas betawi yang tinggal di pinggiran kota Jakarta. Di Bekasi banyak, di Bogor bergelimang, Depok apalagi, di Tangerang juga sama bae.

Keluarga Enyak memang keluarga kurang mampu. Dan mereka berlima—anak-anaknya Engkong—harus menanggung semua biaya yang timbul dari pengurusan jenazah mulai A sampai Z, kalau dari AR namanya Account Representative.

Memang sudah keharusan sebagai anak yang berbakti. Juga sebuah kewajiban kifayah dalam hukum Islam, yang hidup harus mengurus yang mati. Dari zaman Jin Ifrit buang anak bahkan sebelumnya, kagak ada namanya yang mati bisa mandi sendiri, salat sendiri, jalan ke kuburan sendiri, sampai ngubur diri sendiri.

Kenapa anak perempuan Enyak a.k.a cucunya Engkong ini sampai mengeluh? Karena keluarga Enyak harus mempersiapkan duit banyak-banyak. Buat apa? Begini rinciannya.

Buat memandikan jenazahnya, ada kain kafan yang harus dibeli dan “ustad” yang HARUS dikasih kafalah. Semua bisa setengah juta lebih.

Setelah itu menyiapkan amplop yang diisi uang minimal 40 amplop. Buat siapa? Buat imam salat jenazah dan para makmum yang akan menyalatkan Engkong.

“Lah itu kan enggak ada aturannya dalam Islam Nyak,” sanggah saya.

“Ya, bagaimana ya, kalau enggak dikasih nanti kagak ikhlas. Kasihan Engkongnya,”kata Enyak.

“Nyak, kalau masalah ikhlas tidak ikhlas bukannya Engkong yang akan dipermasalahkan Allah, tapi yang salat jenazah tidak ikhlas itu yang akan bertanggung jawab,” kata saya yang tiba-tiba kayak ustad kondang di tv sambil kibasin sorban ke belakang.

Jadi ingat beberapa riwayat hadis tentang salat jenazah. Jika seseorang meninggal kemudian disalatkan oleh 40 orang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan memberikan syafaat mereka yang salat itu kepada jenazah. Dalam riwayat lain 100 orang, dan sebenarnya kalau tidak cukup 40 atau 100 orang jangan khawatir, karena dalam riwayat lain dan ulama telah menegaskan bahwa keutamaan itu bisa didapat dengan jumlah tiga shaf.

Enyak seharusnya tak perlu khawatir tentang ketidakikhlasan orang yang salat itu nanti akan menyebabkan berkurangnya jumlah 40 orang yang bertauhid dan memberikan syafaat kepada Engkong. Membentuk tiga shaf juga adalah sebuah keutamaan.

Dan kalau lingkungannya orang-orang saleh dan paham tentu tak akan mau ketinggalan dalam salat jenazah. Karena salat jenazah adalah sunnah yang disyariatkan baginda nabi. Tentu tidak akan susah juga buat mengumpulkan 40 orang di masjid. Dan ini balik juga kepada amalan orang yang meninggal itu selama hidupnya.

Terus usaha keluarga Enyak untuk mempersiapkan segalanya tidak berhenti sampai di situ. Habis penguburan, para pekerja gali kubur akan datang ke rumahnya Engkong buat makan, sebagai upah atas jerih payah mereka gali dan tutup kubur. Itu belum menghitung berapa rupiah yang dikeluarkan untuk sepetak tanah di pekuburan.

Lalu malamnya ada tahlilan sampai tujuh hari. Terutama di malam ketiga dan malam ketujuh, keluarga Enyak harus mempersiapkan sesuatu yang istimewa terutama besek berisi nasi dan lauk pauk buat para tetangga yang ikutan tahlilan. Kalau enggak istimewa jadi omongan. Sekarang zamannya Kentaki Pred Ciken (baca: ayam goreng tepung) dan bukannya iwak gesek.

Ya Robb, keluarga Enyak sudah ngasih juga sudah syukur ya. Jangan sampai dah ya, kalau ikut tahlilan di orang kaya zikirnya kencang dan mantap kayak suara Singa, tapi kalau di rumah orang miskin kayak burung emprit. (Ketahuan banget nih sering nonton Nat Geo Wild).

Saya tidak mempermasalahkan masalah tahlilannya. Tapi jangan sampai tuh yang ketiban musibah jadi repot dan malah nambah keblangsak. Yang hadir harus tahu diri. Nah, parahnya ada di bagian setelah ini. Apaan tuh?

Keluarga Enyak harus menyiapkan duit minimal tujuh juta rupiah. Buat apa Cang? Buat orang yang ngaji semalaman habis tahlilan sampai jam empat pagi sampai hari ketujuh. What? 7 Juta? Itu pun harga nego keluarga Enyak kepada cucunya Engkong yang kebetulan sebagai pimpinan grup ngaji itu. Kok sama Engkong sendiri kasih tarif juga yak?

Jadi kebiasaan di kampung itu, kalau ada yang meninggal pun dingajiin. Biasanya malah tempatnya di kuburannya yang meninggal. Tapi ini di rumah. Berapa lama? Ya tujuh hari. Dingajiin buat ngademin yang dikubur kata mereka. Wallahua’lam.

“Nyak sepengetahuan saya itu enggak wajib Nyak dalam Islam. Enggak ada. Enggak kudu begitu,” kata saya. “Kagak dingajiin juga kagak napa. Yang penting anak-anaknya doain terus. Jangan sampai lupa. Jangan sampai putus. Itu kewajiban anak kepada orang tuanya yang udah meninggal,” tambah saya.

“Ya gimane lagi. Itu sudah tradisi,” kata Enyak. Demikianlah, sekelumit cerita. Benar kata orang yang pernah beresin rumah saya. Dia bilang, “Kalau mati kudu siap uang 20 juta buat begituan di kampung onoh.” Orang kaya mungkin tidak akan jadi masalah, karena mereka mampu dan jadikan itu semua sebagai sarana sedekah. Sedekah atas nama yang meninggal itu pasti sebuah amal yang diterima. Perbuatan yang disyariatkan.

Tapi kalau sudah ditiru dan sudah dijadikan kewajiban oleh orang yang tidak mampu, jadinya masalah. Mereka yang ditinggal jadi pusing dan enggak jadi kuat ekonominya sehabis meninggalnya almarhum. Kasihan anak yatimnya. Dan sayangnya dilestarikan juga oleh ustad-ustad yang setidaknya mengerti di kampung itu. Di sini saya enggak akan bahas masalah bidáh atau tidak bidáh. Itu urusan orang lain dulu yah.

Ayat yang yang saya kutip di bawah bukan karena saya hapal, saya hanya kopas doang. Dan ini mengerikan.

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. 4 : 9).

Saya jadi membandingkan dengan kegiatan mereka dalam kegiatan ta’áwun (tolong menolong) di komplek saya terutama di lingkungan saya ketika ada yang meninggal. Ada dana kematian dari RT yang dikumpulkan setiap bulan untuk biaya ambulan atau tanah pekuburan. Ada infak buat yang meninggal dan juga biaya penguburan dari RW. Tenda dan masalah administrasi disediakan gratis oleh RW.

Ibu-ibu PKK juga ikut turun tangan kasih sumbangan. Orang masjid menyiapkan kain kafan, peralatan pemandian, keranda, dan urusan salat jenazah secara gratis. Ibu-ibu RT menyiapkan minuman dan makanan selama tiga hari buat yang kemalangan. Semuanya turut membantu.

Masalah ini masih jadi PR buat umat. Masalah yang enggak ada harus diada-adakan. Ini Problem dengan huruf p besar. Jangan sampailah kita menyusahkan keluarga yang sudah meninggal. Sebaliknya bantu. Bantu. Bantu. Kuatkan anak-anak yatim mereka, bukannya morotin. Bagen dah ah…

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak.” Lalu Rasulullah SAW menyebut salah satu di antara ialah: “Memakan harta anak yatim.” Ngeri dah ya…

Semoga Enyak tak tambah pusing karena sudah diminta sama anak perempuannya buat ninggalin banda sebanyak-banyaknya.

Islam itu mudah. Itu saja sih. Oh iya ini bukan kajian ilmiah. Jauhi debat. Kuatkan ukhuwah.

***

Riza Almanfaluthi

Hamba Allah yang fakir cinta-Nya

Tapaktuan, 7 Januari 2015.



Filed under: AlMaut, Kisah Sederhana, Tarbiyah Tagged: account representative, Betawi Ora, Engkong, Enyak, Nat Geo Wild, Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini, tahlilan, tradisi

Cinta Tak Lekang Sabari

$
0
0


Judul        : Ayah

Penulis    : Andrea Hirata

Penerbit    : Bentang Pustaka

Terbit    : Cetakan Keenam, Agustus 2015

Tebal     : xx + 412 halaman

Sabari sudah kadung cinta kepada Marlena sejak SMP, sampai SMA, kemudian lulus. Tapi apa daya cintanya selalu ditolak Lena. Tak pernah hidupnya berpaling dari Lena, si cantik pemberontak berlesung pipit, hingga semua yang dikerjakan dalam hidupnya hanya untuk sebuah obsesi: cinta Lena.

Kemudian Sabari ketiban pulung, kalau tidak disebut mengorbankan dirinya. Karena suatu sebab, Sabari diminta Markoni untuk menikahi Lena. Walau mereka sudah menikah, tak pernah mereka hidup serumah. Hingga Si L dan seluruh kebaikan yang dibawa—sebutan Sabari kepada Lenamelahirkan anak yang kemudian biasa dipanggil Zorro.

Walau bukan anaknya, Zorrolah yang menjadi pelipur lara atas cinta Sabari kepada Lena. Zorro adalah hidupnya Sabari. Maka kehidupan hanyalah sekumpulan kelinglungan ketika Lena menceraikannya kemudian Zorro pun dicerabut dari dirinya.

Sesungguhnya membaca novel ini seperti mengilas balik kisah lama kenaifan tokoh Forrest Gump dalam film Forrest Gump, kegigihan seorang ayah bernama Chow Ti dalam CJ7, atau kesetiaan sampai mati yang melekat pada Baridin dalam cerita legenda masyarakat Cirebon: Ratminah dan Baridin. Untuk yang terakhir, singkirkan gendam dan ketidakadarestuan ayah sang perempuan.

Tapi walau demikian kekuatan dalam novel yang bertaburkan puisi ini tak mesti berhenti karena sebab-sebab di atas. Seperti biasa dan seperti dalam novel-novel terdahulunya Andrea mahir dalam bermetafora, personifikasi, simile. Andrea juga masih mampu membuat pembaca novelnya tertawa terbahak-bahak, menangis, melupakan, dan menyembunyikan satu tokohnya tanpa sadar hingga kemudian ia muncul di akhir cerita.

Karakter para tokoh dalam novel ini pun kuat sekali kecuali untuk Sang Aborigin, Brother Niel Wuruninga, yang terkesan hanya sebagai pelengkap cerita belaka. Sebagai “sang terpilih” karena ia menemukan seekor Penyu yang kakinya diikat dengan lempengan alumunium bertuliskan pesan dari Indonesia Lonely Man kepada dunia.

Sebagaimana buku-buku lain, novel Andrea tak luput dari kekurangan. Perancang sampul novel ini barangkali tidak membaca atau lupa bahwa sepeda yang dipakai oleh Sabari bukan seperti yang digambarkan Andrea.

Ada satu elemen yang ditinggalkan dalam gambar sampul dan simbol sepeda yang menjadi pemisah bagian cerita dalam sebuah bab. Seharusnya ilustrasi sepeda itu lengkap bersama boncengan rotan yang disematkan di setang sepeda tempat Zorro ditaruh dan diajak berkeliling oleh Sabari.

Dalam cetakan keenam ini buku Andrea pun tak lepas dari kesalahan ketik yang semestinya tak perlu pada beberapa halamannya. Padahal buku ini digawangi oleh satu penyunting dan dua pemeriksa aksara.

Ah, ini tak seberapa dengan kedalaman makna dari novel Andrea yang filmis ini. Bahkan dari deskripsi Andrea setidaknya ada beberapa orang yang sepertinya layak dalam memerankan tokoh utama Sabari jika difilmkan. Salah satu di antaranya adalah Ringgo Agus Rahman.

Novel yang diselesaikan oleh Andrea Hirata dalam jangka waktu 6 tahun ini memang pantas menambah khazanah sastra Indonesia dan layak untuk dibaca. Apalagi bab terakhirnya. Baridin banget!

[Riza Almanfaluthi]

Resensi ini dimuat di Dakwatuna.com

http://www.dakwatuna.com/2016/01/11/78057/78057/#axzz3wvZki6JZ



Filed under: Buku, Resensi Tagged: Aborigin, Andrea Hirata, ayah, baridin, Bentang Pustaka, Brother Niel Wuruninga, Chow Ti, CJ7, Forrest Gump, Indonesia Lonely Man, Lena, Markoni, Marlena, Ratminah, Ringgo Agus Rahman, Sabari, Zorro

5 Hal Untuk Antisipasi Tahun Penegakan Hukum

$
0
0


Anton (bukan nama sebenarnya) panik siang itu. Dengan tergesa-gesa ia mengontak istrinya yang berada di rumah. Rupanya, ia mau mengabarkan kalau pabriknya sudah digerebek petugas pajak dan aparat kepolisian.

Anton tak menyadari bahwa pengabaiannya terhadap pelaporan pajak berbuah petaka. Sampai suatu ketika rekening banknya diblokir, dicegah bepergian ke luar negeri, hingga kini berujung pada proses penyanderaan.

Sayangnya di tahun 2015, ia pun tak memanfaatkan program penghapusan sanksi administrasi yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hingga Tahun Pembinaan Wajib Pajak itu berakhir dan tibalah tahun 2016.

DJP telah mencanangkan tahun itu sebagai tahun penegakan hukum sebagai cerminan keadilan. Tahun yang memberikan pesan kepada Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar.

Jika tidak, maka akan dilakukan pemeriksaan sebagaimana yang Anton alami. Apabila ditemukan unsur-unsur yang merugikan Negara maka akan ditingkatkan menjadi penyelidikan dan penyidikan.

Tentu hal ini akan merugikan Anda sebagai Wajib Pajak. Yang pasti, biaya yang timbul dari kelalaian ini menjadi semakin besar dan tidak terkendali.

Berikut lima hal penting yang bisa Anda lakukan untuk mengantisipasinya agar Anda tidak menjadi Anton yang kedua.

  1. Konsultasikan Masalah Pajak Anda

Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak tempat Anda terdaftar sebagai Wajib Pajak akan siap memberikan konsultasi. Mereka akan melayani dan membantu Anda . Ini sangat menolong dalam merencanakan pajak Anda.

  1. Laporkan Semua Kewajiban Perpajakan Anda

Tidak ada yang ditutup-tutupi dan disembunyikan. Karena DJP telah bekerja sama dengan banyak instansi dan lembaga untuk memeroleh banyak data Wajib Pajak. Lebih baik laporkan sekarang daripada ditemukan oleh pemeriksa pajak yang bisa berujung pada pemeriksaan bahkan penyidikan.

  1. Jangan Sampai Terlambat Setor dan Lapor Pajak

Ini untuk menghindari sanksi perpajakan yang akan timbul. Sudah tidak ada lagi pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi perpajakan seperti di tahun 2015 lalu.

