Quantcast
Channel: Riza Almanfaluthi
Viewing all 870 articles
Browse latest View live

Cerita Lari: Menjadi Prajurit Alqutuz

$
0
0


Sejak ditempatkan di Tapaktuan dan mengenal olahraga lari, keterbatasan waktulah yang menghalangi saya untuk mengikuti lomba-lomba lari. Tapaktuan itu jauh kemana-mana. Tapi kali ini, takdir menentukan lain. Akhirnya kesampaian juga buat ikut race di SpecTAXcular 2016. Homely karena yang menyelenggarakan adalah instansi sendiri.

Sebuah even kampanye pajak yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada hari Ahad, 29 Mei 2016 di Jakarta, tepatnya di pelataran parkir barat Sarinah Plaza. Salah satu acaranya adalah lomba lari 5K.

Ini race pertama saya. Momen pertama kali saya untuk bisa mengunjungi Car Free Day (CFD) di Jalan Jenderal Sudirman dan Thamrin, Jakarta. Juga adalah kopdar pertama saya bersama teman-teman lari di DJP Runners yang seru-seru itu.

Berangkat Jumat malam dari Tapaktuan, sampai Sabtu siang di Bandara Halim Perdanakusumah. Sampai di Citayam Bogor sudah sore. Langsung saya ajak istri dan Kinan untuk pergi ke rumah adik di Jakarta. Malamnya saya carbo loading sambil mengitari seputaran Jalan Wahid Hasyim dan Jalan Cut Meutia, Jakarta.

Persiapan

Racepack yang diambil oleh adik saya tadi siangnya sudah saya bongkar. Terima kasih kepada Mas Asdaferry Artha Bitana (anggota DJP Runners) yang sudah mengizinkan adik saya mengambil racepack itu. Isi racepack yang dibungkus tas kecil
warna putih
itu adalah BIB plus empat peniti, kaos lari warna kuning, dan brosur yang berisi ketentuan dan rute lari. Saya kira ada chip-nya di racepack ini ternyata dari konfirmasi yang ada, chip tidak disediakan oleh panitia.

Sebelum tidur, semua sudah saya persiapkan. Untuk besok, sesama anggota DJP Runners sepakat untuk memakai jersey warna biru kami. Tak lupa uang secukupnya buat ngojek.

Paginya saya salat Subuh berjamaah di Masjid Cut Meutia. Di sana ternyata ada even lari juga yang diselenggarakan oleh remaja masjidnya. Sudah banyak panitia yang bersiap-siap. Sepulangnya dari masjid cek persiapan lagi. Saya pastikan, saya tidak akan membawa gadget. Tablet dan telepon genggam saya tinggal ke Ummu Kinan. Saya mau fokus ke larinya.

Sampai di garis start jam 5.30. Cukup mudah mengenali anggota DJP Runners yang lain dengan kostum mereka. Di sana sudah ada Mbak Rice. Orang yang pertama kali saya temui. Peserta lain yang memakai kaos kuning dari racepack juga sudah terlihat banyak di sana.

Setelah acara dibuka oleh MC kondang dan Pak Menteri Keuangan datang pada pukul 06.30 maka bersiap-siaplah semua peserta lari berada di garis start. Saya berada di lapisan keempat. Pak Menteri mengibarkan bendera dan Go!!!

Menang Perang

Semua berhamburan dan lari cepat-cepat, ya iyalah masak lari lambat-lambat. Dan saya terbawa lari cepat-cepat juga. Padahal kalau saya tak menjaga ritme dan terburu nafsu di awal biasanya saya akan lemah di akhir. Mas Arif—teman sesama DJP Runners—sudah langsung ngibrit saja kayak ngejar copet sehabis turun dari Commuter Line jurusan Tanah Abang.

Di depan saya sekitar belasan orang. Mas Agus Maulana, pelari hebat dari DJP Runners yang berada di belakang saya, tiba-tiba sudah menyusul saya saja. Saya mau ngimbangin dia ternyata tak sanggup. Apalah awak ini? Cuma butiran pasir yang menempel di mobil bak pasir butut milik engkoh toko bangunan di Citayam.

Ada satu wanita di depan. Hebat euy larinya. Lalu ada satu lagi wanita pelari pakai jilbab menyusul saya lagi. Eleuh-eleuh. Eh tiba-tiba satu lagi menyusul saya lagi. Lebih tua daripada saya lagi. Hebat euy.

Di kilometer pertama itu, akibat ikut cepat-cepatan lari, jadinya mendongkrak pace saya. Di sekitaran empat menitan per kilometer. Wow, beda banget yah lari dalam latihan dengan lari dalam race.

Selama ini saya selalu lari sendirian. Baru seminggu yang lalu saya latihan lari berdua dengan teman satu kantor. Lari bareng memang meningkatkan performa kita. Dan pada saat race, performanya jadi bertambah lagi. Ada semangat kompetisi yang mendorong kita memacu tenaga. Apalagi dilihat dan disemangati banyak orang. Jadi booster benar dah.

Rute lari mulai dari Sarinah, menuju kolong bawah Stasiun Sudirman menuju Wisma 46 Kota BNI dan putar arah menuju Hotel Indonesia, lalu putar lagi di Patung Kuda Patung Arjuna Wijaya dan finis di tempat yang sama kami mulai lari.

Di kilometer kedua Mas Khanif dari Direktorat Intelijen Perpajakan DJP sudah nyusul saya lagi. Di terowongan dekat Wisma 46 ada marshal (Petugas penjaga lari) yang siap memberikan pita warna merah kepada para pelari.

Posisi saya jauh dengan rombongan yang di depan dan dengan rombongan di belakang saya. Otomatis saya seperti lari sendiri. Pace tetap terjaga di kilometer dua dan seterusnya. Berkisaran di 5 menit/km.

Ada cowok yang menyusul saya eh kemudian berhenti, nafasnya sudah ngos-ngosan banget. Jadinya kesusul saya lagi. Satu lagi menyusul saya dan tak pernah bisa terkejar oleh saya.

Di bundaran patung kuda, kita balik lagi menuju Sarinah. Ada marshal yang ngasih pita warna biru. Saya tetap lari dengan ngos-ngosan. Pace masih di 5 menit/km. Sudah tak ada lagi yang menyusul saya.

Pada saat Garmin saya sudah menunjukkan kilometer 5, garis finis masih jauh. Dan saat mendekati perempatan Sarinah, saya pacu lebih kencang lagi. Garis finis sudah tampak. Sudah banyak orang bergerombol di sana. Perasaan saya ada yang berubah ketika mendekati garis finis itu. Seperti menjadi bagian dari pasukan Saifuddin Muzaffar al-Qutuz yang pulang dari perang Ain Jalut sembari membawa kemenangan saja.

Akhirnya finis juga. Di garis finis dikasih medali, lalu BIB-nya dicap dan dicontreng. Panitia memberi saya air minum dan satu buah pisang. Tak lupa kasih kartu khusus yang bisa ditukarkan dengan kartu Brizzi berisi uang sebanyak 30 ribu rupiah. Kata panitianya, kartu ini khusus buat 100 orang penamat pertama.

Euphoria

Alhamdulillah buat seumuran saya yang mendekati 40-an ini masih bisa finis strong adalah hal yang patut disyukuri. Masih bisa ngikutin larinya Mas Agus Maulana yang senior itu, mas Arif yang kenceng itu, mas Khanif yang muda itu, dan teman-teman yang lain sesama DJP Runners

Btw, kalau ada DJP Runners yang lebih duluan daripada saya dan namanya belum disebut saya, koreksi saya yah, hahaha. Maklum nih newbinol lagi euphoria. Dan bukannya sombong masih ada di 20 besar-lah. Yang penamat masih bisa kehitung dengan jari pada saat itu soalnya. Kalau di Jakmar, entah urutan ke berapa saya, urutan buncit paling.

Saya bersyukur saja masih bisa ikutan lari. Tak terbayangkan setahun setengah yang lalu. Ketika badan masih gendut dan lari 100 meter saja sudah mau mati. Sekarang sudah bisa lari, sudah bisa lari jauh, sudah bisa ikutan lomba. Ini gara-gara saya ikutan Freeletics itu. Freeletics memang mengubah hidup saya.

Buat yang mau berubah, ayo mulai perubahan itu dan jangan putus asa. Saya bisa, kamu juga pasti bisa. Insya Allah.


Before After. Hahaha…Teuteup…

Personal Best

Ngomong-ngomong ketika sampai finis dan disambut dengan ‘birokrasi’ panitia membuat saya lupa nge-save Garmin saya. Sudah beberapa lama di garis finis baru ingat buat nge-save. Akhirnya di jam tertulisnya begini. Waktu 29 menit 26 detik. Jarak tempuh 5,49 Km. Pace ada di 5:22 menit/km. Dan 356 kkal kalori yang terbakar.

Tapi saya tak perlu khawatir. Di kompi, hasil lari bisa dianalisis. Dan betul. dari GPS yang terekam oleh Garmin, pada saat titik finis saya berada di waktu dan posisi yang mana. Akhirnya ketahuan kalau ada waktu terbuang sekitar 30 detik tidak disimpan.

Dari data yang tersimpan di garmin itu saya juga tahu kalau di lomba lari 5K ini saya menempuh waktu tercepat dan menembus Personal Best (PB) saya selama ini. Selisihnya cuma 1 detik dari PB lama. Saya bisa lari 5K tepat dengan waktu 26:26 dengan pace 5:16 menit/km. Benar kata teman, kalau ikutan lomba jadi kita terpacu buat lari lebih kencang daripada lari biasanya.

Secara keseluruhan sebagai newbie di race, penyelenggaraan sudah cukup baik. Sekelas race gratisan seperti ini ya cukup baiklah. Jangan dibandingkan dengan race berbayar mahal seperti Jakmar itu yah.

Jadi pengen ikut lomba lagi. Rasa sampai finisnya itu loh yang beda banget. Medali pertama lari ini saya persembahkan khusus buat istri saya dan Kinan Fathiya Almanfaluthi.

Tetap niatkan lari ini dan meluruskan niat hanya karena mencari rida Allah. Bukan rida makhluk-Nya. Sehat dan kebaikan-kebaikan lainnya dari lari akan menyusul sebagai jaminan buat orang yang senantiasa ikhlas. Salam lari.

My BIB.

Rute larinya.

Aturan mainnya.

Suasana sebelum start.

Foto bareng setelah finis.

060216_0506_CeritaLariM8.jpg
Kartu yang bisa ditukar dengan Brizzi. 100 Besar dapat Brizzi isi 30.000.

060216_0506_CeritaLariM9.jpg

Ini hasil penukaran kartu. Dapat tas kecil isinya Brizzi.


Diajak Foto Bareng sama Pak Dirjen.


IMG-20160529-WA0020

Anggota DJP Runners yang lain.

Suasana Garis Finis.

 

Masih aja eksis.

Sesama anggota Direktorat Keberatan dan Banding DJP. Mbak Rice dan Mbak Wahju Handajani.

Ada Nidji. Saya mah pulang…

060216_0506_CeritaLariM17.jpg

Al Akh Henderi dapat doorprice ke bali. Di antara 2 MC Kondang.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

31 Mei 2016




Filed under: freeletics, Motivasi Tagged: agus maulana, Ain Jalut, Asda, asdaferry, Car Free Day, CFD, Direktorat Intelijen Perpajakan DJP, djp runners, FREELETICS, Khanif, kinan fathiya almanfaluthi, Mas Arif, Mbak Rice, Racepack, ria dewi ambarwati, Saifuddin Muzaffar al-Qutuz, Sarinah Plaza, SpecTAXcular 2016, ummu kinan, wahju handajani

Lakukan ini, Doa Pasti Dikabul, Salat Pasti Diterima

$
0
0


Tiga kali puasa, akankah tiga kali lebaran? Minggu terakhir di bulan Sya’ban ini menjadi kali ketiga mengawali puasa tidak di rumah bersama keluarga. Waw, perasaannya jadi campur aduk. Apalagi Tapaktuan sepi banget pada saat dua hari menjelang puasa. Toko-toko dan warung-warung pada tutup. Ada tradisi Meugang. Semua laki-laki Aceh berkumpul bersama dengan keluarganya sambil bawa daging sapi atau kerbau buat dimasak dan dinikmati bersama. Tradisi yang mengakar kuat sejak zaman kerajaan Aceh Darussalam.

Makanya ketika teman-teman kantor pada pulang dan memang harus pulang sedangkan saya jaga kantor, benar-benar saya cuma bisa berdoa agar saya punya kesempatan yang sama dengan mereka, bisa berkumpul dengan keluarga.

Bisa berbuka puasa bersama dengan anak dan istri itu adalah sesuatu yang istimewa. Menggelar tikar di ruangan utama lalu menaruh semua apa yang bisa disantap di atas tikar itu kemudian berdoa ketika azan berkumandang dan berbuka puasa, subhanallah. Jadi buat teman-teman yang sampai saat ini masih diberikan kenikmatan seperti itu. Syukurilah. Itu anugerah. Itu kenikmatan tiada tara. Tidak ternilai. Kalau sudah bisa disyukuri, maka yakinlah Allah akan menambah dengan begitu banyak kenikmatan lainnya.

Saya cuma bisa ngencengin doa. Doa pada saat berbuka puasa atau pada akhir malam, atau pada saat-saat mustajab yang lainnya. Apalagi doa orang berpuasa pun doa yang mustajab. Eh, bahkan sebenarnya ada suatu saat lain yang mustajab juga, bahkan ketika bukan di bulan Ramadhan. Saking bodohnya saya, hal beginian itu baru saya ketahui dalam seminggu terakhir ini. Dari video yang disebar secara viral. Ini berarti tanda saya masih awam dengan sebenar-benarnya tanda.

Saat yang seperti apa doa itu pasti juga dikabulkan? Ternyata pada saat terbangun dari tidur di malam hari. Betapa sering kita terbangun dari tidur di tengah malam untuk berbagai macam keperluan. Entah mau ke kamar mandi, menyalakan lampu, makan, menyalakan kipas angin, mimpi buruk, atau apalah. Lalu setelah hajat itu semua tertunaikan maka kita tidur kembali.

Selayaknya kita tambahkan saja satu agenda kecil sebelum kita benar-benar bangun menunaikan hajat kita itu. Dengan apa? Dengan berzikir dan memohon ampunan Allah. Karena pada saat itu merupakan kesempatan emas dan keutamaan yang mulia. Ini sudah dijanjikan oleh Baginda Rasulullah Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Dari ‘Ubadah bin Shamit berkata: Rasulullah—Shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda: “Barangsiapa yang terbangun di malam hari, lalu mengucapkan: “laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir, subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah, allahu akbar, wa laa hawla wa laa quwwata illaa billah” kemudian berdoa:  allahumaghfirlii  (Ya Allah ampunillah aku) atau dia berdoa,  maka doanya dikabulkan, jika ia berwudu dan salat, maka diterima salatnya. (HR. Albukhari)

Subhanallah. Ini sudah jaminan dari Allah dan rasul-Nya. Pasti terkabul. Jadi bagaimana caranya?

Sekali lagi kalau terbangun di malam hari maka lakukan hal-hal di bawah ini dan jangan melakukan hal-hal lain terlebih dahulu seperti melihat handphone, sms, whatsapp, atau mematikan jam weker. Tidak perlu berwudhu dulu dan tidak perlu bangkit dari kasur kita. Hanya butuh upaya menggantungkan hati kita kepada Allah dan berzikir dengan zikir sebagai berikut:

  1. Membaca laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodiir;
  2. Membaca subhanallah;
  3. Membaca walhamdulillah;
  4. Membaca wa laa ilaaha illallah;
  5. Membaca Allahuakbar;
  6. Membaca wa laa hawla wa laa quwwata illaa billah;
  7. Lalu berdoa allahumaghfirlii atau
    berdoa dengan doa lain. Doanya dijamin dikabulkan Allah.

Dan alangkah eloknya kemudian berwudu lalu salat maka salatnya pasti diterima.

Jadi doa akan dikabulkan dan salat akan diterima jika kita terbangun di malam hari lalu melaksanakan perbuatan ringan dengan berzikir setelahnya. Doa-doa lainnya doa yang seperti apa? Doa apa saja dengan meminta kepada Allah atas hal-hal yang kita cintai dan kita inginkan serta untuk kebaikan dunia dan akhirat kita. Tuh kan

Setelah baca Allahumaghfirli bolehkah berdoa dengan bahasa Indonesia? Tentu boleh. Bahasa daerah pun bisa. Allah maha mendengar. Allah maha mengetahui. Doalah sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.

Sebagaimana default doa bisa dikabulkan adalah dengan meyakini bahwa doa itu akan dikabulkan oleh Allah dan benar-benar menggantungkan hati kita kepada Allah. Kalau default-nya sudah terpenuhi maka pasti diterima. Insya Allah. Mudah bukan?

Ya Allah, kaitkanlah hati-hati kami kepada Engkau dan berilah kami taufik untuk melaksanakan zikir ini.

Beberapa malam sudah saya lakukan ini. Semoga terkabul atas harap yang saya panjatkan. Sebagai makhluk lemah tidak berdaya maka begitu banyak harapan-harapan yang dilempar ke langit, kepada Dia Pemilik Alam, yang maha menggerakkan hati makhluknya, tempat kita menyandarkan segala hajat.

Kalau sudah begitu, mengapa kita malas untuk berdoa? Sudah tiga kali puasa, akankah tiga kali lebaran?

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

5 Juni 2016

Ilustrasi gambar: science-all.com



Filed under: Keluarga, Motivasi Tagged: doa agar bisa terkabul, doa mustajab, doa tengah malam doa mustajab, lakukan zikir agar doa terkabul salat diterima, meugang, ramadhan, tapaktuan, ubadah bin shamit, zikir pada malam hari, zikir saat terbangun

Jangan Baper: Sekarang Siapa yang Gila Hormat?

$
0
0


Gila hormat itu tidak boleh, tetapi menjadi orang yang terhormat haruslah jadi tujuan hidup.

(Buya Hamka dalam buku Tasawuf Modern)

Ingat cerita tentang Nabi Khidir yang melubangi perahu nelayan miskin lalu membunuh seorang anak muda. Jelas secara akal sehat ini adalah sebuah kezaliman. Dan ini diprotes oleh Nabi Musa as yang baper.

Tapi dalam rangkaian QS Alkahfi diterangkan akhir cerita di atas bahwa ada hikmah atas semua kejadian itu. Hikmahnya seringkali kita harus berkhusnudzan dan jangan mengambil kesimpulan buruk terhadap seseorang karena yang nampak secara lahir belum tentu sama secara batin.

Maka dalam peristiwa kali ini kita pun perlu menggunakan perspektif Nabi Khidir agar tidak baper dan tidak berburuk sangka. Tentu bukan pada pembunuhan dan pelubangan itu, karena untuk realitas zaman sekarang—seperti yang dikatakan teman saya—rasanya sulit untuk berkhusnudzan terhadap orang yang melubangi perahu dan membunuh anak muda. Polisi akan turun tangan untuk menangkap pembunuh.

Tetapi dalam peristiwa ini adalah pada pentingnya memahami apa makna di balik dari peristiwa yang sebenarnya terjadi yang tak bisa tampak dilihat oleh mata orang kebanyakan. Bahkan oleh orang yang merasa paling jago menulis, merasa sebagai ahli kebijakan, sekolah di luar negeri, dengan gelar berjubel, keturunan Arab padang pasir. Tak bisa menjamin.

Mencermati tayangan Kompas TV tentang razia Satpol PP Kota Serang terhadap mustadh’afin nenek-nenek pedagang warteg yang dirampas dagangannya karena jualan di siang hari, maka muslim di Facebook banyak juga yang belum bisa mencermati lebih dalam dengan mata batin atas sesuatu peristiwa.

Selain di Kota Serang ada juga razia yang dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten Lebak. Dan ingat Walikota Serang (H Tubagus Haerul Jaman) dan Bupati Lebak (Hj Iti Oktavia Jayabaya) bukan dari partai Islam. Masing-masing adalah kader atau pernah menjadi kader Partai Golkar dan Partai Demokrat.

Bukan karena saya memiliki mata batin yang hebat sehingga saya mau menulis ini dan seolah-olah saya mumpuni untuk melihat ke kedalaman apa yang ada di balik sesuatu. Apalah awak ini? Cuma sering kita berdoa kepada Allah dengan doa, Allahumma arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba’ah, wa arinal-batila batilan warzuqnaj-tinabah.Ya Allah Tunjukilah kami kebenaran dan berikan kami jalan untuk mengikutinya, dan tunjukanlah kami kebatilan dan berikan kami jalan untuk menjauhinya.

Kalau Kompas dan grupnya yang menayangkan itu mah menurut saya ideologis banget. Ingin menyampaikan pesan kalau kita yang berpuasa harus hormati orang yang tidak berpuasa. Kemudian benar, jargon ini yang muncul kemudian.

Kalau saya melihat bahwa tayangan itu membawa pesan seperti ini juga bahwa orang yang berpuasa itu zalim dan raja tega. Keimanan yang angkuh. Iman yang hanya tahu sebatas kulit saja.

Dan betul komentar-komentar yang ada sebatas itu. Ujung-ujungnya agama jadi olok-olok. Nama Islam hanya mencerminkan mayoritas yang bodoh dan tak berperikemanusiaan kepada minoritas.

Ada yang membisikkan, “Percuma ente puasa kalau punya kelakuan bejat kayak gitu.” Puasa akhirnya tidak transendetal lagi. Ya sudah iblis tepuk tangan. (Salah ding, iblis kan lagi di neraka. Lagi dibelenggu).

Kompas tak mungkin tak tahu dan tak sadar. Zaman kebolak-balik. Zaman edan. Ini pesan-pesan yang dibawa oleh para sekuler negeri ini. Ini perang ideologi.

Kompas tahu framing-nya. Seperti nge-frame saat FPI ngebongkar tempat maksiat. Yang ketangkep malah pesan bahwa mereka adalah preman berjubah. Substansi bahwa kemaksiatan harus diberantas menguap. Dan masyarakat tak tahu betapa FPI juga punya prosedur buat ngeberantas tempat maksiat, tidak langsung sikat aja bleh.

Saya jadi membayangkan, ada petugas pajak datang ke salah satu rumah Wajib Pajak membawa-bawa polisi lalu menyita mobil Wajib Pajak. Kebetulan ada wartawan TV ikut juga dalam penyitaan itu. Dengan adanya penyitaan itu, istri Wajib Pajaknya menangis meraung-raung dan disorot TV. Sebuah tayangan yang sangat humanis dan bisa dijual.

Padahal petugas pajak sudah memanggil berkali-kali dan menyurati Wajib Pajak untuk membayar utang pajak. Prosedur sebelum penyitaan “yang kejam” itu sudah dilalui oleh petugas pajak tapi tidak di-framing oleh TV. Maka yang tampak adalah kekejaman petugas pajak dan aparat. Substansi ada pajak yang ditilep oleh Wajib Pajak tereduksi.

Kembali ke tayangan tadi, sayangnya teman-teman saya ngeshare karena melihat sisi humanis yang tercederai oleh kekuatan aparat yang dianggap zalim. Jadi baper. Dan banyak kawan-kawan saya yang militan di Facebook ternyata ikutan terjebak nge-share. Alhamdulillah ketika saya ajak dialog via Messenger, dia jadi paham.

Nyata benar di zaman sekarang, di zaman penuh fitnah ini, ulama tidak dihormati sama sekali. Alquran dan Assunah itu adalah pegangan dalam kehidupan sehari-hari buat seorang muslim. Ketika detil teknis tidak ada di keduanya maka ijtihad ulamalah yang menjadi pegangan. Bertanyalah kepada ulama.

Dan banyak ulama telah berijtihad bahwa berjualan di siang hari adalah sebuah keharaman. Ini tanpa mengurangi empati saya terhadap nenek-nenek tadi karena pembelaan terhadap mustadh’afin adalah sebuah pakem mutlak dalam Islam. Bukan umat Rasulullah saw jika kita tidak memedulikan mereka. Tapi cerita tentang pembelaan kepada mereka ini lain soal. Kita harus mengerti terlebih dahulu terhadap substansi menjual makanan di siang hari bulan Ramadhan.

Ingat juga, sebagaimana instruksi menghormati nuansa kesucian Ramadhan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan tempat saya menulis ini, pelarangan di Kota Serang dan Kabupaten Lebak itu tidak dilakukan secara total melainkan hanya di siang hari dan silakan buka di sore hari menjelang waktu berbuka puasa. Bukankah ini sudah memberikan kesempatan yang cukup kepada para penjual makanan itu?

Kenapa tidak memberantas tempat maksiat saja dan kenapa tidak menangkap orang-orang yang makan dan minum di siang hari Ramadhan? Itu sering juga dijadikan alasan penolakan razia Satpol PP terhadap warung-warung yang buka di siang hari. Yakinkah mau mendukung? Kalau dilaksanakan juga sama bae. Diprotes-protes juga dengan dalih menghormati kebebasan.

Ingat berpuasa itu adalah sebuah kewajiban buat muslim. Haram tidak berpuasa kalau tanpa uzur. Kalau ada uzur boleh tidak berpuasa. Tapi jangan manja—merajuk dan protes warung-warung kenapa pada tutup—dan jadi pamer-pamer tidak puasanya seakan-akan hal yang biasa. Anda ini dalam sebuah masa yang diberikan fasilitas oleh Allah. Jadi jangan sombong. Jangan belagu. Dikasih rukhsah (keringanan) tapi belagu. Apalagi yang sengaja tidak berpuasa tanpa uzur, makan minum pamer. Ini sengaja menentang syariat Allah. Kalau sudah demikian tunggu saja azab Allah datang.

Untuk kali ini saya tidak akan berpanjang lebar membahas argumentasi dari para sekuler dan pembenci agama ini tentang jargon sesat mereka yang sekarang lagi ngetren-ngetrennya tentang menghormati orang yang tidak berpuasa, tentang betapa lemah imannya orang yang berpuasa sehingga minta dihormati. Karena
pada saat ini agama hanya sekadar jadi olok-olok. Sekarang yang gila hormat itu siapa?

Semoga kita tetap waspada dalam perang pemikiran ini. Umat islam jumlahnya banyak tapi bagaikan buih. Ayo bangkit, jangan baper. Wallaahua’lam bishshowab.

**

Sebagai informasi tambahan berikut ini:

13423705_10209843691589141_4839408318925057580_n

Alfaqiir dhaif ilallaah: Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

11 Juni 2016

Foto ilustrasi diambil dari jalansurga.com


Filed under: Anti JIL, monolog, Opini Tagged: fpi, front pembela islam, H Tubagus Haerul Jaman, Hj Iti Oktavia Jayabaya, hormati orang yang berpuasa, hormati orang yang tidak berpuasa, kompas tv, satpol pp kabupaten lebak, satpol pp kota serang

Ketika Iblis Tak Pernah Mengatakan Itu

$
0
0


Akulah pemegang undang-undang penjara, akulah yang mematikan dan menghidupkan, aku boleh membunuh seratus orang sehari dan tiada siapa boleh menghalang. Jika tuhan turun, aku akan sumbat ke dalam penjara dan akan aku sula.

Hamzah Basyuni
**

 

Keberanian pasukan muslim menginap di Tabuk tanpa ada perlawanan pihak Romawi sebagai salah satu adikuasa pada saat itu membuat derajat kaum muslimin naik satu tingkat di mata bangsa Arab lainnya. Kemudian berdatanganlah utusan kabilah Arab dari berbagai penjuru menemui Rasulullah saw. Salah satunya dari Bani Amir yang mengutus Amir bin Thufail dan Arbad bin Qais. Dua orang yang tercatat dalam sejarah tapi dengan tinta hitam yang mengeruhkan.

Karena kedatangan mereka dengan mengancam Sang Terpilih. Ancaman yang tidak main-main: menghilangkan nyawa. “Kalau kita sudah berjumpa dengannya, saya akan membuatnya sibuk dan lupa denganmu. Kalau dia sudah lengah, pukullah dia dengan pedangmu,” kata Amir bin Thufail kepada Arbad. Tapi Rasulullah saw adalah makhluk yang terpelihara. Usai menolak menemui Amir bin Thufail yang menginginkan perbincangan empat mata, Rasulullah saw berdoa, “Ya Allah, cukupkanlah aku dari Amir bin Thufail.” Apa yang terjadi?

Di tengah safari meninggalkan Madinah, Allah kirimkan penyakit thaun kepada Amir bin Thufail. Pembesaran kelenjar yang membuatnya menjerit kesakitan hingga kematian menjemputnya di rumah seorang wanita Bani Salul—suatu kabilah Arab yang dianggap rendah oleh kabilah Arab lainnya. Bagaimana dengan Arbad bin Qais?

Penuh sesumbar ia berkata saat ditanya para pemuka kaumnya tentang Rasulullah saw setelah tiba di kampung halamannya, “Dia (Rasulullah) mengajakku beribadah kepada sesuatu (Allah). Kalau saja dia ada di dekatku, pasti aku panah sampai mati.” Allah balas ancaman kepada kekasih-Nya itu tanpa menunggu lama. Dua hari setelah ucapan Arbad yang buruk itu Allah utus halilintar menyambar dirinya yang sedang menunggang keledai. Aih…

Berhati-hatilah dan takutlah kamu kepada seseorang yang tidak menemukan baginya penolong dari kejahatanmu kecuali Allah. Begitulah ujaran para orang bijak yang dikutip Dr. Aidh bin Abdullah Alqarni dalam kitabnya yang berjudul Laa Tahzan. Tak ada tabir antara orang yang dizalimi dengan Allah. Doanya mustajab sampai ke langit agar mereka para penzalim, penindas yang lemah, dan perampas hak orang lain ditimpakan petaka. Benarlah apa yang dikatakan Sang Penutup Nabi yang mengatakan, “Hati-hatilah dengan doa orang yang tertindas, karena sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara dia dan Allah.”