  1. Bayar Segera Utang Pajak Anda

Tindakan penagihan aktif akan terjadi jika Anda tidak membayar utang pajak Anda tepat waktu. Tindakan dari petugas pajak ini berupa pemberitahuan surat paksa, pemblokiran rekening, penyitaan, pencegahan, bahkan penyanderaan. Jika Anda tidak mampu membayarnya sekaligus, mencicil bisa menjadi jalan keluar.

  1. Kooperatif

Bekerja sama dengan petugas pajak dalam kelancaran pelaksanaan tugas mereka menjadi poin penting. Misalnya senantiasa memberikan dokumen, data, dan informasi yang diminta pemeriksa pajak. Dalam proses penagihan, Anda datang memenuhi undangan penyelesaian utang pajak Anda. Kerja sama Anda sangat menentukan dalam setiap prosesnya. (Riza Almanfaluthi)

Artikel ini dimuat pertama kali di:

http://www.pajak.go.id/content/article/5-hal-untuk-antisipasi-tahun-penegakan-hukum#.VpYNWqOz9VM.facebook


Filed under: Berita, Masalah Perpajakan Tagged: account representative, Direktorat Jenderal Pajak, DJP, pemblokiran rekening, pencegahan, penyanderaan, penyitaan, tahun 2015 tahun pembinaan wajib pajak, tahun 2016 tahun penegakan hukum, tahun pembinaan wajib pajak, tahun penegakan hukum

PEREWA

$
0
0

 


 

anak-anak puyuh riuh rendah kembali ke sarang

nikmatilah itu

enyami setiap dukanya

peluklah setiap sukanya

karena tak tempo lagi kau menitis garuda

tapaki gunung

terjangi awan-awan putih

renangi angin

hidup itu pendaran cinta dan benci

sebentuk perkelahian bergelimang madu dan berlumus nanah

semua menjadi raja pada waktunya

kukuh!

perewa!

tabah serupa hujan yang tumbuh di desember

anak-anak puyuh ribut kembali ke sarang

tak lama lagi menjelma garuda

***

 

 

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 3 Januari 2015

Foto: istimewa


Filed under: Poem Tagged: Puisi, puisi cinta, sajak, sajak cinta, Syair, syair cinta

Kartu NPWP Hilang? Ini Dia Cara Mengurusnya

$
0
0

Dulu yang namanya kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) itu hanya selembar kertas biasa. Sekarang sudah “wah”. Kayak kartu ATM. Ada garis magnet di belakang kartunya. Padahal itu artifisial belaka. Namun masih pantas jadi penghias dompet. Setara sama kartu debit atau kartu kredit yang ada di dompet Anda.

    Banyak sekali yang daftar ke kantor pajak buat mendapatkan kartu NPWP dan kebetulan saya sering melihat raut gembira di wajah Wajib Pajak saat menerima kartu NPWP yang keren itu. Padahal seharusnya mereka lebih paham lagi bahwa sejak mereka menerima kartu NPWP itu maka kewajiban perpajakan sudah menjadi tanggungan yang harus dipikul di pundak mereka. Seperti kewajiban penyetoran, pemotongan, dan pelaporan pajak.

Lalu bagaimana kalau kartu NPWP Anda terselip atau hilang? Padahal kartu NPWP itu dibutuhkan buat berbagai macam urusan. Gampang. Anda tinggal minta cetak ulang saja ke kantor pajak. Gratis lagi.

Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang cara cetak ulang kartu NPWP ini.

  1. Yang pasti, tak perlu surat keterangan hilang dari kepolisian.

  2. Seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di mana saja dapat melayani pencetakan ulang kartu NPWP atas Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menunjukkan KTP asli Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.

  3. Tapi untuk Wajib Pajak selain Wajib Pajak Orang Pribadi misalnya Wajib Pajak badan/perusahaan dilayani oleh KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha.

  4. Cetak ulang kartu NPWP dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dengan mengisi formulir seperti ini.



  5. Permohonan disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Nanti akan mendapatkan tanda terima Bukti Penerimaan Surat (BPS). Simpan BPS itu dengan baik.
  6. Permohonan juga bisa disampaikan ke KPP atau KP2KP via kantor pos. Resi pos dianggap sebagai tanda terima. Simpan resi itu dengan baik.
  7. Permohonan cetak ulang kartu NPWP belum bisa dilakukan secara elektronik.
  8. Dokumen yang harus dilengkapi adalah dokumen yang sama pada saat pertama kali mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Baca daftar dokumen ini.
  9. Jangka waktu penyelesaian layanan cetak ulang kartu NPWP paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah penerbitan BPS.
  10. Bisa jadi Anda baru mendaftarkan diri atau perusahaan Anda sebagai Wajib Pajak tetapi kemudian kartu NPWP-nya langsung hilang, maka permohonan cetak ulang kartu NPWP dapat diajukan setelah satu bulan sejak tanggal mulai terdaftar sebagai Wajib Pajak.

Semoga bermanfaat.

Sumber referensi:

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tanggal 30 Mei 2013;
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-38/PJ/2013 tanggal 8 November 2013;
  3. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-60/PJ/2013 tanggal 24 Desember 2013.

***

Riza Almanfaluthi

18 Tapaktuan 2016

Sumber gambar: pradirwancell.blogspot.com

TAGS:

Kartu npwp hilang, cara minta kartu npwp baru, cara minta kartu npwp di kantor pajak, cara cetak ulang kartu npwp, cetak ulang kartu npwp, kartu npwp saya hilang, kartu npwp saya dicuri, kartu npwp, cara bikin kartu npwp, cara buat kartu npwp


Filed under: Masalah Perpajakan, Tutorial Tagged: cara bikin kartu npwp, cara buat kartu npwp, cara cetak ulang kartu npwp, cara minta kartu npwp baru, cara minta kartu npwp di kantor pajak, cetak ulang kartu npwp, kartu npwp, Kartu npwp hilang, kartu npwp saya dicuri, kartu npwp saya hilang

RUNNING IN THE RAIN

$
0
0


Langit Cibinong mulai gelap di pagi itu. Tapi keramaian di Jalan Tegar Beriman Pemda Cibinong masih tampak. Jalanan yang bersih dari pedagang sekarang, banyak memberi ruang kepada para pengguna jalan terutama mereka yang mau berolah raga di pagi minggu ini.

Pemuda-pemudi jalan-jalan santai. Aroma parfum menguar kalau saya melewati serombongan dari mereka. Ke mal atau olah raga? Bisa dihitung dengan jari yang benar-benar olah raga atau lari.

Beberapa di antara mereka berkehendak untuk lari, “Ayo lari,” kata salah satu dari mereka dan mereka pun berlari menyusul saya. Tapi itu tak akan lama seperti biasanya. Seratus meter mereka akan berhenti di hadapan saya. Dan benar, mereka berhenti. Jalan-jalan santai adalah kemestian, lari ya sekuatnya. Itu lebih baik daripada yang tidak bergerak sama sekali.

Langit pun menumpahkan deritanya. Tangisnya rintik-rintik. Lari di bawah rintik hujan bukan buat gaya-gayaan. Tapi ini memang jadwalnya buat lari dengan kenyataan yang sebenarnya: langit gelap. Mulanya cukup 10K saja. Tapi kok ini nafas masih kuat, kerongkongan masih belum panas, ya sudah lanjut saja 15K. Sebuah jarak yang jarang saya tempuh. Terakhir dan itu sekali-kalinya 10 bulan lalu. Di bulan Maret 2015 silam.

Ketika sudah mencapai 7,5K dan hampir sebentar lagi sampai ke Jalan Raya Bogor saya putar balik dan mulai memikirkan buat mengulang 15K. Niat sudah dicanangkan, sekarang realisasinya saja. Kecepatan hanya saya jaga di 6 menit/km. Memang mampunya saya segitu.

Di kilometer 14 barulah langit tak malu-malu lagi menangis. Hujannya deras banget. Hahaha…berasa gimana gitu lari-lari waktu hujan. Yang tadinya haus sekarang tak haus lagi. Saya cukup buka mulut saja. Air hujan itu masuk membasahi kerongkongan saya.

Enaknya lari enggak bawa gadget ya begini. Saya tak perlu takut dengan hujan dan tak perlu meneduh. Enak lari tidak bawa headset—alat yang bikin tidak fokus dan perhatian kita sering teralihkan. Lari cukup bawa uang secukupnya yang saya selipkan di sepatu buat beli air minum. Lari cukup bawa jam tangan lari. Praktis.

Dan di garis finis di gerbang kompleks sebelah saya berhenti. Tepat di 15,02K. Masih finis dengan kuat alhamdulillah. Tidak haus dan tidak ngos-ngosan. Kaki belumlah juga memberikan sinyal-sinyal tubuh yang lelah berupa kram.

Dan di finis 15K ini waktunya 26 menit lebih cepat daripada 10 bulan yang lalu yang sampai 2 jam 4 menit. Sekarang berhenti di 1 jam 38 menit. Personal best baru buat 15K.

Insya Allah sebenarnya bisa yah mengulang kembali cerita lama tentang 21K. Tinggal 6K lagi tapi saya ingat Kinan di rumah menunggu bubur ayamnya. Saya mampir di tukang bubur ayam dan memesan satu porsi bubur ayam.

Asap masih mengepul dari bahu saya. Reaksi pertempuran hawa panas dalam tubuh dan hawa dingin luar tubuh. Hujan juga kebetulan sudah berhenti.

Kayaknya kalau memang mau lari 21K dengan finis masih kuat ya perlu dicari momen yang tepat, saat mendung, dan ketika matahari disembunyikannya. Saat gerimis. Saat hujan. Running in the rain. Jadi ingat sebuah puisinya Leon Agusta.

Gerimis Waktu
**
Gerangan di manakah?
Langkahnya selalu seperti bergegas
Entah mendekat atau menjauh tak bisa beda
Antara mereka yang selalu berbagi keriangan

Benderang cahaya jadi simfoni
mengembara mengiringi perjalanannya

Musim berganti datang dan pergi
menyimpan pesan dalam gerimis waktu
akankah keriangan sempat kembali
untuk berbagi?

*****

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Citayam, 24 Januari 2016



Filed under: freeletics Tagged: blog freeletics, blogger freeletics, cerita lari, FREELETICS, freeletics indonesia, freeletics journal, running, running 15k, running in the rain

KALAU SUAMIMU ITU

$
0
0


Yuk kita lihat masing-masing dari suami-suamimu. Walau banyak kekurangan yang ia miliki, namun ia pun punya banyak kebaikan yang patut disyukuri.

Bersyukurlah, kalau dari mulut suamimu tak pernah keluar kata-kata kotor, membentak-bentak kamu, dan memaki-maki kamu. Apalagi sampai gaplokin kamu, hingga dari sudut bibirmu keluar cairan berwarna merah, hingga sampai membuat gigimu rontok, atau matamu membengkak kena jab-nya. Na’údzubillah (semoga kita dilindungi Allah dari hal yang demikian). Bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu juga sayang dan perhatian sama anak-anakmu. Emangnya banyak yang enggak sayang dan tak peduli sama anak-anaknya? Banyak Bu. Maka bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu tak pernah lalai memberikan nafkah lahirnya kepadamu. Bahkan menyerahkan segala urusan keuangan dirinya dan rumah tangganya padamu. Itu tanda ia lebih percaya tentang kehebatan manajemen keuangan dirimu daripadanya. Bersyukurlah…

Apalagi kalau sudah urusan nafkah batin. Banyak loh suami yang tak sanggup memberikan hal yang satu ini. Kamu itu bukan malaikat yang tidak punya nafsu. Maka bersyukurlah, kamu dapat yang paling istimewa darinya.

Bersyukurlah, kalau suami kamu juga sering pergi ke masjid, itu tanda kesalehan. Apalagi orangnya betahan di rumah daripada pergi kelayapan tak karuan di luaran. Banyak loh yang merasa sumpek di rumah, jadi sering ninggalin kamu, dan enakan nongkrong sama teman-temannya entah di mana. Bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu itu orang biasa-biasa saja, tak terkenal kayak artis sebelah. Kalau enggak, kamu akan sering makan ati karena ia terperosok dalam banyak godaan. Bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu itu tidak suka judi, tidak minum, apalagi tidak merokok. Ini aja perlu disyukuri banyak-banyak. Yang pasti keuangan rumah tangga lebih aman. Memangnya banyak yang suka judi? Banyak. Apalagi sekarang sudah pada online. Judi bola, togel gelap, bahkan pelacuran online. Bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu itu masih menjadikan kamu satu-satunya wanita yang dinikahinya. Daripada tahu-tahu bilang kepadamu kalau ia sudah punya istri kedua tanpa sepengetahuan kamu. Enggak apa-apa sih kalau kamu ikhlas. Tapi kebanyakan pada bilang begini, “Sakitnya tuh di sini.” Bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu itu masih sering ngucapin ke kamu cinta dan sayang padahal yang kamu butuhin ke dia duit, duit, duit , dan duit. Hingga kamu sampai bilang, “Gua tak butuh sayang dan cinta elo, yang gue butuhin duit buat beli berlian eh beras.” Bu, duit memang penting tapi bukan yang terpenting kok Bu. Banyak loh yang wanita-wanitanya bergelimang harta tetapi tak pernah mendapatkan keluar dari mulut suaminya ucapan cinta dan sayang. Garing. Maka bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu itu masih hormat sama orang tua kamu bahkan ikut bantuin menafkahi orang tua dan keluargamu. Keren ih, bersyukurlah.

Bersyukurlah, kalau suamimu itu masih jadi anak berbakti sama orang tuanya, bahkan berbaktinya itu sampai keterlaluan, menyakitimu, membuatmu cemburu malah. Biarlah, ini tak akan lama. Semua ada waktunya. Jadikan ia anak yang saleh, tak semua bisa bersikap seperti itu. Maka bersyukurlah…

Bersyukurlah, kalau suamimu itu benar-benar menjaga dirinya dari barang-barang yang haram. Cari nafkah benar-benar yang halal walau itu dengan membanting tulang, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, jauh dari keluarga, pulang enggak tahu kapan waktunya. Karena ini berarti ia paham, ia tak mau istri dan anak-anaknya memakan barang haram. Ia seorang visioner. Tahu betul misi hidupnya: menjaga istri dan anak-anaknya dari api neraka. Bersyukurlah.

Bersyukurlah, kalau punya suami seperti ini, yang walau kamu ngomel-ngomel dan memarahin dia, suami kamu enggak ngeluh dan balas marahin kamu. Diam bae walau dimarahin. Keren ih… ini kayak Umar bin Khaththab aja. Sahabat yang ditakutin orang dan setan. Tapi diam aja kalau dimarahin istrinya.

Ini bukan soal suami-suami takut istri yah. Umar tuh sampai bilang begini ketika dikonfirmasi kenapa ia tidak balas menghardik istrinya. “Wahai, saudaraku, aku tetap sabar menghadapi perbuatannya karena itu memang kewajibanku. Bagaimana aku bisa marah kepada istriku karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya.” Keren suwer. Bersyukurlah…

Nih ya, walaupun ternyata suami kamu balas memarahin kamu sehingga terjadi pertengkaran seru seperti perang dunia, itu masih patut disyukuri karena ia tak menunjukkan pertengkarannya di hadapan anak-anak kamu, kalian bertengkar di dalam kamar. Kamu juga patut bersyukur kalau suami kamu tidak membanting dan melempar piring atau segala, hingga pertengkaran itu bikin geger satu RT, satu kompleks. Kasihan anak-anakmu kalau kalian bertengkar dan diketahui mereka. Bikin trauma mereka. Maka bersyukurlah…

Ah, banyak sekali kelebihan-kelebihan suami kamu itu sampai saya pun tak sanggup menuliskannya lagi. Suamimu itu bukan malaikat, bukan nabi, bukan rasul. Tak pernah menjadi sempurna. Tapi ia melengkapimu. Bahkan ketika suamimu hanya punya satu kelebihan saja dari yang di atas, itu saja sudah patut disyukuri. Maka ketika kamu sedang membencinya, sedang jutek kepadanya, ingat-ingat saja satu kelebihannya. Jangan memikirkan banyak kekurangannya. Ialah yang menjadikan kamu punya gelar sebagai “istri”.