Inilah yang dialami oleh penzalim lainnya seperti Ahmad bin Abi Du’ad Alqadhi Almuktazili. Sebagai seorang menteri Almakmun dan Almu’tashim—khalifah dinasti Abbasiyah—dan penyebar paham Alquran adalah makhluk, ia memenjarakan serta menyiksa Imam Ahmad bin Hanbal. Ideolog tulen yang menolak keras Alquran adalah qadim itu menjalani dengan penuh kesabaran empat belas tahun penuh derita. Yang bisa dilakukan Imam Ahmad bin Hanbal adalah mendoakan sang penzalim.

Allah mendengar doa dan mengabulkannya. Setengah badan Ahmad bin Abi Du’ad Alqadhi Almuktazili layuh, sampai-sampai ia mengatakan jika saja ada gergaji yang memotong-motong badannya, ia tak akan pernah merasakan apa pun. Atau ketika ada lalat yang hinggap di tubuhnya maka itulah awal dari penderitaannya yang berkepanjangan.

Kisah-kisah di atas bukan berarti menegaskan kepada dunia tentang ketidakbesaran jiwa mereka atas sebuah perilaku buruk yang ditimpakan para penzalim kepada mereka. Sungguh Rasulullah saw adalah pemilik sebaik-baik akhlak. Dan Imam Ahmad bin Hanbal adalah empunya nama yang dibalut dengan kemuliaan akhlak. Ini bukan tawarikh tentang kezaliman yang dibalas dengan pemaafan. Untuk hal itu sudah banyak tertuliskan dengan tinta emas sejarah oleh mereka berdua sebagai antesedennya. Tetapi untuk kali ini, babad ini memberikan tamsil agar kita berhati-hati dan mafhum bahwa tak selaiknya kita menjadi seorang penzalim.

Penzalim selalu menyepadankan diri dengan sifat jemawa. Maka dengan kejemawaannya itu Hamzah Basyuni, penyiksa terkenal di negeri Kinanah, Mesir, pada zaman pemerintahan Jamal Abdul Nasir, berkata, “Akulah pemegang undang-undang penjara, akulah yang mematikan dan menghidupkan, aku boleh membunuh seratus orang sehari dan tiada siapa boleh menghalang. Jika tuhan turun, aku akan sumbat ke dalam penjara dan akan aku sula.”

Perkataan yang bahkan iblis pun tak pernah berucap sedemikian itu di hadapan Tuhannya. Lalu apa yang terjadi? Sebatang besi menancap dari kepala sampai ke perutnya saat truk yang membawa batangan besi menabrak mobil Hamzah Basyuni. Akhir yang buruk dari penindas para ulama. Allah tidak tidur, Allah Maha mendengar.

“Kejemawaan adalah selendang-Ku, dan keagungan adalah sarung-Ku. Maka barangsiapa mengambil salah satu dari keduanya dari-Ku, niscaya Aku campakkan ke neraka,” sebuah hadis qudsi menyatakan demikian. Sungguh ini beririsan dengan firman-Nya, “Yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.” QS Alfajr: 11-13. Kezaliman sepadan kejemawaan. Kejemawaan menuai azab.

Ramadhan memastikan dirinya sebagai “tools” untuk men-delete virus kezaliman dan kejemawaan. Keduanya muncul dari kebanyakan orang yang merasa kenyang. Jiwa dan fisik yang menginginkan makan maka akan berusaha mendapatkan kebutuhan itu. Namun setelah kebutuhan itu didapat, ia merasa dirinya menang. Muncullah kemudian rasa berpuas hati sebagai bibit dari keangkuhan yang menjerumuskan.

Karenanya Syaikh Muhammad bin Shalih Alutsaimin menulis, “Puasa menghilangkan kesombongan jiwa pelakunya sehingga ia akan menjadi orang yang tunduk kepada kebenaran dan bersikap lembut terhadap sesama makhluk.” Konsentrat nasihat itu adalah puasa pun meniadakan dua sekaligus: kejemawaan dan kebengisan.

Lagi, Ramadhan mendawamkan kesadaran paling bawah dari manusia untuk bermesra-mesraan dengan lapar. Bahwa kehidupan tidak serta merta berlalu dengan kenyang sepanjang masa. Karena kenyang senantiasa nyaris bermuara ke lautan hedonisme. Dan seringkali hedonisme menjadi mula dari kehancuran sebuah bangsa. Dinasti Abbasiyah mencatatkan dirinya demikian. Itu sebabnya bangsa Tartar dengan mudah meluluhlantakkan Kota 1001 Malam, Baghdad, dengan ratusan ribu bangkai manusia memenuhi seantero kota.

Senyampang itu pertanyaan Anis Matta relevan sebagai pemungkas dalam memahami logika sejarah peradaban, “Bisakah pemimpin yang benaknya hanya dipenuhi oleh urusan perempuan membangun peradaban dan menghadapi musuh?”

    Sungguh nyata Ramadhan sebagai mesin cuci besar membersihkan kita dari kerak-kerak kezaliman dan kejemawaan yang melekat dalam segumpal darah bernama hati. Mari rayakan Ramadhan.

***

Riza Almanfaluthi

18 Juni 2015 (Ramadhan 1436 H)

Artikel ini telah dilombakan dan menjadi Pemenang Pertama pada Lomba Menulis Ramadhan 1436 H Masjid Salahuddin DJP (Setahun lalu).

Gambar diambil dari wfiles.brothershop.com


Filed under: Kisah Sederhana, Motivasi, Opini, Tokoh Tagged: 'aidh bin abdullah alqarni, Ahmad bin Abi Du’ad Alqadhi Almuktazili, Almakmun, Almu’tashim, Amir bin Thufail, anis matta, Arbad bin Qais, Bani Amir, Bani Salul, dinasti Abbasiyah, Hamzah Basyuni, imam ahmad bin hanbal, laa tahzan, lomba menulis djp, lomba menulis ramadhan, Lomba Menulis Ramadhan 1436 H, lomba penulisan artikel islam, Masjid Salahuddin DJP, pengumuman lomba menulis masjid salahuddin, Syaikh Muhammad bin Shalih Alutsaimin, Tartar

Martabak Buat Bapak Polisi

$
0
0


Martabak Manis via https://patriciaangelika.files.wordpress.com

Selamat Pagi Pak Polantas, semoga pagi ini adalah pagi yang indah untuk dinikmati Bapak di tengah deru mesin kendaraan dan tentunya kepulan asap hitam yang keluar dari knalpot mobil angkutan umum. Semoga pagi ini pula adalah pagi yang penuh semangat untuk menjalankan tugas mulia Bapak, mengatur lalu lintas dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Semoga pagi ini pun adalah pagi yang penuh kebahagiaan karena anak dan istri di rumah baik-baik dan sehat-sehat saja, cukup makan dan cukup pendidikan.

Tidak hanya buat Bapak, pagi ini pun bagi saya adalah pagi yang penuh kebahagiaan. Bagaimana tidak bahagia karena tadi malam saya mendapat sentuhan luar biasa dari pelayanan Bapak. Tapi sebelumnya saya ceritakan dulu kepada Bapak kenapa pagi-pagi ini saya teringat dengan Bapak.

Ya, di saat saya membaca halaman belakang sebuah koran nasional di Republik ini, mata saya terpaut pada foto di sudut kanan bawah halaman koran itu. Pada sosok-sosok polisi, teman-teman Bapak di Polres Pamekasan, yang sedang tekun mengikuti psikotes penggunaan senjata api. Saya paham cara ini dilakukan adalah untuk mengetahui seberapa jauh kelayakan teman-teman Bapak untuk memegang senjata api itu. Peristiwa Semarang telah membuat saya dan Bapak terkejut bukan?

Nah, dari sanalah saya terkenang peristiwa tadi malam. Teringat Bapak yang pada saat itu dibalut dengan jas hujan berwarna putih—karena Depok malam itu hujan namun tidak begitu deras—memegang handy talky di tangan kiri, lampu senter di tangan yang satunya lagi, tiba-tiba berjalan ke tengah. Menghalangi motor saya yang berjalan pelan dan menyuruh saya untuk menepikan motor.

Saya terkejut Pak. Apalagi seumur hidup saya, saya belum pernah ditilang oleh teman-teman sejawat Bapak. Dan karena saya pun bertekad untuk menaati kewajiban saya sebagai pengguna jalan sebagaimana diamanahkan dalam undang-undang lalu lintas. Jadi jangan sampai deh rekor saya yang tidak pernah ditilang itu menjadi buruk gara-gara kelalaian saya. Jadinya saya selalu berhati-hati.

Jantung saya langsung berdebar Pak. Memikirkan kesalahan saya apa. Secepat kilat itu pula saya langsung tersadar lampu motor saya belum dinyalakan. Alamak…saya kelupaan Pak. Maklum motor saya tidak bisa langsung dinyalakan kalau lampu motor dalam posisi on, sehingga harus saya off-kan terlebih dahulu, baru dapat hidup setelah menekan tombol starter.
Masalahnya saya sering lupa untuk menyalakannya lagi.

Saat itu Pak, terbayang sudah kerepotan yang bakal saya alami untuk mengurus surat tilang di pengadilan. Tapi memang sih Pak sebelumnya sempat terbayang sudah nego-nego dengan Bapak di pinggiran jalan—sesuatu yang memang harus saya hindari, bukan karena uangnya tapi karena kehormatan diri Bapak dan saya yang harus dijaga sama-sama. Apalagi kata tetangga dan kawan-kawan saya, teman-teman kerja Bapak dikenal tanpa kompromi dalam pemberian peringatan tapi mudah untuk menawarkan negosiasi. Sesuatu stigma buat instansi bapak yang belum saya buktikan sendiri.

“Selamat Malam Pak,” tegur Bapak.

” Malam Pak,” jawab saya.

“Lampunya kok enggak dinyalakan?”

“Maaf Pak, saya benar-benar lupa. Tadi habis makan di pinggir jalan. Lupa dinyalakan lagi Pak.”

“Pulangnya kemana?”

“Citayam Pak”

“Surat-surat lengkap?”

“Lengkap Pak”

“Tunjukkan pada saya”

Saya segera membuka dompet lusuh saya. STNK adalah surat pertama yang saya keluarkan dan langsung diserahkan kepada Bapak. Serta merta Bapak menelitinya lewat lampu motor yang sudah saya nyalakan. Mencocokkan nomor motor dan mengecek apakah saya sudah membayar pajak atau belum.

Selagi Bapak sibuk dengan itu, saya masih saja belum menemukan SIM saya berada di lipatan sebelah mana pada dompet saya. Setelah bolak-balik mencari dan hampir putus asa, ditambah grogi yang mulai merambah jiwa akhirnya saya menemukannya di tumpukan kartu plastik saya.

“SIM-nya Pak,” kata saya.

Segera Bapak kembali menunduk untuk membacanya di bawah penerangan lampu motor saya.

“Bapak PNS-nya di mana?” tanya Bapak.

“Di kantor pajak Pak,” jawab saya polos.

Wah, seharusnya Bapak tahu kewajiban menyalakan lampu sama seperti kewajiban membayar pajak.” katanya sambil menyerahkan surat-surat itu kembali kepada saya.

“Lain kali Bapak harus menyalakan lampu. Jangan sampai lupa,” pesan Bapak.

Saya cuma bisa menjawab, “terimakasih Pak.” Bapak cuma mengangguk, tersenyum, dan pergi untuk berkutat kembali dengan tugasnya mengatur lalu lintas di pertigaan jalan baru, Margonda, Depok.

Sungguh saya terperanjat Pak dengan sikap Bapak. Bahkan saya ternganga. Di luar dugaan saya. Termangunya saya mungkin bisa saja aneh dalam penggambaran kartun Jepang, muka bodoh dengan mulut terbuka dan di sudut bibir ada air liur yang akan menetes jatuh.

“Ah, Pak…Pak…Bapak baik banget sih sama saya.” Saya kira saya akan ditilang. Saya cuma dikasih peringatan—baik-baik lagi, bukan diberikan penawaran, dan tidak direpotkan dengan urusan lain-lain nantinya. Untuk Bapak, kini, stigma itu tidak terbukti. Sungguh.

Dalam keterpanaan tersebut, inginnya saya kembali menemui Bapak, untuk memberikan pujian dalam pelayanan Bapak, menanyakan nama Bapak, menjabat erat tangan Bapak, dan mengucapkan beribu terima kasih. Tapi itu akan mengganggu tugas Bapak lagi.

Jadi saya cuma bisa mendoakan Bapak agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik, diberikan rahmat dan hidayah oleh Allah sehingga menjadi polisi yang salih, diberikan keberkahan dalam rumah tangga Bapak, dan diberikan kemudahan dalam mendidik anak serta diberikan kesejahteraan dan kebahagiaan dunia akhirat buat Bapak dan keluarga.

Subhanallah, kebaikan yang Bapak lakukan telah mendorong saya untuk mendoakan kebaikan untuk Bapak. Dan saya berusaha untuk mengingat-ingat wajah Bapak, soalnya tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, niat untuk membelikan Bapak satu porsi besar martabak spesial. Enak untuk dimakan hangat-hangat di saat bertugas di musim hujan seperti ini.

Sudah pasti ini tidak layak disandingkan dengan segala jasa Bapak, tapi izinkan saya untuk mengapresiasi atas pelayanan Bapak tersebut sebagai tanda hormat. Cuma dengan martabak sebagai pengganjal perut, agar tugas Bapak tidak direcoki oleh perut yang keroncongan karena belum makan sedari siang. Tidak dengan gaji yang tinggi—yang memang sudah sewajarnya diterima oleh Bapak—karena saya cuma pegawai biasa, yang tidak bisa memberikan kebijakan yang menyenangkan buat Bapak.

Terima kasih Pak, telah membuat saya punya niatan baik seperti ini, karena sesungguhnya suatu kebaikan sudah tercatat sebagai amal kebajikan walau sekadar niat. Tapi kalau ingin dapat banyak lagi, niatan baik memang perlu untuk direalisasikan. Suatu saat, sambil selalu mengingat wajah Bapak, saya akan menyerahkan martabak itu kepada Bapak, walau saya tidak tahu nama Bapak.

Bapak memang Good Cop untuk saya.

***

Memori Margonda Depok

Tulisan di atas adalah termasuk salah satu dari sekian tulisan terpilih dalam rangka HUT Komunitas Menulis ESKA (Sekolah Kehidupan) tahun 2007.

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

10 08 2007

Kalibata Cerah

Gambar via https://patriciaangelika.wordpress.com


Filed under: Kisah Sederhana Tagged: martabak buat bapak polisi, polisi depok, polisi margonda, Polres Depok

Mahabenar Engkau Adityawarman

$
0
0

image

KEMAHA PE A -AN***Dirut jasa Marga Adityawarman ini memakai EUFEUMISME “tidak pandai” kepada para pemudik sebagai pengganti kata goblok, pekok, pe-a, bego, pandir, dan segala antonimnya. Kalau sempat, pembaca silakan buka thesaurus bahasa Indonesia.