Hidup itu masalah. Kalau hana masalah ya bukan hidup namanya. Semua insya Allah akan ada jalan keluarnya. Komunikasikan dengannya dan mintalah sama Allah.

Ála kulli hal, karena keterbatasan otak, wawasan, waktu, dan halaman saya yang membuat saya tak sanggup lagi mencatat kebaikan-kebaikan suami kamu. Kamu bisa menambahkannya di sini. Apalagi coba kebaikan suami kamu?

***

Riza Almanfaluthi

Tapaktuan, 29 Januari 2016

Hana, bahasa Aceh yang berarti tidak ada.


Filed under: Keluarga Tagged: bersyukur punya suami, cerita keluarga, kalau suamimu itu, parenting, pendidikan keluarga, pernak-pernik keluarga, suami, tarbiyatul aulad

Bukti Setor Pajak Anda Hilang? Jangan Panik

$
0
0


Namanya Gwenz, mengirim email kepada saya. Dia menanyakan sesuatu terkait perpajakan. Berikut pertanyaannya.

Saya ingin menanyakan. Saya lapor Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bulan November 2015, tapi saya salah lapor, seharusnya itu laporan pajak atas PPh Final 1% bulan November 2015. Berarti saya harus membuat permohonan pemindahbukuan (PBK), namun syarat PBK kan harus melampirkan bukti bayarnya, nah ada satu kendala saya atau kesulitan saya , bukti bayarnya itu hilang Pak. Bagaimana menurut Bapak baiknya?

Perlu diketahui bahwa Gwenz sudah membayar dengan memakai e-Billing melalui situs https://sse.pajak.go.id/ .

Jawab:

Untuk memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan dalam membayar pajak, serta dalam rangka peningkatan layanan, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) memberlakukan pembayaran pajak secara online melalui sIstem e-Billing sejak 1 Januari 2016.

Sistem pembayaran pajak melalui e-Billing ini menggantikan sistem pembayaran pajak yang berbasis manual.

Dalam keterangan persnya, Ditjen Pajak mengemukakan bahwa untuk mengakomodasi peralihan cara pembayaran pajak dari sistem manual ke sistem online melalui e-Billing, maka bank BUMN yaitu Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Tabungan Negara serta PT Pos Indonesia masih terus melayani pembayaran pajak secara manual hanya sampai tanggal 30 Juni 2016.

Jadi hanya 4 bank dan kantor pos saja yang masih melayani pembayaran pajak secara manual sampai dengan 30 Juni 2016. Membayar pajak di tempat selain itu harus via online dengan memakai kode billing.

Seperti diketahui bahwa untuk dapat menggunakan sistem e-Billing, Wajib Pajak perlu melakukan pendaftaran terlebih dahulu di alamat http://sse.pajak.go.id dengan memasukkan nomor NPWP dan alamat email.

Selanjutnya, Wajib Pajak tidak lagi menggunakan formulir setoran pajak melainkan mengisi data setoran pajak di alamat http://sse.pajak.go.id. Apabila data pembayaran pajak sudah benar, klik “Terbitkan Kode Billing”. Kode billing ini digunakan untuk melakukan pembayaran di Teller Bank/Pos Persepsi, ATM reguler, Mini ATM, atau internet banking.

Nah, Gwenz sudah mulai menggunakan pembayaran pajak via e-Billing. Masalahnya pembayaran yang ia lakukan salah dan bukti pembayaran dari Bank pun hilang. Bagaimana solusinya?

Jadi ketika Wajib Pajak datang ke bank/pos dengan membawa kode e-Billing, maka bank/pos wajib mencetak dan memberikan Bukti Penerimaan Negara (BPN). BPN ini kedudukannya disamakan dengan surat setoran pajak (SSP).

Bank/pos juga wajib menyediakan layanan pencetakan ulang BPN kepada Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor.

Bank/pos yang tidak mau menyediakan layanan ini berarti melanggar perjanjian kerjasama dengan pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.

Bank/pos akan dikenakan sanksi administratif berupa denda jika melanggar dan tidak memberikan pelayanan seperti di atas.

Layanan ini gratis karena bank/pos dilarang mengenakan biaya atas transaksi setoran penerimaan Negara kepada Wajib Pajak. Bank/pos sudah diberikan imbalan oleh pemerintah atas jasa pelayanan penerimaan negara untuk setiap kode billing yang berhasil ditransaksikan.

Gwenz bisa datang dengan ke bank/pos tempat Gwenz melakukan penyetoran pajaknya sambil memberikan data-data pembayaran seperti nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, tanggal penyetoran, dan jumlah pembayaran.

Bank/pos akan mencetak ulang BPN dan memberikannya kepada Gwenz.

Lalu bagaimana dengan pemindahbukuannya?

Bahwa ketika Gwenz tahu terjadi kesalahan dalam penyetoran maka Gwenz harus membuat surat permohonan pemindahbukuan yang disampaikan ke kantor pelayanan pajak tempat ia terdaftar sebagai Wajib Pajak.

Permohonan harus dilampiri dengan asli SSP (lembar ke-1), asli Surat Setoran Pabean Cukai dan Pajak (lembar ke-1), asli Bukti Pbk (lembar ke-1), dokumen BPN, atau asli bukti pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Mata Uang Dollar Amerika Serikat yang dimohonkan untuk dipindahbukukan (Pasal 17 ayat 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014).

Gwenz kehilangan SSP-nya maka Gwenz bisa menggunakan dokumen BPN tersebut. Dalam ketentuannya, BPN ini termasuk cetakan, salinan, dan fotokopinya, kedudukannya disamakan dengan SSP dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Jadi Gwenz boleh melampirkan BPN dari bank dalam bentuk cetakan aslinya, salinan, dan fotokopiannya dalam permohonan pemindahbukuannya itu. Ini tertera dalam Pasal 3 ayat (5) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ /2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik.

Kasus di atas juga bisa disamakan dalam hal Gwenz kehilangan struk bukti transaksi jika pembayaran pajaknya via ATM atau EDC. Dan apabila Gwenz kehilangan dokumen elektronik jika Gwenz melakukan pembayarannya melalui internet banking.

Demikian. Semoga bermanfaat.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014

Surat Direktur Nomor S-1327/PJ.02/2015

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

1 Februari 2016

Sumber gambar: minddisorders.com

 



Filed under: Masalah Perpajakan Tagged: bagaimana caranya mengganti ssp hilang, bagaimana caranya urus ssp hilang, bayar pajak via atm, bayar pajak via edc, bpn, bpn hilang, bukti bayar pajak hilang, bukti penerimaan Negara, bukti setor pajak hilang, Direktorat Jenderal Pajak, direktorat jenderal perbendaharaan, ditjen pajak, dokumen pemindahbukuan, e-billing, kode billing, kuasa bendahara umum Negara, kuasa bun, sagitha gwenz, SSP, Ssp hilang, sspcp, surat setoran pabean cukai pajak, surat setoran pabean cukai pajak hilang, surat setoran pajak, syarat pemindahbukuan

DIGERTAK ANJING

$
0
0

pekanbaru


Biasa mulai lari jam 6.30 pagi waktu Tapaktuan, ini berarti waktu yang terlambat di Pekanbaru. Jalanan ramai, padat, dan tidak friendly dengan pelari atau sejatinya karena saya salah arah? Kehendak awal mau susuri jalan lebar pusat kota Pekanbaru malah menyasar ke perumahan dengan jalanan yang barangkali pelari Kenya pun setidaknya akan berpikir dua kali untuk memecahkan waktu terbaiknya.

Jalanan yang menanjak itu menggetarkan saya. Mental tangguh belum ajeg terbangun. Membuat saya harus mengubah rute lari pagi di kota Madani ini. Saya masuk ke sebuah perumahan yang mayoritas penghuninya adalah Tionghoa. Menyusuri pinggiran sungai, melewati banyak kelenteng yang semarak dengan hiasan menyambut tahun baru imlek, dan tentunya makhluk berkaki empat: anjing.

Anjing pertama nongkrong di pinggiran jalan. Warnanya hitam. Dia sempat menengok kepada saya. Dia bergeming. Saya cukup waspada. Tetapi dia asyik menikmati pagi, acuh dengan keberadaan saya yang bergegas dan terengah-engah menyusuri kilometer kelima.

Anjing kedua saya temui ketika saya berbelok ke kanan, ke sebuah jalan buntu dengan palang kayu. Masih jauh sih ujungnya, tapi di ujung itu anjing jenis herder ini benar-benar di tengah jalan, sepi pula, tak ada orang. Benar-benar dengan kepala mendongak saat melihat saya. Seperti pengawal makam Firaun di piramid Giza. Ini bikin jiper. Tak mungkin saya melewatinya. Saya tak mau ambil risiko, sebelum saya head to head dengan anjing itu, saya putar balik. Saya bukan Cesar Millan, dog whisperer itu.

Saya harus segera keluar dari kompleks ini untuk kembali susuri jalanan ramai Pekanbaru. Persis di jalanan terakhir yang akan saya lalui menuju gerbang kompleks ini, tiba-tiba seekor anjing keluar dari sebuah rumah dengan salakannya yang nyaring. Mengejutkan. Sempat kaget dan berhenti sambil berteriak hush hush hush. Dia berhenti tak melanjutkan. Hmpfff…akhirnya saya lanjut lari lagi. Syukur, anjing itu tak mengejar, kalau tidak, saya tak tahu apakah jurus jongkok masih berlaku ampuh menghadapi anjing di zaman moderen ini.

Benar-benar tak tahu. Apakah selain DNA, ketakutan terhadap jongkoknya manusia juga diwariskan dari para indukan anjing kepada generasi penerusnya? Hati-hati Nak, kalau manusia jongkok itu berarti ia sedang bersiap-siap melempar batu yang akan membuatmu lari terkaing-kaing. Jadi berhentilah. Jangan mengejar. Benar-benar tak tahu.

Ketidaktahuan saya juga sejalan apakah anjing-anjing itu jantan atau betina. Padahal di Tapaktuan, masalah jenis kelamin itu penting dalam sebuah acara syukuran. Kambing yang dipotong haruslah jantan. Ini soal gengsi. Kambing jantan lebih mahal tapi dagingnya lebih sedikit daripada kambing betina. Padahal kalau sudah dibumbui dengan bumbu kari Aceh yang khas itu dan kalau telah masuk mulut kita tidaklah akan tahu daging yang sedang kita kunyah ini apakah daging dari kambing jantan atau betina.

Di Tapaktuan jarang saya temui anjing. Setelah dua tahun di sana baru saya menemukan sepasang anjing yang sedang mengais-ngais sampah di jalanan Tapaktuan di waktu shubuh. Itu pun mereka lari terbirit-birit ketika saya pura-pura jongkok. Mereka takut.

DNA mereka terwariskan bersama ketakutan melihat manusia jongkok. Tapi entahlah kalau pitbull yang berada di hadapan saya. Takut? Bisa jadi.

Tetaplah berlari.

Hog…hog…!!!

Catatan lari:

Tanggal Lari : 4 Februari 2016

Lokasi Lari : Kota Pekanbaru

Jarak tempuh : 10 km

Waktu tempuh : 01 jam 3 menit 34 detik

Pace : 6:21 menit/km

Kalori : 659 Kcal

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

Pekanbaru, 4 Februari 2015


Filed under: CATATAN SENIN KAMIS, freeletics Tagged: blog freeletics, blogger freeletics, cerita lari, FREELETICS, freeletics blog, freeletics blogger, freeletics running, imlek, lari di pekanbaru, pitbull, rakorgab djp se sumatera, running, running freeletics, tionghoa

DIREKTUR JENDERAL INI TIDAK PINTAR

$
0
0

Rumornya Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro sudah menggadang-gadang Ken Dwijugiasteadi sebagai Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak). Selama ini Ken didaulat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) mengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh Sigit Priadi Pramudito sejak Desember tahun lalu.

Jokowi tentu akan bertanya kepada Bambang, siapa Ken? Sebuah pertanyaan yang barangkali sudah ada jawabannya sejak ia menjabat sebagai Plt. Sebuah jabatan yang menurut Mardiasmo (Wakil Menteri Keuangan) bakal diemban Ken hanya dalam jangka waktu sebulan saja. Dan saat ini—Februari 2016—Ken masih sebagai Plt, belum definitif sebagai Dirjen Pajak.

Dengan tuntutan Presiden dan Menteri Keuangan yang semakin besar terhadap kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengumpulkan penerimaan negara di tahun 2016 sebesar 1360 trilyun rupiah maka kekosongan jabatan yang dibiarkan lama mengisyaratkan sesuatu yang paradoksal. Seperti butuh tak butuh.

Kalau sudah demikian, saya jadi teringat sebuah catatan kecil yang dibuat oleh Frans Seda saat menjadi Menteri Keuangan di era Orde Baru, di tahun 1966-1968. Catatan kecil berupa catatan kaki tentang penunjukan Salamun AT sebagai Dirjen. Catatan ini ada di sebuah bundel stensilan bahan kuliah istri saya di program Maksi Universitas Indonesia.

Bundel yang berjudul Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi ini merupakan kumpulan tulisan dari empu keuangan sejak zaman Frans Seda sampai era Anwar Supriyadi. Buku ini tergeletak di rak sebelah ranjang kami. Abadi dan konstan berada di sana acap kali saya terbangun dan duduk di pinggir ranjang berusaha mengumpulkan kekuatan ribuan kalori untuk membuka mata saat speaker tua milik masjid sebelah melolong-lolong memperdengarkan azan subuh.

Seraya itu, bundel yang sampulnya berwarna kuning ini mencolok mata menjulurkan gendamnya agar saya dapat merengkuhnya. Ia berhasil menghipnotis saya. Dan memang selalu itu yang saya raih saat pertama kali terbangun. Cuma buka-buka sepintas dan membukanya dengan cepat. Tapi itu membuat saya seringkali membaca dengan serius bab demi babnya ketika pagi menjelang. Refresh otak tentang fiskal dan moneter.

Nah, pada tahun 1966, Direktorat Jenderal Moneter baru dibentuk di bawah Kementerian Keuangan. Salamun Alfian Tjakradiwirja—biasa disebut Salamun AT—dilantik sebagai Direktur Jenderal. Awalnya orang Cirebon ini memang pegawai Djawatan Pajak. Sebelum dilantik menjadi Dirjen Moneter ia menjabat sebagai Kepala Biro Urusan Pendapatan Negara, Departemen Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan.

Pengangkatan Salamun AT bikin heboh karena tim Frans Seda mengangkat pegawai pajak sebagai Dirjen Moneter. Frans Seda menyebut Salamun sebagai pegawai “pojok” perpajakan. Sampai-sampai Presiden Soeharto menanyakan kepadanya mengapa mantan peserta diklat siasat gerilyawan di tahun 1947 ini yang diangkat.

Frans Seda waktu itu menjawab, “Dia kami kenal. Orangnya tidak pintar, tetapi berwatak dan loyal. Dalam situasi moneter yang kacau balau begini, kami memerlukan seorang yang begitu. Dan tidak ada orang di Republik ini dan di Departemen Keuangan dapat menyatakan bahwa ada tenaga yang lebih baik. Sebab Direktorat Jenderal ini adalah baru, yang baru kami instalasikan ini. Lagipula Bapak Presiden, di Departemen Keuangan itu ada 5 “Partai Politik”.”

Suharto waktu itu kaget. Frans Seda melanjutkan, “Ada Partai Siliwangi, Partai Diponegoro, Partai Brawijaya, dan dua Partai Tentara Pelajar. Saudara Salamun AT kebetulan dari Siliwangi.” Suharto diam dan menyetujui.

Kelak “orang yang tidak pintar” ini menjadi Dirjen Pajak menggantikan Sutadi Sukarya di tahun 1981 hingga 1988. Di masanya Tax Reform I dengan pemberlakuan Self Assessment System dimulai.

Sekarang, hanya perlu orang-orang dekat Presiden yang dapat meyakinkannya untuk segera menunjuk Dirjen Pajak. Barangkali, sepulangnya Bambang P.S. Brodjonegoro dari Amerika Serikat ada kabar yang dibawa.

Iya atau tidak. Setelah itu ya selesai. Kembali fokus mau dibawa ke mana DJP ini.

**

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

Tjitajam, 8 Februari 2016

Gambar via alphacoders.com



Filed under: Kisah Sederhana, Masalah Perpajakan, Opini Tagged: Anwar Supriyadi, Bambang P.S. Brodjonegoro, Departemen Urusan Pendapatan Pembiayaan dan Pengawasan, Direktorat Jenderal Moneter, Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak, dirjen pajak, Djawatan Pajak, DJP, Era Baru Kebijakan Fiskal Pemikiran Konsep dan Implementasi, Frans Seda Salamun AT, jokowi, kementerian keuangan, Ken Dwijugiasteadi, Kepala Biro Urusan Pendapatan Negara, Maksi Universitas Indonesia, Mardiasmo, Menteri Keuangan, Partai Brawijaya, Partai Diponegoro, Partai Siliwangi, Partai Tentara Pelajar, Pelaksana Tugas, Plt, Salamun Alfian Tjakradiwirja, Self Assessment System, Sigit Priadi Pramudito, Sutadi Sukarya, Tax Reform I, Wakil Menteri Keuangan

Gede Pangrango Altitude Run

$
0
0


Masih ingat cerita saya gara-gara ngeper sama tanjakan jadi saya pindah rute lari eh malah ketemu herder dan anjing yang mau mengejar saya? Sekarang saya enggak mau lagi kayak begitu.

Pagi-pagi ini saya harus memilih latihan Kronos Freeletics atau running. Saya pilih berlari. Karena mumpung enggak setiap saat ada di daerah Situ Gunung Gede Pangrango ini. Sekalian juga karena acara hari ini belumlah dimulai.

Jam tiga sudah terbangun karena Ustadz Eko Novianto sudah bangun. Mungkin juga karena suara burung nokturno terdengar begitu kencang dari lembah di sebelah bawah tenda kami. Saya tidur lagi. Jam setengah lima azan Subuh di sini. Kalau di Tapaktuan satu jam lagi baru azan Subuh.

Setelah zikir Ustadz Eko Novianto yang satu tenda dengan saya di Camp Tanakita ini tilawah, saya ambil pemanasan. Benar-benar mau lari. Tapi masih gelap banget. Jalanan sekitar camp masih bebatuan. Jadi saya baru ancang-ancang star lari di pintu gerbang Situ Gunung sekitar pukul 05.30. Ini persis di ketinggian 1062 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Udaranya masih dingin, kabut masih menggenang di ketinggian, harum tanah kena hujan menyeruak di hidung, angin enggan berhembus, dan gerimis. Supaya keringat cepat kering jaket saya copot, saya hanya memakai kaos Reebok, celana panjang training, kaos kaki pendek, jam Garmin, serta sepatu Adidas kw, entah kw yang ke berapa.

Saya mulai menyusuri jalanan menurun, setidaknya ini enggak bikin sesak nafas. Saya turun lima kilometer ke bawah. Melewati kantor desa dan kantor polsek Kadudampit dan terus ke bawah. Melewati juga Icuk Sugiarto Training Camp (tempat latihan bulu tangkis) dan terus ke bawah. Sampai pas lima kilometernya di ketinggian 752 mdpl. Waktu yang ditempuh masih di bawah 30 menit, tepatnya 29:06.

Lalu sesi nightmare-nya dimulai saat saya harus balik lagi ke atas. Melelahkan memang tapi apapun kondisinya, berapa lama pun waktunya saya tak boleh menyerah, saya tak boleh berhenti.

Gerimis belum usai saat saya mulai naik. Saya jabanin terus meter demi meter ketinggian. Lagi membayangkan kesengsaraan para pelari yang ikut Bromo, Sentul, atau Gede Pangrango Ultra Run yang ekstrim lari lebih dari 42 km dengan kontur tanah naik turun.

Yang saya jabanin sekarang ini belum apa-apanya. Kalau lari di ketinggian begini saya jadi inget nama satu orang ini dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak) Runners: Bambang Tejomurti. Pelari DJP yang handal dan sering mengikuti berbagai even ultra run.

Tiga kilometer naik insya Allah masih bisa nafas dan dengkul saya masih juga kuat. Dua kilometer ini lebih ngeri lagi. Apalagi satu kilometer terakhir. Ini benar-benar naik tanpa jeda tanah datar, tanpa bordes.

Terlihat dari statistik Garmin, kalau di kilometer keenam dan ketujuh pace saya di 7:14 dan 7:56. Sedangkan di kilometer kedelapan dan kesembilan

Pace saya di 8:21 dan 8:55. Semakin Lambat. Apalgi di kilometer kesepuluh dengan pace siput 10:00, wajar karena saya harus menaiki ketinggian 97 meter.

Biar dah, saya tetap jabanin walau panjang langkahnya jadi seperempat panjang lari biasa saya. Naik, naik, naik, ngos, ngos, ngos, dan gerbang besar pintu masuk wana wisata situ gunung ini muncul. Saya serupa angkot merah yang naik kesana pakai gigi satu.

Dan akhirnya saya finis di kilometer 10. Alhamdulillah masih hidup, masih nafas, masih bisa finis strong. Benar-benar lari di ketinggian 1100 mdpl ini bisa dilakonin juga. Pagi ini cuma bisa segitu bae. Walau waktu yang ditempuh lebih dari satu jam. Pasnya 01:12:14.

Kata Bambang Tejomurti, ada strategi agar bisa lari elevasi di bawah satu jam. Lima kilometer pertama dipacu dengan pace 4 menit/km. Baru ketika naik pakai pace 8 menit/km. Iya juga yah. Pada saat turun dipacu benar lalu ketika naik sebisanya dan dijaga dalam pace siput tetapi di angka 8 menit/km.

Ini pada dasarnya di lima kilometer pertama saya harus berlari dalam jangka waktu di bawah 20 menitan. Dan di lima kilometer terakhir waktu yang ditempuh adalah harus bisa dalam jangka waktu 40 menitan.

Pada kenyataannya di lima kilometer pertama saya memiliki waktu kurang sedikit dari 30 menitan dan di lima kilometer itu waktu yang saya butuhkan 42 menit 26 detik. Ini berarti saya harus banyak mengejar ketertinggalan di lima kilometer pertama dan sedikit perbaikan di lima kilometer terakhir.

Barangkali yang membuat saya tidak memacu kencang di lima kilometer pertama adalah hanya untuk menghemat tenaga agar bisa lari naik dengan kuat.

‘Ala kulli hal dan yang terpenting, niat naik ojek kalau enggak kuat akhirnya enggak jadi. Setelah lari ini, barulah bisa kembali lagi fokus ke acaranya. Acara camping manja.

021316_1011_GedePangran2.png


***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara

Situgunung, 11 Februari 2016

 


Filed under: freeletics Tagged: Bambang Tejomurti,, Camp Tanakita, camping, Eko Novianto,, Garmin,, Gede Pangrango Ultra Run,, Gede Pangrango,, Icuk Sugiarto Training Camp,, Kadudampit,, Kronos Freeletics, running, Situ Gunung,

Hati-Hati Modus Penipuan Baru Bawa-Bawa Nama Polisi

$
0
0

att5a2e21

Siang ini saya hampir ketipu. Ceritanya begini.

Ada telepon masuk ke nomor Telkomsel saya jam 11 siang. Biasanya yang tahu nomor ini adalah rekan-rekan kerja atau kenalan saya di Aceh. Saya tidak mengenal suaranya. Tapi dia sok akrab dengan saya.

“Masak enggak kenal saya? Emang nomornya enggak disimpan?” katanya. “Ayo coba siapa?”

Karena perasaan bersalah enggak tahu dirinya, jadi saya asal sebut nama. Dia bilang bukan. Lalu saya sebut nama yang lain, nama teman grup lari Indorunners Aceh yang kerja di kantor di Banda Aceh dan sekarang sedang bertugas dinas luar di Tapaktuan.

“Ini Muldan?”

“Nah betul.”

Terus dia cerita kalau dirinya sedang kena razia. Jadi saya diminta bicara kepada polisinya untuk bantu bicara dengan polisinya, namanya Aiptu Iqbal. Muldan meminta saya untuk bilang kepada Aiptu Iqbal kalau saya adalah saudaranya.

Muldan lalu menyerahkan teleponnya kepada Aiptu Iqbal untuk berbicara dengan saya. Suaranya tegas dan lugas. Benar-benar aparat. Tapi anehnya kok logatnya bukan logat orang Aceh.

Aiptu Iqbal ini bertanya-tanya kepada saya apa hubungan saya dengan Muldan dan tinggal di mana. Saya bilang saja kalau saya tinggal di mes pajak depan gardu polisi.

Aiptu Iqbal dengan tegas dan lugas bilang kalau Muldan telah kena razia. Muldan tidak bisa menunjukkan surat-surat kendaraannya. Jadi kalau menurut undang-undang dia harus kena tilang. Dia percaya kepada saya sebagai penjamin Muldan bahwa surat-suratnya ketinggalan di rumah. Tapi tetap harus kena tilang. Aiptu Iqbal bilang kalau Muldan sudah menyerahkan uang sebesar Rp100.000,00. Masih kurang Rp600.000,00.

Telepon kemudian diserahkan kembali kepada Muldan.

“Muldan, kamu harus bayar denda. Polisinya tetap bilang begitu,” kata saya.

“Yah udahlah, saya mau. Tapi saya tidak boleh keluar ambil uang di ATM, karena khawatir saya melarikan diri. Soalnya pernah pengendara motor dikasih izin keluar malah melarikan diri karena ternyata motornya hasil curian,” terang Muldan.

Saya kemudian bicara sama Aiptu Iqbal lagi untuk mengizinkan Muldan keluar dari kantor Polres Aceh Selatan. Aiptu Iqbal bilang komandannya tidak memperbolehkan Muldan keluar. Padahal bisa saja saya bilang kepadanya kalau saya kenal dengan Kapolres Aceh, AKBP Achmadi SIK yang sama-sama berasal dari Cirebon. Tapi saya tidak melakukannya. Saya prosedural saja.

Saat saya bicara kembali dengan Muldan, ia bilang begini, “Ya udah saya dipinjemin uang dulu Rp600.000. Abang percaya kan sama saya?”

“Iyalah. Gampang masalah itu. Dan, saya pikir Aiptu Iqbal saklek banget sampai gak mau ngizinin kamu ambil duti ke ATM. Kalau dari logatnya dia bukan orang Aceh. Dia orang Sunda. Kamu kan dari Bogor, ngomong Sundalah sama dia. Tapi intinya saya gak masalah. Saya akan ke sana atau utus orang ke kantor Polres Aceh Selatan buat kasih duit tilang,” kata saya. Jarak Polres dengan Kantor Pajak 3,5 kilometer. Jadi tidak jauh.

“Jangan, saya khawatir Abang akan ditanyain lagi surat-suratnya di sini, jadi biar kita transfer pulsa aja ke nomornya Aiptu Iqbal. Soalnya ada ibu-ibu istri tentara juga dibebaskan sama Aiptu Iqbal dengan kirim pulsa ke nomor Aiptu Iqbal,” terang Muldan. Aneh nih…tapi saya masih belum ngeh.

Muldan kemudian menyerahkan teleponnya kepada Aiptu Iqbal. Saya bilang kepadanya kalau Muldan meminta saya untuk transfer pulsa ke nomor telepon Aiptu Iqbal yang dikasih sebelumnya.

“Eeh…gimana yah. Ini seharusnya enggak bisa. Tapi enggak apa-apalah. Apalagi ini mau salat Jumat,” kata Aiptu Iqbal.

Zrtt….zrrrt….zrtt….tiba-tiba seperti petir menyambar di kepala saya dengan cahaya yang menyilaukan hingga mampu menyadarkan saya, membuat terang dan jelas. Tanpa sadar saya mengucap dengan pelan.

“Ini tipu…ini benar-benar penipuan,” ucap saya pelan tapi ini terdengar oleh suara yang di seberang sana.

“Bangs*t, Anj**g…!” lalu telepon pun mati. Saya telepon balik nomor itu sudah tidak bisa dihubungi.

Benar-benar dah yah. Hampir-hampir saya kena tipu. Tapi aktingnya luar biasa. Mereka menggiring pemikiran saya kalau saya sebenar-benarnya sedang berbicara dengan polisi, teman saya yang bernama Muldan dan lokasinya berada di Aceh Selatan. Padahal mereka yang menelepon ini mengetahui nama Muldan dan alamat saya dari saya sendiri.

Sebenarnya mereka ini tidak tahu saya berada di Aceh Selatan. Mereka tidak tahu saya punya teman bernama Muldan. Tapi mereka mampu mengondisikan pemikiran saya. Barangkali, sebabnya mereka sudah mampu menguasai pikiran saya dengan “ngemob”duluan bahwa saya seolah-olah bicara dengan polisi beneran yang mampu bicara dengan lugas dan menerangkan tentang undang-undang lalu lintas. Dia aparat, kita sipil biasa. Jadi sudah dibawa takluk duluan. Saya enggak mau berpikiran ini main-main dulu. Soalnya khawatir polisi betulan.

Saya dikondisikan kalau saya dipastikan tidak bisa bantu dia secara langsung dengan datang ke kantor polisi. Padahal kalau di Tapaktuan yang kota kecil ini seberapa sih jauhnya. Apalagi dikondisikan pada jam-jam sibuk dan pas mau salat Jumat. Mereka tidak tahu kalau Tapaktuan waktu salat Jumatnya masih lama.

Saya sudah lugu dan polos duluan. Hampir-hampir kena tipu.

Saya jadi membayangkan modus penipuan lain seperti ditelpon karena ada saudara kandung yang mengalami kecelakaan dan butuh uang untuk masuk rumah sakit. Dan banyak ketipu karena panik. Hebat! Hebat! Mereka layak dapat Oscar karena aktingnya.