“Karena itu ya mungkin terlalu nikmatnya sampai Brexit. Kalau orang yang pandai pasti dia memilih keluar di (Gerbang Tol) Pejagan karena pasti lebih cepat. Tahun depan kalau belum bisa sampai Pekalongan (Tol Transjawa) mungkin kita akan stop. Lalu akan kita keluarkan di (Gerbang Tol) Kanci dan Pejagan,” lanjutnya.

Kita menemukan kembali pejabat yang gemar mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain. Menyalahkan pemudik yang punya niat mulia silaturahmi dengan orang tua di kampung dan menggerakkan ekonomi desa.

Masalahnya pun sudahkah edukasi, informasi, komunikasi terhadap masyarakat? Sudah optimalkah? Lah wong komunikasi di antara mereka sebagai operator jalan tol saja masih belum optimal.

Sebenarnya sudah banyak cerita dan berita tentang penyebab tragedi itu. Namun ada sedikit yang bisa saya sampaikan tentang kejadian Senen Petang (4 Juli) sampai Selasa Pagi (5 Juli) di Jalan Tol Kanci sd Pejagan itu sebagai tanda ke-pe a- an saya, sebagai berikut:

1. Tol Palikanci dan Tol Kanci -Brebes Itu beda operator. Setiap nomor telepon Info Tol yang ada, tidak mampu atau tidak mau memberikan info bagaimana kondisi jalan tol yang bukan di kelolanya. Ini sudah saya coba saat menanyakan perkembangan kondisi pintu tol Pejagan dan Brexit di Info Tol Palikanci. Jawabannya bukan dalam pantauan kami. Emang goblok banget saya nih, masih tanya begituan kepada mereka.

2. Tol Palikanci dan tol Kanci Brebes tidak ada media “running text” yang memberikan info kemacetan sebagaimana jalan tol di Jabodetabek. Jadi bagaimana kami tidak terlena. Memang pe-a juga saya ngebandingin tol.

3. Tidak ada petugas yang menyetop kami di Kanci dan mengalihkan kami ke jalur pantura. Dan ketika saya menanyakan kepada petugas di gerbang tol, petugas bilang bahwa jalur pantura macet dan bahkan Pejagan atau Brexit aman serta tidak kayak hari sebelumnya. Padahal dalam kenyataannya buntut kemacetan sejak dari Pejagan itu ekornya sudah mulai ada 2 sd 3 km selepas gerbang tol Kanci. Ini berarti lebih dari 27 km panjang kemacetan itu. Lagi-lagi maha pe-a nya saya.

Otomatis 12 jam kami harus menempuh jarak 27 km itu. Buka, salat, dan sahur di jalan tol. Kemacetan di hari itu karena orang keluar semua di Pejagan. Pengguna tol sudah enggak mau melanjutkan perjalanan lagi ke Brexit karena dengar kabar di hari kemarinnya yang macet panjang lebih dari 30 km. Pun, karena sudah kelelahan dan trauma dengan jalan tol yang fasilitasnya kurang.

Semacet-macetnya pantura, tetap lebih manusiawi karena toilet banyak, pedagang banyak, spbu ada, mushola dan masjid juga banyak. Manusia butuh air buat minum dan istinja (bersih-bersih).

Angka 200 meter saya hitung betul. Karena jarak antar plang penanda jarak km di tol ya memang berjarak 200 meter. Angka itu saya hitung mulai 222 sampai 249. Ngantuk sudah jelas. Tidur hanya di sela-sela kemacetan. Berhenti 30 detik saja saya sempatkan untuk tidur. Colekan anak saya atau klakson pengendara mobil belakang yang membangunkan saya untuk melaju lagi di sisi paling kanan jalan. Mobil depan pun sama. Ngantuk juga. Buktinya waktu mobil di depannya sudah jalan, dia enggak bergerak. Saya klakson juga. Tapi saya sadar mereka juga butuh istirahat. Tak ada jengkel-jengkelan. Semua sama menderitanya.

Yang menolong kami hanyalah Allah swt dan sebab matahari sudah tenggelam di barat. Malam hari membuat kami tidak kepanasan. Masih cukup sabar kami menjalani semua itu. Saya tidak membayangkan bagaimana kejadiannya di siang hari. Saya turut empati. Semoga Allah catat setiap putaran roda itu sebagai catatan amal kebaikan atas sebab niat silaturahmi.

Selanjutnya, karena kemacetan yang mengular, kami tidak keluar di Pejagan, kami keluar di Brexit jam 6 pagi. Tidak macet di sana. Cuma butuh 12 jam lagi buat keluar dari Brexit sampai SPBU terakhir dekat tempat wisata Purwahamba, Tegal. Setelah itu kendaraan bisa dipacu kencang.

Butuh waktu 36 jam buat perjalanan dari Citayem, Bogor sampai Semarang. Mudik terlama sepanjang sejarah 10 tahun kami mudik. Jadi teringat perjalanan di tahun 2007 yang hanya butuh waktu 12 jam saja.

Ngantuk yang tidak tertahankan lagi ketika sampai Batang. Butuh sebenar-benarnya istirahat ketika badan ini belumlah istirahat selama 30 jam. Mampir di sebuah masjid di pinggir jalan yang sedang mengumandangkan kemahabesaran Allah, lalu tidur 30 menit. Itu pun setelah “diusir” sama marbot karena ruang utama masjid yang berkarpet tebal dan empuk itu bukan buat tidur, tapi cukup di teras saja sambil gelar tikar plastik.

Ya syukurnya kami masih ditakdirkan selamat sampai tujuan. Azab pun berakhir. Safar memang sejatinya azab. Dengan segala perjuangan itu, plus ke maha pe-an itu ya masih saja dianggap sebagai biang keladi kemacetan. Dengan segala bentuk argumentasi sebanyak butiran pasir di tepi pantai Tapaktuan.

“Syukur-nya”, yang goblok itu bukan saya sendiri. Semua pemudik yang pakai tol Kanci-Pejagan-Brebes juga goblok semua. Mengutip Kera (ni) dalam film My Stupid Boss, otak kami ini sederajat. Derajat otak yang cuma segaris kaya kumis Bossman yang punya prinsip: Impossible we do, miracle we try.

Ya, kami dengan segala ke maha pe a -an ini melaju menuju jalur neraka tanpa ada yang memperingati dan yang mengarahkan kami, sampai semua itu berada di luar nalar dan batas nilai kemanusiaan kami. Laa hawla wala quwwata illa billaah.

Jadi begitulah Pak Adityawarman. Anda benar. Bahkan ketika tol Brexit tanggal 16 Juni itu diresmikan, saya langsung teringat Titanic yang dianggap sebagai puncak arsitektur laut dan pencapaian teknologi. Ia diklaim sebagai kapal yang “hampir tidak mungkin tenggelam.” Tapi hanya butuh 4 hari untuk meruntuhkan kesombongan manusia pada saat itu.

Jadi? Kami juga pe a sebab tidak keluar di Pejagan, di Kanci atau gerbang tol sebelumnya. Dan maha benar engkau dengan segala junjunganmu.

Wallahua’lam bishowab.
Mohon maaf lahir batin.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tlogosari, 10 Juli 2016
Gambar dari liputan1.com

http://m.detik.com/news/berita/3250034/ini-kata-dirut-jasa-marga-soal-penyebab-horor-macet-di-brexit


Filed under: CATATAN SENIN KAMIS, Sejumput Rintih Tagged: adhityawarman, dirut jasa marga, horor brexit, jasa marga, tol brebes exit, tol palikanci, tol pejagan, TRAGEDI brexit

Anak Literasi Anak Peradaban

$
0
0


Kesukaan Kinan Fathiya terhadap buku begitu menggelora. Tak ada di tangannya kecuali buku saat ia berada di rumah. Anak bungsu saya yang duduk di bangku kelas dua sekolah dasar ini memang gemar membaca. Ia selalu meminta hadiah buku ketika saya pulang ke rumah dari bekerja di luar kota.

Membawanya ke toko ataupun pameran buku menjadi agenda bulanan buat kami berdua. Aroma buku yang menguar di toko buku senantiasa membangkitkan hasratnya untuk memiliki buku sebanyak-banyaknya. Ah Kinan, kau memang seperti ayahmu.

Ini seperti melihat diri saya sendiri. Sedari kecil saya tumbuh di lingkungan keluarga yang suka membaca. Ini didukung dengan profesi bapak saya sebagai pedagang majalah bekas di rumah. Sebelah rumah saya pun toko buku. Sepulang sekolah saya sering mampir membantu di toko itu sekalian membaca-baca buku apa saja yang ada di sana.

Melihat kebiasaan Kinan seperti itu, maka mana ada orang tua yang tidak gembira, tak terkecuali saya. Karena membaca adalah jendela dunia dan salah satu cara untuk bisa mendapatkan ilmu pengetahuan. Lengkap ditambah dengan keberadaan satu lemari besar penuh berisi buku-buku koleksi saya, mulai dari buku bergenre agama sampai dengan kultur pop.

Saya tak memaksakan dia untuk membaca buku dengan tema-tema berat. Buku-buku kisah yang ditulis anak sebayanya menjadi favoritnya. Dan buku yang dibeli dari toko buku itu habis dibacanya dengan cepat sekali. Setelah itu ia akan beralih melirik koleksi perpustakaan saya.

Yang terpenting, Kinan juga mampu membaca Alquran dengan lancar dan menghafalnya. Alquran adalah teks tunggal sebagai awal dari budaya membaca. Seiring dengan itu berkembang budaya menulis. Budaya literasi inilah yang menjadikan peradaban Islam sebagai peradaban unggul yang ada di muka bumi ini.

Dari membaca itulah Kinan mulai menulis. Seringkali puisi. Suatu saat kakaknya yang pertama membaca puisi itu dan mengirimkannya ke majalah Ummi. Alhamdulillah dimuat. Sebuah tas berwarna biru sebagai hadiah atas pemuatan itu dikirimkan kepada Kinan. Kinan senang sekali dan bertambah semangat untuk berliterasi.

Buku mampu mengalihkan perhatian Kinan dari menonton televisi yang acapkali program siarannya tidak mendidik dan sesuai dengan umur Kinan. Pun, dari buku itulah Kinan mampu menasehati kakak-kakaknya ketika sang kakak lupa menutup kran air atau tidak mematikan lampu kamar saat tidur. “Kok Kinan tahu?” tanya saya. “Dari buku-lah Bi.” tegasnya.

Yang perlu dijaga dari kebiasaan membaca ini dan seringkali saya turun tangan untuk mengingatkannya adalah agar ia tidak membaca sambil tidur-tiduran atau membaca dengan sumber penerangan yang kecil. Semata agar matanya tidak menjadi rusak lebih dini.

Sabtu lalu sebelum saya berangkat merantau kembali, tepat di tanggal 23 April yang dicanangkan oleh Badan Khusus PBB UNESCO sebagai Hari Buku dan Hak Cipta Dunia, saya menghadiahkan satu buku lagi kepada Kinan. Seketika matanya menjelma matahari. Bersinarlah dengan ilmu, Nak. Jadilah anak literasi. Anak peradaban.


***

Riza Almanfaluthi

Penulis dan ASN Kementerian Keuangan

Tulisan di atas telah dimuat di rubrik Kolom Ayah Majalah Ummi Bulan Juli 2016 dengan berbagai penyuntingan.



Filed under: Keluarga, Tips Menulis Tagged: 23 April, Hari Buku dan Hak Cipta Dunia, Kolom Ayah, Majalah Permata, Majalah Ummi, Majalah Ummi Bulan Juli 2016, ummi, UNESCO

Cerita Mudik: Dari Citayam, Brexit, Sampai Semarang

$
0
0

kendaraan-memasuki-pintu-tol-brebes-timur-pejagan-brebes-jawa-tengah-_160709184446-290


Akhirnya setelah satu bulan persis di Tapaktuan dan tidak bertemu dengan anak dan istri, saya bisa berkumpul lagi dengan mereka pada Jumat tanggal 1 Juli 2016. Tepatnya pada malam ke-27 Ramadan 1437 H. Masih ada waktu untuk sahur dan berbuka puasa bersama dengan mereka. Terpenting lagi melakukan perjalanan mudik untuk bersilaturahmi dengan sanak saudara di kampung.

Kami merencanakan mudik berangkat ke Semarang pada Senin siang (4 Juli 2016). Kami berangkat bertujuh. Saya dan Ummi Kinan, Kinan, Mas Haqi, Mas Ayyasy, Hendrik (adik istri), dan Mbak Alfi (keponakan). Sebelumnya kami telah mempersiapkan diri untuk membawa bekal buat berbuka puasa di tengah jalan. Seperti kejadian tahun lalu kami berbuka puasa di pinggir jalan tol Palikanci.

Kami berangkat dari rumah di Citayam pada pukul 12.30 dengan membaca Bismillah. Mengingatkan kepada semua bahwa perjalanan ini adalah perjalanan dalam rangka kebaikan dan bukan dalam rangka kemaksiatan. Sehingga dengan itu kami senantiasa berharap agar Allah melindungi perjalanan kami.

Di Cibinong saya isi penuh mobil dengan bensin agar tidak kejadian kehabisan bensin seperti yang diberitakan di hari sebelumnya karena macet yang luar biasa di pintu tol Brebes Timur. Saya juga cek kondisi ban dan mengisinya dengan nitrogen. Mampir sebentar ke toko untuk membeli satu kardus air minum dalam botol kemasan 300 ml untuk persiapan berbuka di tengah jalan.

Dari pintu tol Sirkuit Sentul kami mulai melaju. Tol Jagorawi lancar banget. Begitupula tol Lingkar Luar Cikunir yang menuju tol Cikampek. Lancar juga. Kami berhenti sebentar di rest area KM 19 untuk bertemu dengan Mas Suardjono yang sudah pulang duluan dari Tapaktuan. Ada titipan yang saya bawa dari Kota Naga itu.

Setelah bertemu dengan Mas Suardjono kami melanjutkan perjalanan pada pukul 14.45. Tol Cikampek lancar sekali. Tidak ada kejadian macet kayak tahun-tahun sebelumnya atau kejadian macet liburan akhir tahun 2015 yang begitu parahnya sampai Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengundurkan diri sebagai konsekuensi tidak bisa mengantisipasi kemacetan karena liburan itu.

Begitu pula saat memasuki pintu tol Cikopo menuju Palimanan lancar juga. Alhamdulillah. Karena sejak 13 Juni 2016 tidak ada transaksi di gerbang tersebut. Sampai pintu tol Palimanan juga lancar. Tahun lalu yang bikin macet adalah pintu tol Palimanan. Kami menikmati perjalanan itu. Sampai di sana masih sore dan waktu berbuka masih lama. Akhirnya kami meneruskan perjalanan.