Jadi kalau teman-teman ditelepon orang terkait masalah tilang dan diminta untuk transfer uang, hati-hati saja. Kalau perlu minta alamat jelas lokasinya, betulkah di sana. Semoga tidak ada yang menjadi korban. Semoga bermanfaat.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

19 Februari 2016


Filed under: Sejumput Rintih, Tutorial Tagged: achmadi, aiptu iqbal, akbp achmadi sik, kapolres aceh selatan, modus baru penipuan, modus tipu tilang, muldan, polres aceh selatan

SAMBALADO

$
0
0


colak-colek sambalado,

ala mak oi,

dicolek sedikit,

cuma sedikit,

tapi menggigit.

Lagunya Ayu Ting Ting ini menggema dari speaker besar organ tunggal yang lagi main di sebelah mes kami. Persis benar. Barangkali teman-teman dari perumahan dinas Kejaksaan Negeri Tapaktuan ini sedang merayakan ulang tahun anak pegawainya, salah satu personelnya atau siapalah. Tapi ini sampai malam. Tak ada Wilayatul Hisbah (Satpol PP Syariah) yang akan membubarkannya. Loh kenapa dibubarkan memangnya? Emang berani? Hehehe.


Jam 23.30 masih terus. Saya berusaha tidur walau bersisian dengan speaker itu. Lagu jadul dari Exist Mencari Alasan juga ada yang menyanyikannya. Saya berusaha memejamkan mata dengan sekuat tenaga. Saya harus tidur segera karena saya punya misi besok pagi. Alhamdulillaah berhasil tidur.


Bangun pagi seperti biasa. Persiapan lari. Pemanasan dulu. Karena ini sudah minggu kedelapan Freeletics pakai Coach jadi saya pemanasan Warming Dynamic Pro yang beda dengan pemanasan biasa Freeletics.


Oh ya, tadi malam sudah carbo loading, pakai singkong dan telur rebus. Apalagi sorenya sudah minum air tebu, my favorite energy booster. Tentu juga memperbanyak minum air putih. Sudah itu saja.


Habis pemanasan langsung lari. Niat pengen sehat, tiada yang lain. Sekitar jam setengah tujuh pagi. Sudah ada semburat merah di horizon sebelah timur. Terakhir lari 10K adalah sepuluh hari yang lalu waktu di Situ Gunung. Sekarang mau mencoba lari jauh lagi.


Entah kenapa saya sudah berniat untuk menjaga pace di bawah 6 menit/km. Dan syukurnya bisa. Terus saya perhatikan Garmin setiap satu kilometer penuh. Masih di bawah 6. Jam senantiasa menunjukan angka 5:37-an menit/km. Awalnya tidak punya tujuan untuk membuat New Personal Best (PB), karena saya tak tahu atau tepatnya lupa di menit berapa tepatnya rekor 10K saya. Seingat saya 55 menitan.


Matahari sudah mulai bersinar dengan terang. Cahayanya menerpa semua. Langit jadi kuning, pantai jadi kuning, bukit jadi kuning, orang jadi kuning, apalagi ikan-ikan segar yang dijejer di pinggir jalan itu juga jadi kuning. Indah memang tapi sedang tidak saya nikmati. Saya lagi fokus mengukur meter demi meter aspal Tapaktuan.

Menjaga pace di bawah 6 menit/km itu terasa sekali lelahnya. Baru di kilometer 3 saja godaan mau menyerah sudah ada. Apalagi di kilometer 5 dan 6 yang naik tinggi karena ada tanjakan.

Godaan demi godaan untuk berhenti mampir terus. Ayo berhenti. Berhenti. Buat apa sih lari? Tapi anehnya saya terus lari. Tak mau berhenti.


Ketika sudah menginjak 7,5 kilometer saya masih punya 20 menit lagi dari batas psikologis 1 jam. Di situlah saya merasa kalau saya bisa memperbaiki PB saya.


Jalan Merdeka masih sepi. Yang sudah buka sih warung-warung kopi. Di sana sudah banyak orang nongkrong. Bahkan main catur. Ini di kilometer ke-9. Saya melewati warung kopi Nusa Indah, yang jual mi lotek, gado-gado, mi kocok dan es kacang enak. Pemiliknya orang keturunan Tionghoa. Orangnya senyum terus dan tahu kewajiban perpajakannya. Tadi dia menyapa saya yang lagi lari.


Di kilometer terakhir sudah benar-benar lelah, tapi saya dorong untuk lari sekuat tenaga di 100 meter terakhir. Oksigen yang mengalir ke kepala sudah hampir habis. Dan…done! What…?! 55:22 menit dengan pace 5:32 menit/km. Lebih cepat 17 detik dari PB lama. Terakhir bisa cetak rekor empat bulan lalu dengan waktu 55:39 menit dengan pace 5:34 menit/km. Pantas saja tadi lari “engap” banget yak.


Akhirnya, saya masih bisa finis strong, sebentar kemudian nafas sudah teratur kembali. Lalu diakhiri dengan Static Stretching Pro Freeletics. Olah raga hari ini cukup itu saja.


Sekarang sarapan sambil menulis ini. Sarapannya cukup: jagung rebus setengah, tauge rebus, kacang merah rebus, telor rebus. Sudah itu saja. Maaf saya belum bisa masak. Jadi direbus aja deh.


Supaya ada sedap-sedapnya saya kasih kecap dan saus. Saus sambal. Tapi bukan sambalado. Cuma sedikit. Enggak menggigit, ujung-ujungnya tak bikin sakit hati kayak sambalado…ah, ah, sambalado!

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

Determination meets Freedom

21 Februari 2016


Picture via triradar.com



Filed under: freeletics Tagged: ayu ting ting, energy booster drink, exist, FREELETICS, lirik lagu sambalado, mencari alasan, my favorite energy booster, personal best 10K, sambalado, satpol pp syariah, static stretching pro, tapaktuan run, warming dynamic pro, warung kopi nusa indah tapaktuan, Wilayatul Hisbah

Di Tanakita, Semua Bercerita

$
0
0


Negeri di atas awan.

    Sebuah anugerah bisa mengunjungi tempat istimewa seperti Tanakita ini. Terletak di ketinggian 1100 di atas permukaan laut kamp ini berada. Di lereng Gunung Gede Pangrango, di dalam kompleks wana wisata Situ Gunung, Sukabumi.

    Selama tiga hari saya mendapat kesempatan menikmati keindahan alam terbuka. Diundang oleh Tim E-magazine DJP dalam sebuah acara workshop yang dikemas paling berbeda daripada acara yang biasa diselenggarakan oleh instansi saya selama ini.

    Begini ceritanya.

Macet Parah

    Hari pertama (10/2), kami berkumpul di Kantor Pusat DJP untuk berangkat secara berombongan ke Tanakita Camp. Kami berangkat jam 7.30 pagi dengan menggunakan bus burung biru. Perjalanan diperkirakan membutuhkan waktu empat sampai lima jam. Maklum jalur Ciawi-Sukabumi itu macetnya tidak kira-kira.

    Bisa dimulai dari Ciawi, Pertigaan Cikereteg, Pasar Caringin, Pasar Cicurug, Pasar Parungkuda, Pasar Cibadak, dan Cisaat. Jalur Ciawi sampai dengan Pasar Caringin saya lewatkan dengan tidur di bus. Saya sering melewati jalur ini untuk menuju Pesantren Alkahfi, dekat Lido, tempat dua anak saya sekolah.

    Di Pasar Cicurug saya terbangun. Bus sedang berhenti disebabkan kemacetan parah. Pasar Cicurug ini terkenal dengan nerakanya kemacetan di jalur Ciawi-Sukabumi ini. Parah dan benar-benar parah. Sambil sesekali melihat film yang diputar di dalam bus, saya berusaha menikmati perjalanan ini. Satu sebab, saya jarang pergi melewati jalanan setelah Pasar Cicurug ke arah Sukabumi.

    Selepas Pasar Cicurug dan Pasar Cibadak, jalanan mulai normal dari kemacetan. Di Pertigaan Cisaat, barulah bus keluar dari jalan utama dan mulai naik menuju lereng Gunung Gede-Pangrango. Jalanannya kecil tapi bus berukuran sedang ini begitu lincah melewati angkot dan kepadatan jalan. Hingga akhirnya kami sampai di pintu gerbang Wana Wisata Situ Gunung. Kami tetap tidak turun, bus kami masuk menuju Tanakita Camp yang berada di sebelah barat.

Habis-habisan di Hari Pertama

Tanakita Camp ini ada dua lokasi. DI sebelah timur dan barat. Workshop kami diadakan di kamp sebelah barat, sedangkan nanti ketika kami menginap kami pindah ke kamp sebelah timur.

Kami masuk ke halaman luas dengan rumput yang dipotong pendek sekali. Di atas halaman terdapat banyak tenda berwarna kuning dan sebuah bangunan kayu besar. Di sanalah kami berkumpul. Di halaman depan bangunan kayu terdapat atap terpal berwarna putih yang menaungi tempat makan.

Di sana, kami berada di ketinggian. Sudah pasti kami dapat melihat keindahan gunung dan pemandangan pedesaan di bawah.

Kami disambut dengan welcome drink khas Sunda. Wedang bandrek panas yang dicampur dengan daging kelapa muda. Wuih enak dan sedapnya. Saya suka sekali. Berulang kali saya penuhi gelas dengannya. Ini minuman berenergi buat saya. Manisnya gula merah menjadi asupan gizi terbaik buat saya.

Setelah makan siang kami berkumpul di bagian bawah bangunan yang ternyata merupakan ruangan rapat lengkap dengan audio visual system-nya. Tak menyangka di ketinggian ini ada ruangan seperti ini. Sampai waktu Magrib kami mendengarkan ceramah dua narasumber dari CNN Indonesia.com dan Usee TV.

Pak Agust Supriadi yang merupakan redaktur CNN Indonesia.com ini memberi materi tentang 9 Prinsip Jurnalistik Bill Kovac dan 10 Tips Wawancara. Sedangkan Pak Bambang Elfiantono dari USee TV memberi materi yang berjudul How To Win The Reader. Menarik dan bermanfaat sekali.

Lalu kami beranjak ke atas kembali, ke bangunan kayu lagi, untuk makan malam sambil merasakan kehangatan api unggun. Udara pada waktu itu sudah mulai dingin tentunya, kabut pun turun. Memakai jaket menjadi sebuah keharusan. Dan malam itu kami tuntaskan untuk membahas penerbitan e-Magazine di tahun 2016.

Jam 23.00 kami pindah ke Kamp Timur yang jaraknya lebih dari 500 meter dari tempat kami. Antara Kamp Timur dan Barat dipisahkan oleh sebuah lembah. Saat moving, kami menaiki jip tua tanpa penerangan lampu dan sempat mogok karena kehabisan bensin.


Indah bukan?


Di suatu ketinggian.


Mendengar dengan serius tutorial dari Pak Bambang Elfiantono.


Menjelang magrib masih serius.


Makan malam di hari pertama.

Tenda Ciamik

Di Kamp Timur ada dua lokasi utama. Satu lahan luas yang berdiri di atasnya banyak tenda. Satunya lagi bangunan utama. Kami menuju tenda masing-masing yang telah dibagi oleh tim dari Tanakita.

Saya mendapatkan tenda E bersama Pak Eko Novianto. Tendanya berwarna kuning. Dibangun berjejer membentuk huruf U di lahan luas ini. Tendanya unik menurut saya—atau karena saya baru pertama kali tahu ada tenda seperti ini.

Tenda berbentuk dome itu berdiameter kurang lebih tiga meter. Mempunyai dua pintu. Pintu pertama yang terdiri dari dua lembar kain beritsleting. Kain paling luar tanpa pori-pori, ini berguna untuk menghalangi angina dingin masuk. Dan kain bagian dalamnya berpori-pori.

Di balik pintu pertama ini ada selasar, sehingga kita bisa memasukkan sandal dan sepatu ke dalamnya. Di dalamnya ada lampu neon dan colokan listrik. Operator Tanakita Camp ini tahu saja kebutuhan orang zaman sekarang. Colokan listrik buat ngecharge hp tentunya.

Barulah setelah selasar itu terdapat pintu tenda kain berpori-pori lagi. Di balik pintu itu ada tiga kasur empuk berjejer dengan sprei berwarna putih dan sleeping bag. Tentunya tenda itu menjadi tempat terbaik buat melepaskan kepenatan setelah seharian beraktivitas.


Di sini kami bermalam.


Tempat biasa kami berkumpul.

Bertubing Ria

Saya bangun di waktu Subuh dan salat berjamaah dengan Ustad Eko Novianto. Waktu itu gerimis dan masih gelap. Acara di hari kedua masih lama dimulai. Saya sempatkan untuk lari pagi sejauh 10 kilometer. Lumayan menguras tenaga. Sebelum jam tujuh pagi saya sudah sampai kembali di kamp.

    Di bangunan utama kami sarapan bersama. Bubur kacang hijau menjadi salah satu menunya. Ini kesukaan saya. Bangunan utama ini berada di ketinggian, kami dapat melihat pemandangan pedesaan dan kejauhan nan indah, nan menakjubkan. Sepi dan menenteramkan. Hawa pagi yang dihirup sangat menyegarkan. Benar-benar luar biasa suasana paginya.

    Jam 9 pagi acara hari kedua dimulai. Suasananya cerah sekali. Saya mengira acara di pagi hari itu—sebagaimana informasi dari panitia—adalah arung jeram (rafting), ternyata bukan. Kami akan tubing bersama-sama. Terus terang saja istilah tubing itu baru pertama kali saya dengar. Tubing itu sebuah permainan mengarungi sungai yang berarus deras dan berbatu-batu dengan menggunakan ban. Betul, hanya ban. Kalau begitu sih, waktu kecil saya juga sering pakai kalau sedang berenang di kali.

    Bedanya adalah ban tubing ini ada dua. Ban dalam berukuran besar yang cukup untuk dinaiki oleh satu orang berbadan besar dan di tengahnya ada ban dalam berukuran kecil. Ban kecil ini ternyata berfungsi vital sekali. Gunanya untuk melindungi pantat kita dari benturan dengan bebatuan sungai.

    Sebelum berangkat, kami diberi arahan oleh instrukturnya. Pada saat tubing, kepala mendongak merapat ke dada, kaki juga dirapatkan, tangan bersilang di depan dada. “Intinya, jangan lawan arus, ikuti saja arusnya,” kata sang instruktur. Lalu kami memakai alat-alat keselamatan seperti helm, live fest, sarung tangan kain, deker buat melindungi tangan dan kaki.

    Kami harus berjalan sekitar 750 meter dari kamp menuju tepian sungai. Di sana ada tumpukan ban yang akan kami pakai. Dan ternyata Rescue Team sudah menunggu. Terdiri dari 10 orang penduduk lokal berpakaian lengkap seperti yang kami pakai. Merekalah nanti yang menjaga kami di titik-titik sungai yang menurut mereka cukup sulit dilalui ban.

    Sungai kecil ini airnya dingin sekali. Penuh batu-batu besar. Suara air yang melewati celah-celah sempit bebatuan itu begitu keras dan menggetarkan. Dan tibalah saatnya acara seru itu dimulai. Rada takut-takut juga sih. Tapi berusaha memberanikan diri, dan berhasil terjun dengan seru, bertubing ria.


Asyik aja foto-foto.


Meidiawan, Irwan, Ratih, Uda Dendi Amrin.

Ada Yang Wow di Akhirnya

    Kami akan melalui derasnya air sungai ini sepanjang 1,5 km. Dan tentunya kami harus bersiap-siap dengan benturan-benturan yang terjadi. Rescue team sudah berjaga-jaga dan membantu kami melewati bebatuan sempit dan sulit.