Menentukan Pilihan

Sembari menuju timur, kami masih berunding untuk keluar di pintu tol mana. Apakah di Kanci, Pejagan, atau Brebes Timur? Kabar yang diterima tadi pagi oleh tetangga kami adalah ia terjebak di tol Brebes Timur selama 24 jam lebih. Berangkat Sabtu malam dari Citayam tapi Senen pagi masih di tol Brebes Timur. Luar biasa parahnya.

Saya berketetapan untuk keluar di pintu tol Kanci agar bisa lewat pantura. Separah-parahnya macet di Pantura perasaan kita masih bebas. Tidak merasa terpenjara. Di sana banyak orang yang jual makanan dan minuman, banyak pilihan SPBU, banyak masjid atau musholla, banyak toilet, dan banyak tempat untuk beristirahat.

Kami berusaha menghubungi nomor telepon Info Tol untuk mencari tahu kondisi pintu tol Pejagan dan Brebes Timur. Tapi nomor telepon yang kami hubungi selalu mengatakan tidak tahu kondisi jalan yang tidak dikelola oleh operator jalan tolnya.

Ya sudah kami lanjut dan berketetapan untuk keluar di pintu tol Kanci. Iseng saya tanya kepada petugas di loket pintu tol. Jawaban mereka mencengangkan. Kata mereka Brebes Timur tidak ada kemacetan yang parah seperti kemarin, sekarang yang macet malah pantura. Mendengarkan jawaban itu, kami putar arah untuk masuk lagi ke jalan tol. Dan jawaban yang sama dari petugas loket saat kami memasuki pintu tol Kanci. Kami terlena dengan kemudahan dan kelancaran ratusan kilometer jalan tol sejak dari Sentul sampai Kanci. Padahal “bencana”dimulai dari saat kami memasuki kembali pintu tol Kanci ini.

Kemacetan Parah Kanci-Pejagan

Jalan tol Kanci-Pejagan itu masih lengang ketika kami memasukinya. Tapi itu jebakan. Tidak sampai lima kilometer kami menikmati kelengangan itu buntut kemacetan sudah mulai tampak di KM 222. Waktu itu saya tidak tahu apa penyebab kemacetannya. Tapi mau tidak mau kami harus melaluinya. Bahkan ketika azan Magrib berkumandang.

Di pinggir jalan penuh dengan mobil yang berhenti. Saya meminggirkan mobil untuk berbuka puasa. Alhamdulillah kami masih bisa berpuasa walau kami adalah musafir. Kami membuka bekal dan menikmati berbuka puasanya. Setelah berbuka puasa, kami merencanakan untuk salat jamak qasar di Brebes saja. Ternyata rencana itu tidak pernah kesampaian.

Karena beberapa saat setelah kami melaju kembali, jalan sudah stuck. Mobil benar-benar berhenti dan banyak yang sudah mematikan mesin mobilnya. Lama kami menunggu. Akhirnya kami putuskan untuk salat Magrib dan Isya di tengah jalan tol. Di sela-sela mobil yang masih berhenti menunggu.

Saya putuskan agar anak-anak dan om mereka untuk salat terlebih dahulu dan saya bertugas menjaga agar tidak ada orang yang lalu lalang di depan mereka. Kami gelar sajadah di jalan dan mulai salat. Ketika saya akan salat, mobil di depan sudah mulai bergerak akhirnya saya menghentikan salat dan mulai melaju kembali.

Tetapi lajuan itu tetaplah tidak lancar. Masih tersendat-sendat menyusuri meter demi meter. Insya Allah saya masih kuat untuk menyupiri tetapi yang saya khawatirkan adalah keinginan buang air kecil anak-anak. Belum ada yang kebelet. Alhamdulillah di antara Kanci Pejagan itu ada rest area tanpa SPBU. Kami berhenti di sana untuk salat dan menunaikan hajat. Itu jam 10 malam.

Setelah selesai, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kondisi jalanan masih tetap macet. Dan saya mulai mengantuk. Tidak ada teman mengobrol karena yang lain sudah pada kecapekan dan sudah mulai tidur. Angka 200 meter—jarak antarplang penunjuk jarak di jalan tol—benar-benar dilalui lama sekali. Pergerakannya lambat.

Saya berusaha sabar dan memperbanyak istigfar. Ada juga gunanya berlatih Freeletics pada saat sekarang. Di Freeletics saya dilatih untuk sabar menghadapi dan melalui repetisi gerakan yang banyak dan melelahkan itu. Pelan-pelan yang penting selesai. Karena repetisi itu pasti ada akhirnya. Begitu pula kondisi yang melelahkan ini pasti ada akhirnya. Pesta selalu ada akhirnya. Kesedihan pun pasti akan ada akhirnya. Tidak selamanya demikian. Begitu pula dengan jarak yang begitu lama untuk dilalui ini. Pasti akan berakhir.

Di tengah kantuk yang mendera dan saya tahan ini saya masih melajukan mobil meter demi meter. Ketika mobil di depan kami melaju, kami ikut melaju. Ketika mobil di depan berhenti, kami pun berhenti. Di saat-saat itulah saya manfaatkan untuk memejamkan mata sejenak. Terkadang sampai diklakson oleh mobil di belakang kami, karena ternyata mobil di depan kami sudah bergerak jauh.

Hal yang sama juga dialami oleh mobil di depan kami. Ngantuk juga. Ya saya klakson agar terbangun dan segera mengikuti pergerakan mobil di depannya yang sudah melaju lagi. Begitulah adanya. Sampai kantuk saya tiba-tiba saja hilang dan berganti dengan semangat untuk bertahan dan melalui semua itu.

Saya ditemani oleh radio dan kaset-kaset. Kaset murotal, Opick, ST-12, diputar sampai habis dan diulang-ulang.

Sahur Pakai Apa?

Sampai waktunya sahur pada jam setengah empat pagi. Kami sepakat untuk terus puasa di hari terakhir. Bekal yang kami bawa buat berbuka, nasinya tinggal sedikit tapi lauk pauknya masih banyak. Saya bilang yang penting anak-anak saja dulu. Saya juga sudah terbiasa tidak makan nasi. Insya Allah tidak masalah.

Sebenarnya kami jarang membawa bekal saat mudik, biasanya kami mengandalkan untuk makan di tempat-tempat makan yang ada. Tetapi sejak tahun lalu kami mudik bawa bekal dan ternyata banyak manfaatnya. Apalagi sekarang. Namun kayaknya perlu diperhatikan untuk membawa bekal buat sahur juga sebagai antisipasi kejadian seperti ini. Terjebak macet yang lama.

Kami sahur sambil jalan. Mobil tidak berhenti. Saya disuapin sama istri. Saya sarankan kepada anak-anak untuk minum air putih yang banyak. Ternyata air minum satu kardus itu sudah habis. Sebagian dipakai buat berwudu pada saat salat Magrib dan Isya sebelumnya. Kami mencari-cari penjual air minum dan berhasil. Alhamdulillah acara sahur selesai.

Kemudian papan penunjuk jarak di tol menunjuk angka 247 pada pukul empat pagi. Aih, sebentar lagi pintu tol Pejagan. Kami berniat untuk keluar di pintu tol Pejagan agar bisa salat Subuh di rumah saudara di Ketanggungan Timur.

Tapi jelas tidak mungkin. Ternyata yang menyebabkan kemacetan sepanjang 27 kilometer itu adalah karena semua mobil mau keluar di Pejagan. Orang sudah trauma untuk pergi keluar Brexit. Orang sudah lelah dengan terjebak di jalan tol. Bisa jadi karena banyak yang sudah kehabisan bensin. Dan jelas kami tidak bisa menyalip antrian untuk keluar di pintu tol Pejagan. Pun, dalam antrian itu mobil sudah tidak ada pergerakan lagi. Akhirnya saya putuskan untuk tetap melaju sampai Brexit. Mengejar waktu salat Subuh di pintu tol Brexit.

Jalan tol dari Pejagan ke Brexit benar-benar lengang. Padahal sehari sebelumnya adalah neraka dan menjadi biang kemacetan sepanjang 35 kilometer. Di rest area di antara Pejagan Brexit kami berhenti untuk salat Subuh.

Rest area-nya kumuh karena banyak tumpukan sampah dan becek. Mushollanya kotor dan airnya pun asin. Toilet jangan dibayangkan lagi, gelap dan kotor. Kami hanya salat Subuh di sana. Yang penting kewajiban telah selesai dilaksanakan.

Sebelum sampai di pintu tol Brexit, saya mengontak saudara istri yang bekerja di sana. Sesampainya di sana kami langsung masuk ke area parkir dan toiletnya yang bersih itu.

Menurut saudara kami ini, pengendara tol sudah dilarang masuk ke rest area dan area parkir pintu tol Brexit karena ketika dibuka di hari kemarin, sampah menumpuk dan menjadi biang kemacetan lagi karena keterbatasan lahan parkir. Apalagi banyak pejabat yang datang ke sini untuk memantau lalu lintas. Kami beruntung dapat memasukinya dan beristirahat sebentar. Setelah selesai semua dan berterima kasih atas pertolongan saudara kami itu, kami lanjut lagi.

Kalau dihitung-hitung maka kami berada di jalan tol ini selama 12 jam hanya untuk menyusuri 27 km yang melelahkan itu. Syukurnya kami terbantu malam hari. Saya tidak membayangkan kalau kejadiannya di siang hari seperti hari sebelumnya. Panas yang menyengat dan kekhawatiran adanya mesin yang overheating.

Bersambung ke: Cerita Mudik (2): Brexit Sampai Akhir Perjalanan.

 

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

20 Juli 2016

Foto dari republika.co.id

 


Filed under: Cerita Mudik Tagged: brebes exit, brebes timur, Brexit, Cerita Mudik, Dampyak Tegal, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Djoko Sasono, FREELETICS, Kanci-Pejagan, Kementerian Perhubungan, Mahabenar Engkau Adhityawarman, Opick, Pantura, pejagan, Sari Raos Bandung, spbu muri, ST-12, Suardjono, teh poci, Tol Sirkuit Sentul

Cerita Mudik (2): Brexit Sampai Akhir Perjalanan

$
0
0


Berburu Bensin

Penunjuk bensin tinggal dua strip lagi. Saatnya untuk mengisinya. Tapi di mana? Di dekat pintu tol Brexit? Jelas tidak mungkin. Antriannya panjang. Saya bertanya ke tetangga yang juga sudah duluan mudik via grup Whatsapp. Belum ada jawaban. Namun dering telepon dari tetangga saya yang lain memberi tahu info yang cukup penting, bahwa nanti isi bensin di SPBU yang kedua di jalan Dampyak Tegal. Itu berarti SPBU Muri yang dikenal dengan toilet bersihnya.

Brebes kami lewati dengan kemacetan parah. Begitu pula di kota Tegalnya walaupun para pemudik sudah diarahkan ke jalan lingkar luar via terminal, bukan ke arah kotanya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Saya mulai ngantuk lagi. Contra Flow sudah dibuat di sepanjang Tegal tapi tetap saja macet.

Sambil terkantuk-kantuk saya mulai menyusun strategi agar bisa masuk ke jalur paling kiri agar bisa masuk antrian SPBU. Pada saat SPBU pertama di jalan Dampyak Tegal terlewati mobil saya waktu itu berada di jalan Contra Flow. Saya mulai cari-cari jalan masuk agar bisa ke kiri. Karena kalau tidak, saya tidak akan bisa ikut antrian dan ini berbahaya karena posisi bensin tinggal setengah strip lagi.

Akhirnya saya menemukan jalur yang tidak ada batasnya dan saya bisa masuk antrian kendaraan yang menuju ke SPBU Muri. Orang tidak bisa nyodok-nyodok antrian karena mulai dari SPBU Muri sampai 100 meter ke belakang sudah diberi tali pembatas. Saya bersyukur saya bisa masuk antrian sejak 500 meter sebelum SPBU Muri. Saya dengan sabar mengantri dan pada akhirnya bisa isi bensin full tank. Posisi waktu itu jam 11 siang. Kami istirahat dulu. Mandi dan bersih-bersih. Saya sempatkan untuk rebahan di mobil dan memejamkan mata. Lumayan.

SPBU ini favorit kami kalau mudik dan balik. Sebagai tempat yang ideal untuk istirahat, mandi, dan makan-makan. Toiletnya banyak dan bersih.

Jam 11.30 kami melanjutkan perjalanan kembali. Jalanan mMasih macet dan siang sudah mulai membakar. Kinan sudah tak sabar untuk membatalkan puasanya. Kami bujuk agar dia tetap bersabar. Kami alihkan perhatiannya kepada banyak hal.

Kemacetan di jalan Tegal Pemalang ini memang parah. Kami berganti-ganti jalur. Terkadang di jalur Contra Flow, di sisi paling kiri, atau di sisi tengah. Pokoknya cari peluang agar mobil bisa melaju.

Berjam-jam kami lalui jalan Tegal Pemalang yang seperti tidak ada habis-habisnya. Kantuk terkadang muncul kembali. Kalau sudah begitu saya mencoba memberikan kemudi kepada anak pertama saya, Mas Haqi. Dia baru belajar nyetir. Di tengah kemacetan yang membuat mobil hanya bergerak beberapa meter saja itu saya kasih stir untuk menambah pengalamannya. Saya pindah ke bangku tengah dan Ummi Kinan mengawasinya. Lumayanlah ada beberapa menit mata saya terpejam tanpa ada gangguan. Tapi ketika saya terbangun lagi saya ambil stir kembali.

Tempat wisata Pantai Purwahamba Indah pun kami lewati. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Kami harus berhenti untuk salat jamak qasar Zuhur dan Asar. Kebetulan ketika saya ingat salat itu ada rest area dadakan yang dikelola oleh warga setempat. Tempatnya teduh dan luas. Kami minggir dan masuk ke halamannya yang tertutup dengan tembok tinggi.

Kata penjaga rest area itu, bertahun-tahun musim mudik, hanya kali ini sampai macet parah seperti ini. Dan ternyata kami masih di Tegal, sama sekali belum masuk Pemalang. Luar biasa. Akhirnya kami bisa tenang karena telah melaksanakan salat dan istirahat sebentar. Lalu kami pun melanjutkan perjalanan. Sampai di sebuah titik yaitu SPBU setelah Pantai Purwahamba Indah. Di sinilah ujung kemacetan itu terjadi. Setelah melewatinya kami bisa melaju kencang. Subhanallah.

Akhirnya selesai juga kemacetan. Pas 12 jam kami menyusuri jalanan mulai dari Pintu Tol Brexit hingga Tegal itu. Brebes dan Tegal di luar musim mudik saja sudah macet apalagi sekarang pas musim mudik. Luar biasa beratnya.

Berbuka Puasa di Pemalang dan Pekalongan

Setelah semua terlewati dan jam sudah menunjukkan pukul lima sore kami berunding untuk berbuka di mana. Kalau di Sari Raos Bandung Pekalongan jelas tidak akan terkejar. Jadi kami putuskan untuk memburu takjil di Kota Pemalang lalu makan besarnya di Pekalongan. Ya kami sepakati itu.