Kadang kami harus terjungkal dan ban pun lepas dari tubuh. Betul kata instruktur, cukup ikuti saja arusnya, dan tak perlu melawan. Ban akan melindungi bagian tubuh kita. Banlah yang pertama kali akan berbenturan dengan batu. Bukan tangan kita. Seringkali karena khawatir batu itu akan menghantam muka kita sehingga tangan kita malah lepas dari dada dan digunakan untuk menangkis dan menghindari batu. Hal ini malah bikin tangan jadi sakit.

Di suatu titik sungai yang berarus tenang kami berhenti. Di pinggiran sungai ada kru Tanakita yang membawa teh hangat. Saya pikir sudah selesai ternyata belum. Ini baru separuh perjalanan. Wak waw… saya merasakan sekali capeknya. Dan sudah merasa kedinginan. Menggigil.

Tapi ayolah kita selesaikan saja. Freeletics sudah cukup memberikan pelajaran hidup yang berharga buat saya. Tak boleh menyerah, kerjakan saja, dan tuntaskan. Kami lanjut lagi. Betapa menyenangkan bermain air dan seru-seruan seperti ini. Sepanjang menempuh separuh perjalanan lagi itu saya berpikir kapan finisnya. Ayo, ayo selesai. Akhirnya finis juga setelah kepala ini sempat terbentur dinding batu, syukurnya helm ini sempurna melindungi kepala saya.

Tepian sungai di garis finis ini landai dan luas. Di sana berdiri tegak bangunan kecil. Kami tak memasuki bangunan itu, kami malah berkumpul di tepian sungainya, bermandikan cahaya matahari, di alam terbuka.

Di sana ada meja yang di atasnya sudah tersedia air panas, teh, kopi, pisang goreng, dan ya Allah ini kesukaan saya: KETAN BAKAR. Wow…Nikmaat bangeet ketan bakar ini dimakan dengan serundeng kelapa dan bumbu oncomnya. Akhirnya ketemu juga dengan makanan khas Sunda ini. Di Tapaktuan enggak ada. Capek tapi puas. Entah berapa banyak ketan yang sudah masuk ke dalam perut, yang pasti ini pengganti nasi yang luar biasa.

Setelah melepas seluruh perlengkapan , kami pulang kembali ke kamp. Kami naik angkot yang sudah disediakan panitia. Jauh soalnya. Apalagi jalannya menanjak. Angkot melewati rute lari saya tadi pagi. Sampai di kamp, sudah tersedia makan siang.

Outbond dan “Rakiting”

Jam dua siang kami bergerak kembali. Kali ini outbond. Kami turun ke bawah. Ke lembah yang menuju kamp barat. Di sana sudah tersedia tim outbond dari Tanakita. Untuk yang ini tentunya kita sudah tahu semua permainannya. Bikin yel-yel, estafet bola bekel, lalu crawler (roda tank). Seru dan lucu sih.

Nah yang menariknya adalah acara setelahnya. Saya kira Flying Fox, kalau benar permainan itu saya tak ikut ah. Hahaha… ternyata bukan. Kini saatnya bikin rakit. Di mana? Di Situ Gunung tentunya. Kami harus bergerak ke telaga yang berada di lereng gunung ini, 700 meter jaraknya dari lembah tempat kami bermain outbond.

Suasana situ sepi. Tidak banyak pengunjung selain kami, bahkan bisa dihitung dengan jari. Ada beberapa warung kecil yang menjual minuman dan makanan. Di pinggir situ sudah ada tenda terpal warna jingga tempat tim Tanakita sudah berada. Hebatnya sudah tersedia makanan ringan buat kami, teh panas, kopi panas, combro, klepon, dan nagasari.

Persis 20 tahun yang lampau saya pernah mengunjungi tempat ini. Waktu masih kuliah di STAN. Ketika ada acara daurah yang diselenggarakan oleh rohis kampus. Sepertinya sudah beda. Sekarang tidak ada lagi dermaga kayu yang menjorok ke tengah telaga.

Kami dibagi tiga kelompok. Setiap kelompok diberi enam ban dalam besar dan bambu sebanyak 10 batang. Di sana kami ditantang untuk membuat rakit dalam waktu yang singkat lalu menaiki rakit tersebut untuk mengambil bendera yang berada di tengah telaga.

Setiap kelompok dibimbing oleh satu panitia. Dari sana saya jadi tahu cara membuat simpul dan mengikat ban dan bambu menjadi rakit. Tim kami yang pertama menyelesaikan rakit. Kami memakai live fest dan sarung tangan. Lalu diajarkan cara memegang dayung yang benar, mengayuh dayung, dan memandu rakit.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore ketika kami menyelesaikan acara “rakiting” ini. Tim kami urutan buncit dalam perlombaan mengambil bendera. Tim kami masih perlu banyak belajar untuk menyelaraskan cara mendayung. Tak apalah.

Kami segera kembali ke kamp dengan berjalan kaki. Apalagi halimun pekat sudah mulai turun. Gerimis pun tiba. Kamp kami sudah diselimuti kabut tebal. Benar-benar tebal. Saya hirup pelan-pelan hawa kabut ini. Segarnya memenuhi rongga dada.


Sebelum outbond kami berfoto bersama.


Outbond, deuu yang di depan serius amat yak…


Gagal maning-gagal maning.


Situ Gunung, tempat kami membuat rakit.


Lagi, Situ Gunung.

Malam-Malam Larut

Setelah berganti pakaian dan salat magrib kami berkumpul di bangunan utama. Di sana telah tersedia makan malam dan tim akustik yang menemani kami dengan lagu-lagunya. Di bawah tenda terpal besar terdapat bangku-bangku panjang, kami duduk melingkar. Di tengahnya ada api unggun. Kami mengobrol bahkan ada yang bernyanyi bersama. Herannya tim akustik bergeming saat kami teriak-teriak meminta lagu ciptaan Ismail Marzuki yang melegenda ini dimainkan: Aryati. Entah kenapa. Jadul?

Malam semakin larut, bukannya berhenti, hidangan terus bertambah. Ada jagung bakar, sosis bakar, cumi bakar, ikan bakar, ayam bakar, wedang bandrek, dan lain sebagainya. It’s enough
for me. Terlalu banyak kalori yang masuk nih. Btw, Tanakita panitianya hebat. Dia mampu menyentuh hati kliennya dengan tempatnya yang cozy, acara yang bagus, dan kulinernya yang tradisional khas Sunda, sederhana tapi mantap. Ini yang saya suka.

Pelan-pelan saya tinggalkan acara ketika jam telah menunjukkan pukul 22.30. Mata sudah mulai memberat. Tinggal satu acara lagi. Tinggal satu hari lagi. Besok pulang. Pelan-pelan saya merebahkan tubuh di tenda. Mulai merenda mimpi. Mimpi yang abadi. Lamat-lamat Cakra Khan menghilang dari telinga saya.

Semua cerita berakhir di sini.

Saya pulas.


Kami (Saya, Erin, Makhfal) STAN Pajak Angkatan 1997 dalam kehangatan.


Menjelang penutupan.


Iya, ini kami bersama.


Di Hari Ketiga, Menjelang Kepulangan. Epic…!!!

Special thanks to Kak Ani Winn, Uda Dendi Amrin, Mbak Ariyati Dianita, Mas Irwan Hermawan, Mas Arif Nur Rokhman, Mas Bima Pradana Putra dan semua kru Emagz DJP dan teman-teman yang belum disebutkan satu persatu di sini.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

23 Februari 2016

Foto-foto di atas merupakan koleksi teman eMagz DJP



Filed under: Foto, traveling Tagged: 10 Tips Wawancara, 9 Prinsip Jurnalistik Bill Kovac, Agust Supriadi, Ani Winn, Arif Nur Rokhman, ariyati dianita, Bambang Elfiantono, Bill kovac, Bima Pradana Putra, CNNIndonesia.com, crawler, Dendi Amrin, e-magazine djp, emagz djp, Erin, gunung gede pangrango, How To Win The Reader, Irwan Hermawan, letak tanakita, liburan di situ gunung, liburan di tenda, makhfal, meidiawan, menginap di tenda, menginap di tenda tanakita, outbond bersama tanakita, redaktur CNN Indonesia.com, rute menuju situ gunung, rute menuju tanakita, Situ Gunung,, situgunung, Sukabumi, tanakita camp, tubing, tubing tanakita, Usee TV, wana wisata situ gunung

Ekspedisi Pulau Dua: Mission Accomplished!

$
0
0


Jarang nelayan yang berani ke pulau satunya lagi. Apa sebab?

Pulau Dua itu terletak di Samudra Hindia. Tepatnya masuk wilayah kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Dinamakan Pulau Dua karena ada dua pulau kembar yang tak berpenghuni dan terpencil. Salah satu pulau di antaranya adalah pemakaman, katanya jarang nelayan yang berani ke sana. Jadi pulau lainnya itu yang kami kunjungi buat snorkeling dan saya punya misi khusus ke pulau ini.

Pulau tropis ini kecil. Keliling lingkarannya hanya 800 meter lebih. Jarak Pulau Dua dari daratan utama Sumatera sekitar 2 kilometer dengan waktu tempuh 10 menit memakai perahu nelayan yang kami sewa. Tidak banyak orang tahu dan berwisata di pulau ini. Hanya orang-orang yang paham saja yang datang ke pulau itu.

Dalam legenda masyarakat Aceh Selatan, ada naga betina yang panik dan lari tanpa tujuan lalu menabrak pulau besar sehingga menjadi dua. Itulah kemudian disebut Pulau Dua. Naga betina panik dan ketakutan karena melihat pasangannya sang naga jantan hancur setelah berduel dengan Tuan Tapa.


Pulau Dua.


Ini pulau kecil yang kami kunjungi bertanda panah merah. Pulau sebelahnya adalah pulau yang ada kuburannya.


Persiapan berangkat.

Kami berangkat jam delapan pagi dari Tapaktuan berombongan sebanyak 19 orang. Butuh waktu satu jam untuk sampai di pinggiran laut tempat kami menyeberang. Letaknya dekat jembatan dan berada di jaIan akses Tapaktuan-Subulussalam. Tempat ini bukan pelabuhan melainkan tempat sampan nelayan berlabuh. Sebuah pinggiran pantai yang luas tetapi mobil tak bisa masuk karena jembatannya tak bisa dilalui karena rusak.

Pinggiran pantai ini dipenuhi gubuk-gubuk tempat nelayan memperbaiki jala. Ada satu warung kecil di sana. Perahu-perahu nelayan juga banyak. Salah satunya akan mengantarkan kami ke salah satu pulau di Pulau Dua.

Airnya jernih berwarna hijau toska di dekat pantai namun berwarna biru gelap ketika berada di tengahnya. Saya sungguh menikmati perjalanan menaiki perahu nelayan yang panjangnya enam meter itu. Berada di bagian belakang perahu saya memandang dari kejauhan pantai tempat pemberangkatan kami. Di sana masih ada teman-teman saya yang akan diangkut perahu pada rit yang kedua.

Dari jauh, Pulau Dua terbentang di depan mata. Angin berhembus menerpa wajah. Dahan pohon nyiur melambai-lambai seakan menyapa kami. Pohon bakau pun ada, saling merapat di salah satu sisi pantai.

Tidak lama kami sudah sampai di sana. Saya menginjakkan kai pertama kali ke pulau ini. Menginjakkan kaki di pasir putihnya yang lembut nian ini. Pantai Tapaktuan dan bahkan Pantai Lampuuk Banda Aceh kalah lembut.

Perahu balik lagi ke daratan utama Sumatera. Kami turun dan menurunkan banyak barang terutama air minum dalam botol sebanyak tiga kardus. Tidak ada warung tentunya di sini jadi kami harus menyiapkan perbekalan sebanyak mungkin.

Lalu kami bergerak dari titik pendaratan menuju lokasi yang terbaik. Di sebuah tempat yang teduh di bawah pohon kelapa dan ketapang yang lebat daunnya. Kami nantinya sampai sore dan hanya sampai di tepian pantai ini. Tidak akan pernah masuk ke dalam lebatnya hutan. Paling jauh kami berkeliling melalui tepian pantai. Apalagi saya yang insya Allah akan menjajal lari mengelilingi pulau sejauh 10 kilometer. Itulah misi khusus saya ini.

Teman-teman yang lain sudah mempersiapkan diri buat snorkeling. Life vest dan snorkel sudah disiapkan mereka. Sedangkan saya? Saya pemanasan Dynamic Warmup Pro Freeletics. Sebelumnya, dari mes pajak saya sudah mempersiapkan diri perlengkapan sebaik mungkin antara lain topi Kodim 107 Aceh Selatan , jam Garmin, kaos manset, kaos Reebok berwarna kuning, celana lari Reebok, dan celana baselayer Tiento.


Bersiap-siap lari.

Sepatu? Tidak saya pakai. Dan yang tidak saya lupa adalah minyak kelapa buatan sendiri yang saya lumuri ke punggung telapak tangan dan wajah saya. Minyak kelapa ini efektif sebagai sunblock.

Selagi teman-teman saya sudah menceburkan diri mereka ke air laut, saya mulai lari pada pukul 10.30. GPS Garmin dan sinyal telepon berfungsi penuh. Barangkali karena pulau ini masih dekat dengan daratan.

Beberapa pohon tumbang yang sudah lama mati, semak, dan pohon bakau menghalangi lintasan lari. Ada yang masih bisa dilompati dan ada juga yang saya harus memutarinya karena ujung batang pohon mati ini menjorok ke laut.

Ternyata tepian pantai pulai ini tidak semua mulus dengan pasir putih nan lembut seperti di titik star. Terkadang saya harus melewati batu-batu kecil pecahan karang sehingga saya harus berlari pelan melewatinya. Inilah pentingnya memakai sepatu lari dalam kondisi apa pun.

Terkadang juga saya harus berlari di bawah pepohonan rindang. Terkadang juga harus berlari di tepian pantai yang airnya sudah setinggi lutut. Ini yang membuat saya harus mengurangi kecepatan lari dan bahkan terseok-seok berjalan di atas air. Sudah jelas ini mengurangi pace lari saya. Tapi ini benar-benar lari trail.

Dengan kondisi lintasan seperti ini saya sudah tidak memikirkan pace. Yang saya pikirkan adalah bagaimana menyelesaikan jarak 10 kilometer. Sempat pula saya memikirkan untuk berhenti saja. Itu ada di dua kali putaran. Tapi akhirnya tetap lanjut untuk berlari. Saya tidak perlu memikirkan kondisi lintasan, nikmati saja lari dan pemandangan indah pulau ini.

Alhamdulillah, masih bertahan sampai putaran kelima. Di putaran keenam saya terpeleset saat menginjak batang kayu mati. Syukurnya hanya sedikit luka di tangan. Tapi masih bisa terus. Putaran selanjutnya batang kayu itu sudah saya ingat untuk dilompati saja. Tidak untuk diinjak.

Di putaran ketujuh, ada rombongan kecil datang dari daratan. Mereka memakai perahu SAR. Salah seorang dari mereka memakai kaos Freeletics. Wah, saya ternyata punya teman Freeletics juga di Aceh Selatan ini.

Sepintas saya melihat Garmin, pace lari saya berada di angka 8:30 menit/km. Ini bukan pace biasa saya. Ini pace siput, tapi tak mengapa. Saya tetap menjaganya di angka itu. Masih belum berasa haus, ngos-ngosan, dan capek.