Akhirnya kami masuk kota Pemalang. Ini baru pertama kalinya saya menyusuri Kota Pemalang. Biasanya saya melewati jalan lingkar luarnya selama bertahun-tahun mudik. Pemalang di sore hari ternyata ramai sekali. Apalagi ini hari terakhir di bulan Ramadan. Toko penuh oleh orang-orang berbelanja. Terutama toko pakaian.

Dan menjelang 15 menit waktu berbuka puasa terakhir ini kami membeli sop buah. Saya tidak. Saya cukup air putih saja. Dan subhanallah, di saat berbuka puasa itu nikmatnya tiada tara. Apalagi Kinan yang sedari tadi ingin membatalkan puasanya.

Azan berkumandang melalui radio yang kami putar. Setelah itu kumandang takbiran membahana dari radio ataupun masjid-masjid yang kami lalui. Syahdu. Perasaan ini sama seperti saat mudik di tahun 2007, ketika kami menempuh perjalanan hanya dalam waktu 12 jam dari Citayam sampai Semarang. Pada saat itu jam tujuh malam, kami sudah sampai di tol Semarang dan menyaksikan langit Semarang penuh dengan kembang api menyambut kemenangan dan berakhirnya Ramadan.

Perjalanan Pemalang Pekalongan lancar. Kurang dari satu jam saja. Lalu kami mampir ke alun-alun Pekalongan yang pada saat itu sedang ramai. Kami parkir di depan Masjid Kauman dan turun untuk menuju rumah makan favorit kami: Sari Raos Bandung.

Sari Raos Bandung itu rumah makan dengan menu ayam kampungnya. Biasa kami mampir di Pekalongan kalau bertepatan dengan jam buka puasa. Sedangkan kalau di cabangnya yang lain seperti di Gringsing itu kami mampir pada saat waktu sahur. Sambalnya enak. Tapi jangan kebanyakan. Berlebihan itu memang tidak baik. Beberapa tahun lalu saya sampai kena sakit mag karena kebanyakan makan sambalnya. Walhasil saya merayakan lebaran sambil menahan lambung yang perih teriris-iris.

Akhir Perjalanan Mudik

Setelah makan dan salat di Pekalongan, kami lanjut kembali. Karena kelelahan dan kekenyangan barangkali, mata saya kembali memberat. Sampai titik yang tidak tertahankan lagi. Saya harus minggir. Tidak boleh melanjutkan nyetir sambil ngantuk. Berbahaya. Pernah kejadian saya hampir menabrak motor waktu mudik yang lampau.

Saya meminggirkan mobil dan masuk ke dalam sebuah masjid dengan halaman yang sempit. Entah di daerah mana. Yang pasti Batang sudah lewat jauh. Saya lupa apakah waktu itu Alas Roban sudah kami lewati atau belum.

Waktu itu jam setengah sembilan malam. Saking ngantuknya, saya langsung masuk ke dalam masjid dan merebahkan diri di atas karpetnya yang empuk. Ada pengurus masjid yang sedang takbiran di teras depan masjid. Baru juga memejamkan mata sebentar ada seorang bapak-bapak membangunkan saya untuk pindah tidur di teras. Karena ruang utama masjid ini bukan tempat tidur. Baiklah.

Saya kemudian pergi ke teras dan mengambil tikar plastik yang sudah disediakan pengurusnya lalu tidur. Yang lain tidak tidur cuma duduk-duduk saja. Setengah jam kemudian mata saya sudah segar dan bisa berangkat lagi.

Kami menyusuri jalanan Weleri sampai Kendal kemudian sampai di Mangkang lalu masuk ke dalam tol Semarang dan keluar di pintu tol Gayamsari menuju Tlogosari. Kondisi jalanan dari Pekalongan sampai Semarang lancar jaya. Bisa berpacu kecepatan dengan mobil yang lain.

Alhamdulillah, kami tiba di rumah kakak jam 23.30. Waw, total jenderal ada 35 jam perjalanan mudik kami. Selama 10 tahun kami mudik sendiri pakai mobil, baru kali ini kami mengalami perjalanan terparah dan yang paling lama. Walaupun demikian syukur banyak-banyak kami panjatkan kepada-Nya yang telah memberikan kami perlindungan selama di perjalanan sehingga tidak mendapatkan peristiwa yang menyenangkan.

Segelas teh manis panas menjadi hidangan penyambutan di malam itu. Subhanallah, nikmatnya teh poci ini. Ini salah satu yang saya suka kalau pergi ke Semarang. Setelah itu kami harus siap-siap tidur agar bisa salat Idul Fitri besok pagi.

Demikian cerita mudik ini yang sebagiannya sudah tertuliskan dalam artikel saya yang lain berjudul “Mahabenar Engkau Adhityawarman”. Ini adalah versi lengkapnya. Sampai bertemu kembali.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

20 Juli 2016

Foto diambil dari bintang.com



Filed under: Cerita Mudik Tagged: brebes exit, brebes timur, Brexit, Cerita Mudik, Dampyak Tegal, Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Djoko Sasono, FREELETICS, Kanci-Pejagan, Kementerian Perhubungan, Mahabenar Engkau Adhityawarman, Opick, Pantura, pejagan, Sari Raos Bandung, spbu muri, ST-12, Suardjono, teh poci, Tol Sirkuit Sentul

LEIDEN! Kepemimpinan Yang Menginspirasi

$
0
0

 

COVER LEIDEN - DUTA MEDIA TAMA

Ini bukan soal kota dan universitas tertua di Belanda yang bernama Leiden. Juga bukan membicarakan subjek. Melainkan soal predikat dalam bahasa belanda, leiden, yang berarti memimpin. Pekerjaan seorang pemimpin. Salah satu kriterianya ada dalam cerita ini.

Satu persamaan antara logo Bonek Persebaya Surabaya dan LA Mania Persela Lamongan adalah keduanya memakai wajah suporter yang sama. Bedanya logo Bonek Persebaya memakai ikat kepala sedangkan LA Mania tergambar dengan blangkon. Menariknya, kedua logo ini terinspirasi dari sosok yang sama. Pemuda gagah berani bernama Kadet Soewoko.

Pada 9 Maret 1949, tujuh orang menghadang segerombolan Belanda bersenjata lengkap.  Soewoko dengan  segelintir pasukannya tak pernah gentar menghadapi mereka. Serangan gencar dilancarkan menyebabkan banyak serdadu Belanda terjengkang.  Tapi keadaan berbalik. Belanda mengepung. Sampai Soewoko akhirnya tertembak dan terluka parah.

Saat akan dibawa pergi ke pos Belanda, Soewoko menolak. “Saya tidak mau menyerah. Bunuh saja saya.” Serdadu Belanda marah, menusuk dada, dan menembak wajahnya. Ia dikuburkan tanpa dimandikan karena dinilai mati syahid oleh penduduk desa. Keberaniannya dikenang dan namanya tetap hidup. Pemimpin itu keberanian. Karakter yang menjadi mesiu dan meletupkan kemerdekaan Indonesia.

Ini hanya salah satu dari sekian banyak kisah inspiratif dari buku yang ditulis Dea Tantyo Iskandar ini. Karena buku yang menyoal kepemimpinan ini tidak ditulis dengan gaya penulisan ilmiah baku maka banyak rekam jejak kepemimpinan yang kerap menjadi inspirasi tiap zaman.

Cuplikan kisah nyata  kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Agus Salim, M Natsir, Hamka bertaburan di dalamnya. Tokoh-tokoh dunia pun demikian. Cicero, Muhammad Alfatih, Sayyid Quthb, Che Guevara, Bruce Lee, dan Angela Merkel melengkapi.

Bahwa inspirasi kepemimpinan itu harus terus diestafetkan, itu misi yang Dea bawa dalam buku ini. Apalagi ketika bangsa Indonesia butuh keteladanan yang telah menulang sumsum antara kata dan perbuatan maka kehadiran banyak tokoh dalam buku ini agar lebih banyak nafas keteladanan yang bisa digugu dan ditiru.

Pemimpin itu pelayan, pemberani, visioner, sederhana, pembelajar ulung dari kesalahan pembicara, penulis, pembaca, dilahirkan dari gen kerja keras dan perjuangan serta keluar dari zona nyamannya dan bukan lagi masalah gender.

Di sinilah lalu kita mengenal nama Lasminingrat jauh sebelum kemunculan Kartini dan Dewi Sartika. Ia berhasil menerbitkan buku wajib yang dipakai di sekolah HIS serta menerjemahkan buku Belanda ke dalam bahasa Sunda.

Pada akhirnya di buku yang terbagi dalam 15 chapter ini, Dea meminta pembaca untuk menginjakkan kaki ke dunia nyata dengan belajar dan memulai memimpin dari sini dan titik terkecil. Ini makna dasar kepemimpinan menurutnya. Kembali pulang, menyapa, dan membawa manfaat buat masyarakat.

Leiden is leijden. Memimpin itu menderita. Tapi membaca buku ini tak perlu ada penderitaan karena ia menginspirasi dan memotivasi.

Satu hal yang dibutuhkan dari buku ini adalah sentuhan penyunting untuk membenarkan kesalahan yang tidak perlu dari lembar awal sampai akhir.

Selamat membaca.

Judul                  : Leiden!

Penulis                : Dea Tantyo Iskandar

Penerbit               : Duta Media Tama

Tahun                  : Cet.2,  Desember 2014

Tebal                  : xviii+276 hal

ISBN                   : 978-979-19152-6-7

 

 

 

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

9 Desember 2015

 

 


Filed under: Buku, Resensi Tagged: Agus Salim, Angela Merkel, Bonek Persebaya Surabaya, bruce lee, Che Guevara, Cicero, Dea Tantyo Iskandar, Dewi Sartika, Hamka, Hatta, HOS Tjokroaminoto, Kadet Soewoko, kartini, LA Mania Persela Lamongan, LEIDEN, Leiden is leijden, M Natsir, Muhammad Alfatih, Sayyid Quthb, soekarno, Syahrir, Tan Malaka

Pengampunan Pajak Untuk Infrastruktur Aceh

$
0
0


SATU dekade kurang satu bulan setelah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) disahkan, pada 1 Juli 2016 Presiden Joko Widodo mengesahkan UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Program pemerintah dalam rangka membiayai pembangunan yang memerlukan pendanaan besar dan bersumber utama dari penerimaan pajak.

Wajib pajak yang mengikuti program pemerintah ini akan diberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan. Caranya, masyarakat mengungkap harta yang dimiliki dan belum dilaporkan serta membayar sejumlah uang tebusan dengan tarif yang ringan.

UU ini memanggil nurani seluruh warga negara untuk turut serta, terutama para wajib pajak yang belum melaporkan hartanya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan dan penduduk Indonesia yang menyimpan hartanya di luar negeri. Beberapa lembaga mengestimasi jumlah harta tersebut sangatlah signifikan.

Menurut McKinsey, terdapat 250 miliar dolar Amerika Serikat, sedangkan data Credit Suisse Global Wealth Report dan Allianz Global Wealth Report menunjukkan sebanyak Rp 11.000 triliun. Bank Indonesia memperkirakan sebanyak Rp 3.000 triliun dan data primer Kementerian Keuangan mengestimasi sebanyak Rp 11.000 triliun berada di luar negeri.

Mengingat dana Warga Negara Indonesia (WNI) yang terparkir di luar negeri begitu besar, maka UU ini memberikan daya tarik berupa tarif uang tebusan yang rendah. Tarif lebih rendah diberlakukan buat WNI yang bersedia mendeklarasikan hartanya lalu menyimpan di dalam negeri (repatriasi), dari pada mereka yang sekadar mendeklarasikan harta yang disimpan di luar negeri.

Juga ada tarif paling rendah yakni sebesar 0,5% bagi para wajib pajak Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM). Tarif di atas lebih rendah dari pada tarif normal pajak penghasilan (PPh) yang sebesar 1%

Waktu terbatas
Dengan waktu yang sangat terbatas hanya sampai 31 Maret 2017, maka wajib pajak diharapkan turut serta mengikuti program ini dengan sebaik-baiknya, karena pengampunan pajak ini tidak hanya buat konglomerat ataupun WNI yang memiliki harta di luar negeri.

Semua wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan ini, terkecuali wajib pajak yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, wajib pajak yang dalam proses peradilan, dan wajib pajak yang menjalani hukuman pidana.

Selain tarif uang tebusan yang rendah sehingga membuat Singapura meradang dan berusaha menjegal kebijakan pengampunan pajak ini, wajib pajak juga akan diberikan fasilitas sebagai berikut: (1) penghapusan pajak terutang; (2) penghapusan sanksi administrasi; (3) tidak dilakukan pemeriksaan dan penyidikan; dan (4) penghentian pemeriksaan dan penyidikan.

Oleh sebab itu, tentu sayang sekali jika tidak dimanfaatkan oleh para wajib pajak dari Sabang sampai Merauke. Apalagi kerahasiaan dijamin betul dalam UU ini. Semua identitas, data dan informasi yang diberikan oleh wajib pajak tidak dapat diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak mana pun, kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri.

Ada ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun bagi Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak ini jika terdapat data wajib pajak yang bocor.

Pembiayaan infrastruktur dalam era lima tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo sebesar Rp 5.000 triliun. Kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi dari pemerintah saja. Untuk itu peran serta swasta diperlukan. Maka dengan adanya program pengampunan pajak ini dapat mengokohkan pencapaian target pembangunan infrastruktur tersebut.

Program pengampunan pajak menarik dana dari dua sisi: Pertama, pemerintah mendapatkan uang tebusan yang ditargetkan sebesar Rp 165 triliun. Dalam jangka pendek hal ini menopang struktur Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) 2016 dan 2017. Dari APBN 2016 pemerintah telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 313 triliun untuk pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia.

Postur APBN 2016 yang sehat tentunya menguatkan pemerintah pusat untuk memenuhi amanah Pasal 183 UU Pemerintahan Aceh, bahwa Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang berasal dari APBN ditujukan untuk membiayai pembangunan Aceh antara lain pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur.

Kedua, pemerintah mendapatkan dana repatriasi yang ditempatkan dalam instrumen investasi yang telah ditetapkan dalam UU Pengampunan Pajak. Salah satunya berupa investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha.

Dari dua sisi tersebut kita berharap banyak proyek infrastruktur Aceh segera terealisasi. Terutama untuk proyek Jalan Tol Trans Sumatera, perluasan bandara lokal, pembangunan rel kereta api dari Lhokseumawe-Bireuen, dan Bendungan Keureutoe. Karena kita meyakini kunci menarik investasi ke daerah adalah pembangunan infrastruktur.

Komitmen pemerintah pusat pun diperlukan dalam pembangunan infrastruktur strategis sebagaimana telah direncanakan dan diusulkan oleh pemerintah Aceh pada saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional 20 April 2016 lalu, antara lain untuk percepatan pembangunan seperti pengembangan kawasan ekonomi khusus di Lhokseumawe, revitalisasi Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) Banda Aceh Darussalam, dan pengembangan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Lampulo, Banda Aceh.