Akhirnya 10 kali putaran bisa saya tempuh. Pada saat itulah saya mulai mengambil air minum. Masih dua kali putaran lagi nih. Insya Allah masih bisa bertahan. Siang sudah mulai menyengat. Kaos manset dan topi berfungsi efektif menghalangi sinar matahari siang yang membakar. Akhirnya tepat di putaran 12, saya berhenti di titik star yang sekaligus jadi titik finis. Pas 10 Km. Done! Finish! Mission Accomplished!

Barangkali—namanya juga barangkali—sayalah yang pertama melakukan trail run 10K di Pulau Dua ini. Apa yang saya rasakan selama lari trail ini? Sebuah rasa kebebasan dan kepuasan karena bisa berlari di tengah alam terbuka yang tidak dibatasi oleh jalanan aspal. Bisa lari-lari di tepian pantai. Bisa berlari di tengah ombak yang berusaha menenggelamkan kaki-kaki saya. Bisa lari di sebuah pulau tropis kecil yang jarang orang bisa mendapatkan kesempatan istimewa ini. Apalagi orang Jakarta. Hahaha…



Ternyata lari trail saya ini sampai menghabiskan waktu hampir satu setengah jam. Tepatnya 1:24:35. Pace-nya 8:27 menit/km. Lumayanlah.

Selesai lari pas waktunya makan siang. Kami makan nasi bungkus dengan lauk ikan yang diantar oleh nelayan barusan. Enak sekali pas makan lagi lapar dan lelah-lelahnya. Waktu pagi saya sarapan singkong rebus, tauge rebus, dan telur ceplok, sekarang tak apalah saya makan nasi. Saya butuh asupan karbohidrat segera soalnya.

Setelah makan siang saya snorkeling sendirian. Teman-teman sudah selesai dari tadi. Setelah itu saya salat zuhur dan ngobrol kesana kemari dengan teman-teman sambil menikmati sejuknya angin yang bertiup sepoi-sepoi. Bahkan saya sampai tertidur di atas pasir putih sebagai tilamnya dan daun-daun pepohonan sebagai atapnya.

Jam setengah empat kami bersiap-siap ke daratan. Perahu sudah akan menjemput. Tidak lupa kami mengumpulkan sampah yang berserakan. Kami tidak mau sampah mengotori pulau kecil ini.

Kami bergerak ke titik pendaratan semula. Di sanalah saya bertemu dengan pemakai kaos Freeletics itu yang ternyata kami satu grup Facebook di Freeletics Jakarta. Namanya Rizki Buna, Komandan Kompi kesatuan Brimob Trumon, berasal dari Palembang, dan kakaknya ternyata lulusan STAN juga.

Kami tidak pernah bertemu sebelumnya dan kami dipertemukan pada saat yang tepat. Di sebuah pulau kecil, di sebuah pertemuan yang tidak direncanakan. Memang takdirnya begitu. Sesama anggota Freeletics kami pun berfoto bersama.


Saya dan Rizki Buna.

Rizki Buna ini di Pulau Dua ini mau diving dan menembak ikan dengan panah bersama kawan-kawan dari Polres dan Tim SAR Aceh Selatan. Hasil ikan tangkapannya dibakar dan dimakan ramai-ramai. Ketika perahu nelayan itu tiba, saya pamitan kepada Rizki. Lain kali kita berjumpa lagi.

Akhirnya kami menyeberang kembali ke daratan Sumatera. Saya masih menempati bagian belakang perahu sambil memandangi Pulau Dua yang lama-kelamaan semakin menjauh. Sebuah pengalaman luar biasa bisa singgah di pulau itu dan bisa lari-larian di sana. Sebuah kenangan indah sebelum saya meninggalkan Aceh Selatan. Insya Allah.

Lalu setelah ini lari di mana lagi?

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

27 Februari 2016

 


Filed under: freeletics, traveling Tagged: aceh selatan, Bakongan, Brimob Trumon, Dynamic Warmup Pro Freeletics, FREELETICS, freeletics aceh selatan, freeletics jakarta, Garmin,, legenda Tuan Tapa, Minyak kelapa efektif sebagai sunblock, polres aceh selatan, Pulau Dua, Rizki Buna, samudra hindia, Tim SAR Aceh Selatan, trail run 10K, traveling aceh, traveling aceh selatan, tujuan snorkeling, wisata aceh selatan, wisata pulau dua, wisata tapaktuan

RIHLAH RIZA #68: Di Atas Space of Hope

$
0
0


Kami bertiga di atas Space of Hope.

Berkali-kali ke Banda Aceh tapi belum sempat jua untuk berkunjung ke Museum Tsunami Aceh. Melewatinya berkali-kali tapi hanya sekadar lewat. Sambil lari, sambil ngelamun, sambil tidur. Sudah hampir dua tahun setengah di sini, tidak bisa begini saja. Harus mampir dan melihat-lihatnya. Takdir mengangkangi saya akhirnya.

Mulanya ada undangan ke Lhokseumawe. Ada rapat koordinasi daerah (rakorda) se-Kantor Wilayah DJP Aceh. Tumben nih Kepala Seksi Penagihan diundang rakorda. Biasanya enggak. Atau saya yang lupa? Atau karena ini Tahun Penegakan Hukum? Entahlah.

Kabar angin, awalnya rakorda akan diselenggarakan di Takengon. Tempat yang belum pernah saya ludahi, maksudnya saya kunjungi. Saya jarang meludah kok. Tapi tidak jadi karena Jokowi mau ke sana. Di Sabang kabar lainnya. Asyik bisa ke sana, ke sebuah tempat yang orang se-Indonesia pengen banget ke titik 0 Indonesia. Saya aja belum pernah ke sana. Enggak jadi juga ternyata.

Kabar terakhir di Lhokseumawe, ini pasti jadinya. Ini kali kedua saya akan singgah di kota terbesar kedua di Provinsi Aceh setelah Banda Aceh. Terakhir saya ke sana bulan Desember dua tahun lalu. Waktu memang cepat sekali berlalu. Atau lambat? Yang bilang cepat biasanya yang tidak pernah melakukan plank. Hahaha…

Banyak jalan menuju Lhokseumawe. Dari Tapaktuan tentunya. Pertama, via Meulaboh ke Banda Aceh lalu ke Lhoksuemawe. Jaraknya 714 km. Jalannya lebar dan mulus. Kedua, via Meulaboh melalui jalur tengah Aceh lewat Tutut, Tangse, dan Tanjong. Jaraknya 540 km. Jalanannya kecil, menaiki gunung, menyusuri lembah, dan menyeberangi hutan. Jalan kedua ini tidak direkomendasikan.

Ketiga, via Subulussalam lalu ambil ke kiri dari Sidikalang, melalui Kutacane, Blangkejeren, Idi baru ke Lhokseumawe. Jaraknya 710 km. Waw, jauh juga, apalagi jalannya berkelok-kelok. Keempat, via Subulussalam, Binjai, Stabat, dan Langsa. Jaraknya 682 km. Menarik juga. Tapi pada akhirnya kami bertiga (Saya, Mas Djono, dan Mas Sigit) lebih memilih jalan pertama. Kami akan menginap semalam di Banda Aceh.

Perjalanan kami dimulai Ahad pagi dengan menggunakan double cabin plat merah. Sekali lagi, seperti yang sudah pernah saya katakan, tidak ada angkutan umu di siang dari Tapaktuan menuju Banda Aceh atau pun ke Medan. Transportasi angkutan penumpang semua bergerak pada malam hari. Ini susahnya.

Kami mampir di Meulaboh untuk makan siang dan berhenti di spot-spot indah pantai barat Aceh. Berfoto-foto sebentar lalu melanjutkan perjalanan lagi. Sampai di Banda Aceh malam hari. Besoknya kami akan berangkat menuju Lhokseumawe. Masih ada 274 km lagi. Kelakon juga makan cane kampung kesukaan saya di Canai Mamak. Amboi…

Singkat cerita, keesokan harinya setelah jalan-jalan pagi dan sarapan di Blang Padang ada niat mendadak tercetus dari kami untuk mengunjungi Museum Tsunami Aceh. Kebetulan dekat dengan Blang Padang jadi sekalian saja kami ke sana.

Akhirnya bisa masuk juga ke museum yang mulai dibangun sejak tahun 2007 dan dibuka untuk umum tahun 2009 ini. Gratis. Buka mulai pukul 09.00 sampai pukul 16.30. Hari libur nasional malah tutup. Sayang sekali museum ini tidak diberi besi penghalang yang berputar sebagai penghitung jumlah wisatawan yang masuk sebagaimana adanya di pintu masuk tempat-tempat wisata lainnya.

Jadi Museum Tsunami Aceh ini untuk mengenang peristiwa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 silam. Peristiwa dahsyat yang menelan korban jiwa sebanyak lebih dari 200.000 nyawa manusia. Apalagi dengan kehancuran infrastruktur, kepedihan, dan trauma yang berkepanjangan. Namun hikmah terbesarnya adalah perdamaian dan pembangunan setelah itu. Membungkus konflik sesama anak bangsa yang selama ini terjadi dan menguburnya dalam-dalam untuk dilupakan dan diambil pelajarannya.

Persis di depan pintu masuk museum ada rongsokan helikopter polisi yang membantu evakuasi tsunami pada saat itu. Ini salah satu spot yang banyak digunakan oleh pengunjung museum untuk berfoto-foto.

Kami memasuki sebuah gang sempit dan gelap yang di dalamnya ada jembatan dengan dinding-dinding yang dialiri oleh air dari atas. Suara gemericiknya membahana seakan-akan kami sedang dalam sebuah pusaran tsunami. Inilah kami yang sedang berada di Space of Fear (Lorong Tsunami).

Jembatan itu menghubungkan kami ke ruangan yang bernama Ruang Kenangan (Space of Memory). Ada 26 layar monitor di sana yang ditanam dalam tiang-tiang setinggi pinggang. Slide demi slide tentang bencana tsunami ditampilkan dalam layar monitor itu. Layarnya masih tampilan kuno, belumlah layar sentuh.

Dari sana kami beranjak ke Sumur doa (Space of Sorrow). Adalah sebuah ruangan berbentuk cerobong asap besar yang di atasnya ada kaca bercahaya bertuliskan asma Allah. Suara murottal Hani Arrifai berkumandang di ruangan ini. Dinding-dindingnya penuh dengan nama-nama korban tsunami. Menggidikkan.

Kemudian kami naik memutari ruangan cerobong itu melalui jalan berkelok yang disebut Space of Confuse. Setelahnya baru kita menjumpai jembatan terang benderang penuh cahaya matahari yang di bawahnya ada kolam berair dan di atasnya atap kaca dengan bendera-bendera negara donor yang membantu rehabilitasi Aceh bertuliskan kata “damai” dalam berbagai bahasa.

Museum ini sangat artistik, dirancang oleh pemenang sayembara desain museum yang diselenggarakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias yaitu tim Ridwan Kamil, walikota Bandung saat ini.

Dua jembatan yang kami lewati barusan itu sangat filosofis dan simbolik. Jembatan gelap dan jembatan penuh cahaya. Musibah itu adalah kegelapan. Pembangunan, harapan, dan kebahagiaan datang setelah musibah. Disimbolkan dengan jembatan penuh cahaya yang menembus dari atap museum yang transparan. Inilah yang disebut Space of Hope.

Di ujung jembatan kami memasuki ruangan pemutaran film dokumenter berdurasi pendek tentang kejadian tsunami. Mengharukan sih melihat tayangan itu. Mengenang saat-saat ketika nurani sebangsa tersentuh dan dari seluruh penjuru tanah air datang dan berduyun-duyun membantu korban-korban bencana itu.

Kemudian kami memasuki ruangan dokumentasi foto-foto tsunami, lalu ke bagian diorama. Ada juga ruangan yang memberikan edukasi tentang bencana tsunami, geologi, pembentukan bebatuan di bumi, penyebab gempa bumi, dan lain sebagainya. Ada alat-alat yang bisa disentuh sebagai pembelajaran namun sebagian besar sudah pada rusak. Semua ini berada di lantai dua museum. Lantai tiga ditutup.

Museum yang bangunannya berbentuk seperti perahu ini didesain memutar sehingga pengunjung bisa melihat seluruh isi museum tanpa harus bolak-balik. Ujung dari akhir pejalanan kami menyusuri museum ini adalah ruangan di depan bioskop kecil tempat pemutaran film dokumenter itu.

Kami keluar dan sempat mengabadikan diri di plang nama Museum Tsunami Aceh berukuran besar yang berwarna biru. Usai sudah. Tempat yang menarik dan tak lengkap memang kalau kita singgah di Banda Aceh namun tak mengunjungi zona perenungan akan bala masa lalu ini.

Kami pergi meninggalkan museum menjelang duha yang akan berakhir. Setelah itu akan menjemput takdir. Takdir yang lain. Menuju Lhokseumawe. Kami. Bertiga.


Di sebuah pantai dekat Meulaboh. Lagulu…lagaklu…


Museum Aceh dilihat dari kejauhan. Seperti perahu. (Foto pribadi).


In Space of Confuse.


Mas Suardjono, saya, dan Mas Sigit Indarupa. Thanks buat “yang tak bisa disebut namanya” karena telah memfoto kami.


Di depan Museum Tsunami Aceh dengan jagung manis di sebuah cup.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

3 Maret 2016

 


Filed under: Rihlah Riza, traveling Tagged: angkutan tapaktuan lhokseumawe, Canai Mamak, Hani Arrifai, museum aceh tsunami, ridwan kamil, sabang, sigit indarupa, space of fear, space of sorrow, Suardjono, Sumur doa, tahun penegakan hukum, titik 0 Indonesia, transportasi tapaktuan lhokseumawe, traveling aceh, traveling Indonesia, trayek tapaktuan lhokseumawe, wisata aceh

Wow, Pajak Pesangon Besar Sekali. Mengapa Begini? Ini Jawabannya

$
0
0


Ada email masuk kepada saya dari Ibu Nur Laely. Ia sedang mempelajari perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas pesangon. Ada yang ingin ia tanyakan. Berikut email lengkapnya.

Email Ibu Nur Laely:

Terima kasih atas waktunya,

Saya mempelajari mengenai perhitungan pph 21 atas pesangon , Dan saya menemukan soal & jawaban berikut :

Agung Budi merupakan pegawai tetap pada PT. Maju Mundur sejak tahun 1980. Pada bulan April 2011, Agung Budi terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Agung Budi menerima pembayaran uang pesangon sebesar Rp. 900 juta yang dibayarkan secara bertahap oleh PT Maju Mundur dengan jadwal pembayaran sebagai berikut:

Bulan April 2011 sebesar   Rp. 250.000.000,00

Bulan Maret 2012 sebesar   Rp. 200.000.000,00

Bulan Januari 2014 sebesar   Rp. 450.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pesangon yang diterima Agung Budi adalah sebagai berikut :

Bulan April 2011

Jumlah penghasilan bruto Rp. 250.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:

0%   x Rp 50.000.000,00          = Rp                 0,00

5%   x Rp 50.000.000,00          = Rp     2.500,000,00

15% x Rp 150.000.000,00        = Rp   22.500.000,00

Jumlah :                                = Rp   25.000.000,00

Bulan Maret 2012

Jumlah penghasilan bruto Rp. 200.000.000.00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:

15%   x Rp 200.000.000,00   =    Rp    30.000,000,00

Jumlah                                   =    Rp.   30.000.000.00

Bulan Januari 2014

Jumlah penghasilan bruto Rp. 450.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:

5%     x  Rp   50.000.000,00 = Rp. 2.500.000.00

15%   x  Rp 200.000.000,00 = Rp. 30.000.000.00

25%   x  Rp 200.000.000,00 = Rp. 50.000.000.00

Jumlah                               = Rp. 82.500.000.00

Yang saya pertanyakan untuk bulan Maret 2012 kenapa perhitungannya langsung menggunakan lapisan ke 3 yaitu 15 % dan Bulan Januari 2014 kenapa tidak di mulai dari lapisan ke 1 yaitu 0% ?

Mohon di bantu untuk di jelaskan pak..

Berikut jawaban pertanyaannya.

Ada dua pertanyaan dari Ibu Nur Laely.

Pertama, untuk bulan Maret 2012 kenapa perhitungannya langsung menggunakan lapisan ke 3 yaitu 15 %?

Berdasarkan ketentuan yang ada yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan
Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus tepatnya di Pasal 2 ayat (2) di sana disebutkan bahwa:

Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.

Dalam kasus tersebut Pak Agung Budi menerima pesangon pertama dan kedua masih dalam rentang waktu dua tahun, dengan demikian dianggap sebagai penerimaan pesangon yang dibayarkan sekaligus. Maka pengenaan tarifnya masih menerapkan tarif progresif lanjutan.

Seperti kita ketahui bahwa tarif PPh Pasal 21 atas pesangon adalah sebagai berikut:

Tarif Pajak

Pesangon (Rp)

0%

0 s.d. 50 Juta

5%

Di atas 50 juta s.d. 100 juta

15%

Di atas 100 juta s.d. 500 juta

25%

Di atas 500 juta

Dalam jangka dua tahun tersebut total pesangon Pak Agung Budi berjumlah Rp450.000.000,00. Jadi maksimal penerapan tarifnya paling besar sebesar 15%. Dikenakan tarif langsung pada lapisan ketiga yaitu 15% itu untuk pesangon yang diterima pada bulan Maret 2012 sesuai perhitungan di atas.

Atau bisa dengan menggunakan perhitungan berikut untuk perhitungan pesangon yang kedua itu (yang diterima Maret 2012):

0%   x Rp 50.000.000,00          = Rp                 0,00

5%   x Rp 50.000.000,00          = Rp     2.500.000,00

15% x Rp 350.000.000,00         = Rp   52.500.000,00

Jumlah PPh Pasal 21 total = Rp 55.000.000,00

Jumlah PPh Pasal 21 Bulan Maret 2012= PPh Pasal 21 Total –PPh Pasal 21 bulan April 2011 = 55 juta – 25 juta = Rp 30 juta.

PPh Pasal 21 ini bersifat final. Tidak dapat menjadi kredit pajak dalam SPT Tahunan Orang Pribadi Pak Agung Budi.

***

Kedua, Bulan Januari 2014 kenapa tidak dimulai dari lapisan ke-1 yaitu 0%?

Maksud pertanyaan Ibu Nur Laely ini mengapa untuk kasus itu tidak menggunakan tarif PPh Pasal 21 atas pesangon yang dimulai dari tarif 0% itu?

Dalam Pasal 6 ayat (1) PP tesebut di atas itu disebutkan bahwa:

Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan  yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan.

Jadi pesangon Pak Agung Budi yang dibayarkan pada bulan Januari 2014 merupakan pesangon yang dibayarkan lebih dari dua tahun jaraknya dari pesangon pertama. Maka berlaku ketentuan Pasal 6 ayat (1) PP itu yakni menggunakan tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh

Penghasilan (Rp)

5%

0 s.d. 50 Juta

15%

Di atas 50 juta s.d. 250 juta

25%

Di atas 250 juta s.d. 500 juta

35%

Di atas 500 juta

Maka benarlah perhitungan di atas yaitu:

Bulan Januari 2014

Jumlah penghasilan bruto Rp. 450.000.000,00

Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang:

5%     x  Rp   50.000.000,00 = Rp. 2.500.000.00

15%   x  Rp 200.000.000,00 = Rp. 30.000.000.00

25%   x  Rp 200.000.000,00 = Rp. 50.000.000.00

Jumlah                               = Rp. 82.500.000.00

Pak Agung Budi kena tarif PPh yang lebih besar lagi, tetapi PPh Pasal 21 terutang sebesar Rp82,5 juta ini tidak bersifat final artinya bisa menjadi pembayaran pajak pendahuluan atau menjadi kredit pajak dalam SPT Tahunannya.

Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi adalah perhitungan di atas apabila Pak Agung Budi memiliki NPWP. Jika tidak memiliki NPWP maka tarif pesangon yang dikenakan menjadi lebih tinggi 20%. Artinya PPh pesangon Pak Agung Budi akan dikalikan dengan faktor pengali sebesar 120%. Ini khusus untuk perhitungan tahun ketiga dan tahun-tahun selanjutnya.

Perhitungannya sebagai berikut:


Demikian. Semoga manfaat.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

10 Maret 2016

Picture via goodwp.com



Filed under: Masalah Perpajakan Tagged: cara menghitung pph atas pesangon, pp 68 tahun 2009, pp 68/2009, pp no 68 tahun 2009, pp no 68/2009, pp nomor 68 tahun 2009, PPh atas pesangon, pph pesangon, tarif pesangon, tarif pph pasal 21 atas pesangon, tarif pph pasal 21 pesangon, tarif pph pesangon

RIHLAH RIZA #69: Saat Bangun Tidak Capek itu Sebuah Kenikmatan

$
0
0


Rakorda di Lhokseumawe menyisakan sesuatu yang mengesankan buat saya. Bukan tentang rakordanya, kotanya, atau apanyalah. Tapi satu hal: bus malam jurusan Lhokseumawe-Medan. Ceritanya begini.

Akhir pekan setelah rakorda saya tidak kembali ke Tapaktuan. Sudah waktunya saya pulang ke Bogor. Dari Lhokseumawe banyak moda transportasi menuju Medan. Bisa travel, bus, ataupun pesawat. Saya pilih bus, karena pesawat baru bisa terbang besok sore. Sayang banget dengan waktu yang terbuang hanya seharian menunggu pesawat.

Di Lhokseumawe ada banyak bus. Entah bus yang berangkat langsung dari Lhokseumawe itu sendiri atau bus dari Banda Aceh yang mampir di kota ini. Jadi saya masih banyak disuguhkan alternatif moda transportasi.

Karena acara rakorda selesainya malam banget, saya memilih bus malam yang berangkat dari Lhokseumawe jam 23.30. Bangku bus sudah dipesankan oleh teman baik saya di sana, Yudhi Meilando, Kepala Seksi Pemeriksaan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lhoseumawe.

Jam segitu masih ada waktu untuk mengejar pesawat pagi di Kualanamu. Untuk jaga-jaga saya ambil tiket pesawat jam sembilan pagi. Lebih santai dan tidak terburu-buru.

Diantar Mas Fabian, AR Lhokseumawe, kami bertiga menuju terminal. Awalnya Mas Yudhi yang akan mengantar kami, tetapi sampai hampir jam 23.15 Mas Yudhi tidak nongol-nongol. Akhirnya Mas Fabian yang menawarkan diri mengantar kami ke sana.

Ternyata terminal bus Lhokseumawe tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Pantas saja Mas Yudhi nyantai menjemput kami yang akhirnya tidak jadi. Karena memang dekat banget. Tidak sampai dua kilo. Lima menit pun sampai kalau naik mobil. Apalagi di malam hari.

Memasuki terminal Lhokseumawe seperti memasuki terminal di pulau jawa. Ramai sekali. Sudah lama saya tidak melihat keramaian terminal. Jangan tanya tentang terminal Tapaktuan, siang saja sepi banget.

Banyak bus berjejer di terminal. Masih banyak loket yang buka. Pedagang asongan juga banyak. Peminta-minta juga saling bergantian memasuki bus. Terbayang sebuah momen masa lalu saat masih kuliah di kampus STAN bepergian ke Lampung malam-malam dan terdampar di terminal Tanjung Karang.

Teringat juga terminal Tasikmalaya saat saya berpetualang sendirian 20 tahun lampau dan sampai di sana pukul dua dini hari. Mendekat kepada tukang jual ketan bakar untuk mencari kehangatan dan menghindari dingin yang menggigit.

Saya beli tiket di loket Bus Putra Pelangi Perkasa. Harganya Rp140.000 untuk bus yang bangku penumpangnya berkonfigurasi kursi 2-1. Menurut saya harganya worth it lah. Tapaktuan-Medan lebih jauh sih. Tarif travelnya sebesar Rp170.000.

Ada juga bus Putra Pelangi Perkasa dengan konfigurasi 2-2 yang berangkat ke Medan pukul 23.00 tapi sampainya sama dengan bus yang berangkat jam 23.30. Jadi saya pilih yang 2-1 saja.

Di terminal sudah ada Mas Yudhi yang ternyata juga sedang mengantar pejabat Kanwil DJP Aceh. Saya mengucapkan terima kasih banyak-banyak ke Mas Yudhi atas bantuan pemesanan tiket bus dan perannya sebagai tuan rumah rakorda. Kita ini sahabat karib yang sama-sama sedang menunggu mutasi. Hahahaha. Soalnya, sudah dua tahun lebih kami di Tanah Rencong ini.

Saya pamit kepada Mas Yudhi dan langsung naik bus. Sudah lama banget saya tidak naik bus umum. Terakhir lebih dari setahun yang lalu saat mengejar pemakaman almarhum Bapak di Jatibarang, Indramayu—yang akhirnya tak terkejar juga. Naik bus Sahabat jurusan Serang-Kuningan yang saya cegat di Slipi, Jakarta. Bangkunya 3-2. Penuh penumpang. Sandarannya tegak. Punggung harus lurus tentunya.

Saya memang tidak pernah naik bus konfigurasi kursi 2-1. Dan saya langsung terpukau. Kursinya gede dan lebar. Jadi terasa luas. Kursi pesawat kelas ekonomi dan bisnis yang selama ini saya naiki pun kalah.

Sandarannya bisa diturunkan maksimal, lebih dari 45 derajat sepertinya. Nyaman dan tak mengganggu orang yang dibelakangnya. Anda yang sering naik pesawat pasti sudah tahu berapa cm sandaran kursi kelas ekonomi bisa diturunkan.

Itu pun saya pernah dimarahi oleh bapak-bapak yang duduknya dibelakang kursi saya, karena merasa terganggu. Bapak itu menahan kursi saya agar tidak turun dengan tangannya. Kayaknya bapak itu baru naik pesawat. Soalnya kursi itu sudah diset sedemikian rupa untuk bisa diturunkan sandarannya dan dianggap tidak mengganggu penumpang lain.

Tak ada larangan menurunkan sandaran kursi kecuali pada saat naik atau turun landasan. Saya saja kalau penumpang di depan saya menurunkan kursi juga tidak marah. Saya tegur balik bapak itu. Kalau masih berlanjut saya akan panggil pramugarinya.

Kembali ke soal bus tadi. Selain sandaran, kursinya juga ada penopang kaki yang bisa dinaikkan, sehingga kaki benar-benar lurus selonjor. Juga ada selimut dan bantalnya segala. Benar-benar dah ah ya. Bus ini memanjakan penumpangnya.

Saya dapat kursi dengan nomor 6A, satu kursi di sebelah jendela. Posisi kursi sepertinya di atas ban. Tapi tak masalahlah.

Bus berangkat jam 23.50 dari terminal Lhokseumawe. Saya langsung mematikan tablet Samsung. Menghemat baterainya. Apalagi mata sudah berat banget. Saya luruskan kaki dan memejamkan mata. Apa yang terjadi kemudian setelahnya?

Saya benar-benar bangun ketika Bus sudah mencapai kota Medan, tepatnya di pasar Kampung Lalang yang sudah ramai menjelang Subuh. Sudah jam lima pagi. Dan saya benar-benar tidur lelap. Enggak ada tuh kejadian kayak di perjalanan Medan-Tapaktuan dengan naik travel. Leher , punggung, atau tulang ekor sakit semua. Saya bangun dengan benar-benar fresh.

Sebenarnya ada sih bus dari Medan yang menuju Tapaktuan. Bus Sempati Star tujuan Meulaboh. Tapi ketepatan waktu datangnya tidak bisa diperkirakan. Bisa pagi bahkan siang. Jadi pasti telat ngantor kalau naik bus ke Tapaktuan.

Bisa jadi kenyamanan bus Putra Pelangi Perkasa ini karena busnya memang bagus. Hebat benar bus ini. Biasanya jenis busnya adalah Jetliner New Mercedes-Benz. Supirnya juga bawanya enak. Bahkan ketika tempat duduk saya ini di atas ban. Enggak gajrut-gajrutan kayak bus Transjakarta.

Barangkali juga karena jalannya malam, lagi sepi-sepinya orang, juga karena jalan Lhokseumawe Medan itu lurus dan lebar. Tidak seperti jalan Medan Tapaktuan yang berliku-liku, naik gunung, dan masuk hutan.

Bus tepat berhenti di pool ALS jam 05.20. Kami yang mau ke Kualanamu turun di sini. Sudah terparkir beberapa bus ALS yang akan membawa kami ke bandara. Pas azan, saya salat Subuh dulu di lantai dua bangunan ruko yang menjadi markas bus ALS bandara. Hampir jam enam pagi bus ALS berangkat ke Kualanamu.

Teman-teman saya yang ditempatkan di kantor pajak Lhokseumawe menurut saya dapat kenikmatan lebih dengan kemudahan dan kenyamanan transportasinya. Tak perlu capek dan butuh waktu lebih lama menuju kantor.

Terus terang saja saya terkesan sama bus dan perjalanan ini. Mungkin kesannya begitu mendalam karena benar-benar beda jauh dengan segala hal yang berkaitan dengan Tapaktuan. Ini bukan soal membandingkan nikmat atau sawang sinawang yah. Hanya masalah beda ini saja: bangun tidak capek saat naik bus. Itu saja. Ini luar biasa bagi saya. Top dah.

Saran saya kalau memang sedang santai dan tidak terburu-buru menuju Lhokseumawe atau Banda Aceh lebih baik naik bus daripada naik pesawat. Nyamannya luar biasa.

Saking luar biasanya itulah maka saya catat perjalanan ini di Rihlah Riza. Jurnal perjalanan saya selama di Aceh. Semua yang ada di Rihlah Riza adalah segala hal yang berkesan di lubuk hati dan pikiran saya yang paling dalam. Entah orang, entah suasana, entah tempat, entah kamu. Iya kamu…

Persiapan sebelum ke terminal bus. Reuni pegawai KPP Pratama Tapaktuan. Yang berangkat ke terminal tidak semua di foto itu. Dari kiri ke kenan: Fahrul Hady, Saya, Suardjono, Sigit Indarupa, Sabar Donal, Fabian.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

13 Maret 2016

 


Filed under: Rihlah Riza Tagged: als menuju bandara kualanamu, Fabian, fabianus gita, Fahrul Hady, Jetliner New Mercedes-Benz, kepala seksi pemeriksaan, kpp pratama lhokseumawe, lhokseumawe-medan, medan-lhokseumawe, medan-tapaktuan, perjalanan lhokseumawe-medan, putra pelangi, putra pelangi perkasa, Sabar Donal, sigit indarupa, Suardjono, yudhi meilando
Viewing all 861 articles
Browse latest View live