Tidak bisa diabaikan adalah untuk pembangunan jalan lintas Tengah, Barat, dan Timur Aceh, pembangunan perlindungan kawasan hutan strategis, dan pembangunan terowongan di Gunung Geurutee, Aceh Jaya, sebagaimana disebut dalam laman Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh.

Manfaat strategis
Dengan berbagai manfaat strategis dari pengampunan pajak serta keterkaitan kebutuhan infrastruktur di Aceh, maka seyogianya program pengampunan pajak ini bisa berjalan sukses dan diminati serta dinikmati oleh masyarakat Aceh. Maka ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam hal ini Kantor Wilayah DJP Aceh sebagai operator dari program ini.

Pertama, sosialisasi secara masif dan terus menerus kepada Wajib Pajak terutama Wajib Pajak besar di provinsi Aceh, para pengusaha yang tergabung dalam pelbagai asosiasi, serta Wajib Pajak UMKM. Ini merupakan langkah kecil dari upaya terus menerus DJP untuk membangun persepsi yang sama antara pemerintah pusat dan Aceh bahwa pengumpulan pajak semata akan menjadi keuntungan yang mendukung banyak perbaikan aspek kehidupan masyarakat Aceh.

Kedua, silaturahmi kepada pemangku kepentingan di daerah terutama pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota agar turut bekerjasama mendorong masyarakat mengikuti program ini. Karena perlu disadari bahwa perkembangan ekonomi di daerah jauh lebih dipengaruhi politik perekonomian yang digunakan oleh pemimpin daerahnya ketimbang variabel lainnya (Armida S. Alisjahbana, 2010).

Ketiga, menyediakan dan memperluas media penyebaran informasi berupa gerai-gerai pengampunan pajak di titik-titik strategis daerah guna memberikan informasi seluas-luasnya tentang bagaimana cara masyarakat Aceh mengikuti program pengampunan pajak ini.

Kita berharap sedikit langkah itu membawa dampak prima dalam program ini, karena masyarakat hanya diberikan kesempatan 9 bulan untuk ikut serta bersama-sama membangun negeri. Setelah itu, kita berharap ada kelegaan sebagaimana slogan pengampunan pajak ini “Ungkap, Tebus, Lega”. Semata untuk kebaikan Aceh. Semoga!

* Riza Almanfaluthi, bekerja di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tapaktuan. Email: riza.almanfaluthi@gmail.com

Artikel ini dimuat di Opini Koran Harian Serambi Indonesia, hari Kamis, 4 Agustus 2016.

Atau di tautan: http://aceh.tribunnews.com/2016/08/04/pengampunan-pajak-infrastruktur-aceh



Filed under: Masalah Perpajakan, Opini

Mahabenar Engkau Adityawarman

$
0
0

image

KEMAHA PE A -AN***Dirut jasa Marga Adityawarman ini memakai EUFEUMISME “tidak pandai” kepada para pemudik sebagai pengganti kata goblok, pekok, pe-a, bego, pandir, dan segala antonimnya. Kalau sempat, pembaca silakan buka thesaurus bahasa Indonesia.

“Karena itu ya mungkin terlalu nikmatnya sampai Brexit. Kalau orang yang pandai pasti dia memilih keluar di (Gerbang Tol) Pejagan karena pasti lebih cepat. Tahun depan kalau belum bisa sampai Pekalongan (Tol Transjawa) mungkin kita akan stop. Lalu akan kita keluarkan di (Gerbang Tol) Kanci dan Pejagan,” lanjutnya.

Kita menemukan kembali pejabat yang gemar mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain. Menyalahkan pemudik yang punya niat mulia silaturahmi dengan orang tua di kampung dan menggerakkan ekonomi desa.

Masalahnya pun sudahkah edukasi, informasi, komunikasi terhadap masyarakat? Sudah optimalkah? Lah wong komunikasi di antara mereka sebagai operator jalan tol saja masih belum optimal.

Sebenarnya sudah banyak cerita dan berita tentang penyebab tragedi itu. Namun ada sedikit yang bisa saya sampaikan tentang kejadian Senen Petang (4 Juli) sampai Selasa Pagi (5 Juli) di Jalan Tol Kanci sd Pejagan itu sebagai tanda ke-pe a- an saya, sebagai berikut:

1. Tol Palikanci dan Tol Kanci -Brebes Itu beda operator. Setiap nomor telepon Info Tol yang ada, tidak mampu atau tidak mau memberikan info bagaimana kondisi jalan tol yang bukan di kelolanya. Ini sudah saya coba saat menanyakan perkembangan kondisi pintu tol Pejagan dan Brexit di Info Tol Palikanci. Jawabannya bukan dalam pantauan kami. Emang goblok banget saya nih, masih tanya begituan kepada mereka.

2. Tol Palikanci dan tol Kanci Brebes tidak ada media “running text” yang memberikan info kemacetan sebagaimana jalan tol di Jabodetabek. Jadi bagaimana kami tidak terlena. Memang pe-a juga saya ngebandingin tol.

3. Tidak ada petugas yang menyetop kami di Kanci dan mengalihkan kami ke jalur pantura. Dan ketika saya menanyakan kepada petugas di gerbang tol, petugas bilang bahwa jalur pantura macet dan bahkan Pejagan atau Brexit aman serta tidak kayak hari sebelumnya. Padahal dalam kenyataannya buntut kemacetan sejak dari Pejagan itu ekornya sudah mulai ada 2 sd 3 km selepas gerbang tol Kanci. Ini berarti lebih dari 27 km panjang kemacetan itu. Lagi-lagi maha pe-a nya saya.

Otomatis 12 jam kami harus menempuh jarak 27 km itu. Buka, salat, dan sahur di jalan tol. Kemacetan di hari itu karena orang keluar semua di Pejagan. Pengguna tol sudah enggak mau melanjutkan perjalanan lagi ke Brexit karena dengar kabar di hari kemarinnya yang macet panjang lebih dari 30 km. Pun, karena sudah kelelahan dan trauma dengan jalan tol yang fasilitasnya kurang.

Semacet-macetnya pantura, tetap lebih manusiawi karena toilet banyak, pedagang banyak, spbu ada, mushola dan masjid juga banyak. Manusia butuh air buat minum dan istinja (bersih-bersih).

Angka 200 meter saya hitung betul. Karena jarak antar plang penanda jarak km di tol ya memang berjarak 200 meter. Angka itu saya hitung mulai 222 sampai 249. Ngantuk sudah jelas. Tidur hanya di sela-sela kemacetan. Berhenti 30 detik saja saya sempatkan untuk tidur. Colekan anak saya atau klakson pengendara mobil belakang yang membangunkan saya untuk melaju lagi di sisi paling kanan jalan. Mobil depan pun sama. Ngantuk juga. Buktinya waktu mobil di depannya sudah jalan, dia enggak bergerak. Saya klakson juga. Tapi saya sadar mereka juga butuh istirahat. Tak ada jengkel-jengkelan. Semua sama menderitanya.

Yang menolong kami hanyalah Allah swt dan sebab matahari sudah tenggelam di barat. Malam hari membuat kami tidak kepanasan. Masih cukup sabar kami menjalani semua itu. Saya tidak membayangkan bagaimana kejadiannya di siang hari. Saya turut empati. Semoga Allah catat setiap putaran roda itu sebagai catatan amal kebaikan atas sebab niat silaturahmi.

Selanjutnya, karena kemacetan yang mengular, kami tidak keluar di Pejagan, kami keluar di Brexit jam 6 pagi. Tidak macet di sana. Cuma butuh 12 jam lagi buat keluar dari Brexit sampai SPBU terakhir dekat tempat wisata Purwahamba, Tegal. Setelah itu kendaraan bisa dipacu kencang.

Butuh waktu 36 jam buat perjalanan dari Citayem, Bogor sampai Semarang. Mudik terlama sepanjang sejarah 10 tahun kami mudik. Jadi teringat perjalanan di tahun 2007 yang hanya butuh waktu 12 jam saja.

Ngantuk yang tidak tertahankan lagi ketika sampai Batang. Butuh sebenar-benarnya istirahat ketika badan ini belumlah istirahat selama 30 jam. Mampir di sebuah masjid di pinggir jalan yang sedang mengumandangkan kemahabesaran Allah, lalu tidur 30 menit. Itu pun setelah “diusir” sama marbot karena ruang utama masjid yang berkarpet tebal dan empuk itu bukan buat tidur, tapi cukup di teras saja sambil gelar tikar plastik.

Ya syukurnya kami masih ditakdirkan selamat sampai tujuan. Azab pun berakhir. Safar memang sejatinya azab. Dengan segala perjuangan itu, plus ke maha pe-an itu ya masih saja dianggap sebagai biang keladi kemacetan. Dengan segala bentuk argumentasi sebanyak butiran pasir di tepi pantai Tapaktuan.

“Syukur-nya”, yang goblok itu bukan saya sendiri. Semua pemudik yang pakai tol Kanci-Pejagan-Brebes juga goblok semua. Mengutip Kera (ni) dalam film My Stupid Boss, otak kami ini sederajat. Derajat otak yang cuma segaris kaya kumis Bossman yang punya prinsip: Impossible we do, miracle we try.

Ya, kami dengan segala ke maha pe a -an ini melaju menuju jalur neraka tanpa ada yang memperingati dan yang mengarahkan kami, sampai semua itu berada di luar nalar dan batas nilai kemanusiaan kami. Laa hawla wala quwwata illa billaah.

Jadi begitulah Pak Adityawarman. Anda benar. Bahkan ketika tol Brexit tanggal 16 Juni itu diresmikan, saya langsung teringat Titanic yang dianggap sebagai puncak arsitektur laut dan pencapaian teknologi. Ia diklaim sebagai kapal yang “hampir tidak mungkin tenggelam.” Tapi hanya butuh 4 hari untuk meruntuhkan kesombongan manusia pada saat itu.

Jadi? Kami juga pe a sebab tidak keluar di Pejagan, di Kanci atau gerbang tol sebelumnya. Dan maha benar engkau dengan segala junjunganmu.

Wallahua’lam bishowab.
Mohon maaf lahir batin.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tlogosari, 10 Juli 2016
Gambar dari liputan1.com

http://m.detik.com/news/berita/3250034/ini-kata-dirut-jasa-marga-soal-penyebab-horor-macet-di-brexit


Filed under: CATATAN SENIN KAMIS, Sejumput Rintih Tagged: adhityawarman, dirut jasa marga, horor brexit, jasa marga, tol brebes exit, tol palikanci, tol pejagan, TRAGEDI brexit

Mahabenar Engkau Adityawarman

$
0
0

image

KEMAHA PE A -AN***Dirut jasa Marga Adityawarman ini memakai EUFEUMISME “tidak pandai” kepada para pemudik sebagai pengganti kata goblok, pekok, pe-a, bego, pandir, dan segala antonimnya. Kalau sempat, pembaca silakan buka thesaurus bahasa Indonesia.

“Karena itu ya mungkin terlalu nikmatnya sampai Brexit. Kalau orang yang pandai pasti dia memilih keluar di (Gerbang Tol) Pejagan karena pasti lebih cepat. Tahun depan kalau belum bisa sampai Pekalongan (Tol Transjawa) mungkin kita akan stop. Lalu akan kita keluarkan di (Gerbang Tol) Kanci dan Pejagan,” lanjutnya.

Kita menemukan kembali pejabat yang gemar mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain. Menyalahkan pemudik yang punya niat mulia silaturahmi dengan orang tua di kampung dan menggerakkan ekonomi desa.

Masalahnya pun sudahkah edukasi, informasi, komunikasi terhadap masyarakat? Sudah optimalkah? Lah wong komunikasi di antara mereka sebagai operator jalan tol saja masih belum optimal.

Sebenarnya sudah banyak cerita dan berita tentang penyebab tragedi itu. Namun ada sedikit yang bisa saya sampaikan tentang kejadian Senen Petang (4 Juli) sampai Selasa Pagi (5 Juli) di Jalan Tol Kanci sd Pejagan itu sebagai tanda ke-pe a- an saya, sebagai berikut:

1. Tol Palikanci dan Tol Kanci -Brebes Itu beda operator. Setiap nomor telepon Info Tol yang ada, tidak mampu atau tidak mau memberikan info bagaimana kondisi jalan tol yang bukan di kelolanya. Ini sudah saya coba saat menanyakan perkembangan kondisi pintu tol Pejagan dan Brexit di Info Tol Palikanci. Jawabannya bukan dalam pantauan kami. Emang goblok banget saya nih, masih tanya begituan kepada mereka.

2. Tol Palikanci dan tol Kanci Brebes tidak ada media “running text” yang memberikan info kemacetan sebagaimana jalan tol di Jabodetabek. Jadi bagaimana kami tidak terlena. Memang pe-a juga saya ngebandingin tol.

3. Tidak ada petugas yang menyetop kami di Kanci dan mengalihkan kami ke jalur pantura. Dan ketika saya menanyakan kepada petugas di gerbang tol, petugas bilang bahwa jalur pantura macet dan bahkan Pejagan atau Brexit aman serta tidak kayak hari sebelumnya. Padahal dalam kenyataannya buntut kemacetan sejak dari Pejagan itu ekornya sudah mulai ada 2 sd 3 km selepas gerbang tol Kanci. Ini berarti lebih dari 27 km panjang kemacetan itu. Lagi-lagi maha pe-a nya saya.

Otomatis 12 jam kami harus menempuh jarak 27 km itu. Buka, salat, dan sahur di jalan tol. Kemacetan di hari itu karena orang keluar semua di Pejagan. Pengguna tol sudah enggak mau melanjutkan perjalanan lagi ke Brexit karena dengar kabar di hari kemarinnya yang macet panjang lebih dari 30 km. Pun, karena sudah kelelahan dan trauma dengan jalan tol yang fasilitasnya kurang.

Semacet-macetnya pantura, tetap lebih manusiawi karena toilet banyak, pedagang banyak, spbu ada, mushola dan masjid juga banyak. Manusia butuh air buat minum dan istinja (bersih-bersih).

Angka 200 meter saya hitung betul. Karena jarak antar plang penanda jarak km di tol ya memang berjarak 200 meter. Angka itu saya hitung mulai 222 sampai 249. Ngantuk sudah jelas. Tidur hanya di sela-sela kemacetan. Berhenti 30 detik saja saya sempatkan untuk tidur. Colekan anak saya atau klakson pengendara mobil belakang yang membangunkan saya untuk melaju lagi di sisi paling kanan jalan. Mobil depan pun sama. Ngantuk juga. Buktinya waktu mobil di depannya sudah jalan, dia enggak bergerak. Saya klakson juga. Tapi saya sadar mereka juga butuh istirahat. Tak ada jengkel-jengkelan. Semua sama menderitanya.

Yang menolong kami hanyalah Allah swt dan sebab matahari sudah tenggelam di barat. Malam hari membuat kami tidak kepanasan. Masih cukup sabar kami menjalani semua itu. Saya tidak membayangkan bagaimana kejadiannya di siang hari. Saya turut empati. Semoga Allah catat setiap putaran roda itu sebagai catatan amal kebaikan atas sebab niat silaturahmi.

Selanjutnya, karena kemacetan yang mengular, kami tidak keluar di Pejagan, kami keluar di Brexit jam 6 pagi. Tidak macet di sana. Cuma butuh 12 jam lagi buat keluar dari Brexit sampai SPBU terakhir dekat tempat wisata Purwahamba, Tegal. Setelah itu kendaraan bisa dipacu kencang.

Butuh waktu 36 jam buat perjalanan dari Citayem, Bogor sampai Semarang. Mudik terlama sepanjang sejarah 10 tahun kami mudik. Jadi teringat perjalanan di tahun 2007 yang hanya butuh waktu 12 jam saja.

Ngantuk yang tidak tertahankan lagi ketika sampai Batang. Butuh sebenar-benarnya istirahat ketika badan ini belumlah istirahat selama 30 jam. Mampir di sebuah masjid di pinggir jalan yang sedang mengumandangkan kemahabesaran Allah, lalu tidur 30 menit. Itu pun setelah “diusir” sama marbot karena ruang utama masjid yang berkarpet tebal dan empuk itu bukan buat tidur, tapi cukup di teras saja sambil gelar tikar plastik.

Ya syukurnya kami masih ditakdirkan selamat sampai tujuan. Azab pun berakhir. Safar memang sejatinya azab. Dengan segala perjuangan itu, plus ke maha pe-an itu ya masih saja dianggap sebagai biang keladi kemacetan. Dengan segala bentuk argumentasi sebanyak butiran pasir di tepi pantai Tapaktuan.

“Syukur-nya”, yang goblok itu bukan saya sendiri. Semua pemudik yang pakai tol Kanci-Pejagan-Brebes juga goblok semua. Mengutip Kera (ni) dalam film My Stupid Boss, otak kami ini sederajat. Derajat otak yang cuma segaris kaya kumis Bossman yang punya prinsip: Impossible we do, miracle we try.

Ya, kami dengan segala ke maha pe a -an ini melaju menuju jalur neraka tanpa ada yang memperingati dan yang mengarahkan kami, sampai semua itu berada di luar nalar dan batas nilai kemanusiaan kami. Laa hawla wala quwwata illa billaah.

Jadi begitulah Pak Adityawarman. Anda benar. Bahkan ketika tol Brexit tanggal 16 Juni itu diresmikan, saya langsung teringat Titanic yang dianggap sebagai puncak arsitektur laut dan pencapaian teknologi. Ia diklaim sebagai kapal yang “hampir tidak mungkin tenggelam.” Tapi hanya butuh 4 hari untuk meruntuhkan kesombongan manusia pada saat itu.

Jadi? Kami juga pe a sebab tidak keluar di Pejagan, di Kanci atau gerbang tol sebelumnya. Dan maha benar engkau dengan segala junjunganmu.

Wallahua’lam bishowab.
Mohon maaf lahir batin.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
Tlogosari, 10 Juli 2016
Gambar dari liputan1.com

http://m.detik.com/news/berita/3250034/ini-kata-dirut-jasa-marga-soal-penyebab-horor-macet-di-brexit


Filed under: CATATAN SENIN KAMIS, Sejumput Rintih Tagged: adhityawarman, dirut jasa marga, horor brexit, jasa marga, tol brebes exit, tol palikanci, tol pejagan, TRAGEDI brexit

CAHAYA BULAN DI JENGGALA

Misteri Roseto

$
0
0


Ketika Malcolm Gladwell akan memulai menulis buku dia bertemu dengan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter dan bertugas di Kota Roseto dekat Pennsylvania United Stated, yang penduduknya adalah hampir 100% imigran asal Italia.

Temannya ini bercerita pada Malcolm bahwa dia hampir tidak pernah menemukan penduduk Roseto yang meninggal dunia pada usia muda dan berpenyakit koroner. Kasus ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti, mereka ditambah beberapa mahasiswa kedokteran dan sosiologi, kemudian melakukan penelitian dengan mengumpulkan sampel-sampel darah, catatan kematian, dan mempelajari pola makan dan minum mereka.

Hasil penelitian mereka benar-benar menakjubkan. Di Roseto, praktis tidak ada orang yang di bawah usia lima puluh tahun meninggal karena serangan jantung atau menunjukkan tanda-tanda penyakit jantung, penyakit luka lambung, tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada penyalahgunaan alkohol, kecanduan obat terlarang, dan sangat sedikit kejahatan, serta hampir tidak seorang pun yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Tim peneliti menduga bahwa penduduk Roseto menjalankan pola makan sehat yang membuat mereka lebih sehat dari kebanyakan orang Amerika lainnya. Namun, kemudian disadari bahwa asumsi itu keliru. Warga Roseto mempunyai kebiasaan membuat pizza dalam lempengan tebal ditambah sosis, daging papperoni, salami, ham, dan telur, tidak lupa juga biscotti dan tarreli dengan kudapan manis mereka setiap hari, dan semua makanan yang mereka konsumsi adalah sarat dengan lemak, gula, dan karbohidrat yang tinggi.

Lari pagi atau joging pun bukan kebiasaan mereka. Kalaupun ada satu dua orang yang melakukan pasti tidak terlalu konsisten. Maka tidak heran kalau kebanyakan warga Roseto, Pennsylvania selalu berkutat dengan masalah obesitas dan sulit sekali meninggalkan kebiasaan merokok berat.

Kalau pola makan dan olahraga tidak menjelaskan temuan mereka, bagaimana dengan genetika? Ternyata itupun tidak bisa membuktikan bahwa mereka keturunan dari gen yang sehat. Setelah diteliti, warga Roseto yang berada di Italia mempunyai catatan kesehatan yang buruk.

Dan hal yang mulai disadari oleh tim peneliti adalah bukan pola makan, olahraga, gen, dan letak geografi. Rahasianya adalah saat mereka jalan-jalan di kota tersebut mereka menemukan jawabannya. Tim peneliti melihat bagaimana warga Roseto saling berkunjung satu sama lainnya, berhenti untuk mengobrol sejenak, berbagi makanan satu sama lainnya dan itu adalah kebiasaan yang mereka lakukan sepanjang masa.

Cerita ini terdapat dalam sebuah buku yang ditulis oleh Anna Mariana dan berjudul Inilah Pesan Penting di Balik Berkah dan Manfaat Silaturahmi. Anna Mariana mengutipnya dari buku yang ditulis oleh Malcolm Gladwell berjudul Outliers: The Story of Success.

Buku Malcolm Gladwell inilah yang menyelip bersama barang-barang lain dalam sebuah goody bag pada sebuah acara penyerahan penghargaan terhadap pemenang lomba menulis perpajakan di tahun 2012 lalu. Sejak saat itulah saya mengenal Malcolm dan banyak bukunya.

Sentuhan Kecil

Cerita Malcolm menunjukkan kepada kita sebuah pengajaran hikmah atas silaturahmi dan berbagi. Maka sebagai upaya melestarikan tradisi agung itulah pada saat lebaran lalu jutaan orang rela dan bersusah payah melakukan perjalanan mudik. Hingga sampai terjadi horor kemacetan yang luar biasa dan memakan korban jiwa.

Dengan segala pernak-pernik kehebohannya itu menurut saya adalah hal yang naïf jika mengatakan para pemudik itu sebagai agen kapitalisme global yang permisif, artifisial, dan konsumtif sebagaimana pemerhati budaya katakan. Hanya dikarenakan pemudik sekarang bisa dikatakan sebagai orang-orang yang sekadar pamer keberhasilan, pelapor kesuksesan di tanah rantau, dan penghamba pemuas keinginan—bukan kebutuhan. Kita tak bisa menggeneralisasi demikian atas sebuah fenomena sosial-kolosal itu.

Silaturahmi dan keinginan berbagi seharusnya menjadi sebuah kebutuhan. Ini niat mulia yang dibawa para pemudik itu ke kampung halaman setelah sekian lama berada di rantau dan hanya waktu dan momen itu yang tepat sehingga mereka berkesempatan.

Silaturahmi menghilangkan dahaga atas sebuah kekangenan dan lapar atas sebuah pemaafan karena laku lampah yang tak elok. Sedangkan berbagi dengan rezeki yang ada adalah merapatkan cinta karena sebuah kebijakan Muhammad yang mengatakan tahaadu tahaabu. Berilah hadiah, kamu akan berkasih sayang.

Saya yakin misteri Roseto yang terpecahkan dan telah menjadi sebuah efek ini membawa sebuah perubahan ke arah yang lebih baik sampai para pemudik itu kembali menjalani aktifitasnya di tanah rantau. Sekecil apapun perubahan itu. Sekecil apapun yang bisa diberikan saat berbagi.

Inilah yang Malcolm sebut dalam bukunya yang lain berjudul Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference bahwa perubahan besar terjadi akibat suatu perubahan dan tindakan kecil. Sesuatu yang kecil tak bisa disepelekan. Hal yang kecil bisa mengubah hidup.

Maka pada suatu hari saya terpesona kepada seorang teman yang mampu membawa dirinya melampaui keterbatasan sehingga dirinya dikenal dan perkataannya didengar oleh semua orang karena kebaikannya. Rahasianya adalah ia mampu berkomunikasi, bersilaturahmi, dan berbagi yang baik. Ia diingat orang dengan kebaikan-kebaikan kecilnya.

Misalnya dalam sebuah makan siang bersama di luar. Ketika selesai makan dan akan kembali ke kantor, dia adalah orang yang pertama bangkit menuju mobil lalu menyalakan penyejuk ruangan, setelah mobil sudah dingin, baru ia menjemput teman-temannya. Ia tidak mau teman-temannya kepanasan saat memasuki mobil. Ia pula yang pertama datang dan menjenguk saat temannya mendapatkan musibah tanpa harus ada imbauan terlebih dahulu. Ini sebuah sentuhan kecil. Ah, banyak lagi sebenarnya contoh kebaikan kecilnya itu.

Eureka!

Begitu pula pada cerita yang lain kita semestinya dapat pelajaran untuk selalu memupuk rasa optimisme. Seperti di kantor kami dalam rangka menyiapkan dan menyukseskan program pengampunan pajak yang sudah dikumandangkan oleh pemerintah awal Juli 2016 lalu. Ada strategi sosialisasi yang turun ke bawah, agar seluruh kantor pajak menyiapkan ruangan khusus, kampanye, dan lain sebagainya.

Seketika kerepotan terjadi dalam persiapannya yang serba gegas. Padahal kantor kami berada di sebuah wilayah yang “terpencil” dengan potensi perpajakan yang kecil, lalu sebuah pertanyaan menyeruak. Apakah ada Wajib Pajak yang ikut program ini? Akankah effort yang bikin repot
ini sebanding dengan hasil uang tebusan pengampunan pajak yang diperoleh? Kalau ada uang tebusan yang masuk akankah mencapai jumlah yang cukup signifikan?

Sudah keniscayaan memang pesimisme itu dikuburkan dalam-dalam. Yang elementer adalah ikhtiar. Perkara hasil adalah nomor kesekian. Karena kita menasdikkan tentang apa yang Lao Tzu ujarkan: “a journey of a thousand miles begins with a single step.

Kalau sudah demikian, maka ihwal yang setara dituntut kepada pemangku kepentingan yang menggadang-gadang 165 triliun rupiah terkumpul dari uang tebusan ini. Sebuah pengakuan sederhana yang dihasilkan dari pengamatan dengan menggunakan mikroskop nalar sehat dan pembesaran ratusan kali bahwa dari jumlah itu ada sen-sen rupiah dihasilkan oleh kantor pajak ini. Eureka! Tak ada yang meremehkan sesuatu yang kecil.

Pada penjurunya kemudian seharusnya tak ada yang meremehkan terhadap silaturahmi yang hanya setahun sekali dan berbagi yang sedikit. Sebab sekecil-kecilnya kebaikan adalah besar dan sesedikit-dikitnya adalah banyak.

Apa yang terjadi 30 tahun kemudian saat dilakukan penelitian kembali terhadap masyarakat Roseto, Pennsylvania? Angka kematian karena serangan jantung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Penyebabnya satu: perubahan sosial secara radikal yang merusak solidaritas dan kohesivitas masyarakat Roseto sehingga mereka sama Amerikanya dengan yang lain. Saat silaturahmi dan berbagi mulai ditinggalkan.

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

30 Juli 2016

Artikel ini telah dimuat pertama kali di Kolom Refleksi eMagazine DJP Edisi Juli 2016.

Edisi lengkap majalah ini bisa diunduh di sini.



Filed under: CATATAN SENIN KAMIS, Motivasi Tagged: Anna Mariana, eMagazine DJP Edisi Juli 2016, Eureka, Inilah Pesan Penting di Balik Berkah dan Manfaat Silaturahmi, Kolom Refleksi, Lao Tzu, malcolm gladwell, Outliers: The Story of Success, Pengampunan Pajak, Pennsylvania, Roseto, Tipping Point: How Little Things Can Make a Big Difference

Amnesti Pajak: Menjadi Ayah yang Tidak Lupa

$
0
0


Saya menemukan kisah pendek ini dalam dua buku yang berbeda. Kisah pendek yang ditulis oleh William Livingstone Larned berjudul Father Forgets. Kisah ini muncul pertama kali sebagai editorial dalam sebuah majalah wanita People’s Home Journal di tahun 1920-an. Kemudian kisah ini dicetak ulang oleh Reader Digest.

Kisah ini juga ada dalam buku Dale Carnegie yang berjudul How to Win Friends and Influence People. Karena banyak menangkap imajinasi dan hati orang di seluruh dunia, kisah ini diterjemahkan dan dicetak ulang berkali-kali dan masih beredar sampai saat ini.

Father Forgets merupakan pengakuan seorang ayah atas kelakuan kesehariannya yang buruk kepada anaknya sendiri. Menggugah perasaan ketulusan kita sebagai orang tua.

Carnegie menyelipkan kisah ini dalam bukunya yang membicarakan tentang bagaimana seorang pemimpin itu seharusnya memimpin. Menurutnya, kepemimpinan itu adalah sebuah keahlian. Dan agar berhasil maka pemimpin antara lain harus seimbang antara waktu dan keluarga.

Pemimpin itu harus membuang perasaan tergesa-gesanya dan seakan-akan tidak memiliki waktu sama sekali. Karena jika perasaan itu mendominasi maka streslah yang akan tercipta. Menurut Carnegie, hubungan dengan keluarga juga adalah sumberdaya yang akan melindungi dan memperkaya kualitas hidup pemimpin.

Tak heran, berdamai dengan waktu dan menciptakan kedekatan dan hubungan baik dengan keluarga itu adalah sebuah keharusan buat seorang pemimpin.

Lee Iacocca memerintahkan kepada stafnya untuk segera menghubungkan telepon kepadanya jika yang menelepon itu adalah anak-anaknya. Siapa Lee Iacocca? Ia memulai karirnya di Ford sebagai mekanik sampai menjadi CEO. Tapi akhirnya dipecat oleh Henry Ford, pemilik Ford, karena takut tersaingi. Lee lalu bergabung dan menjadi Presiden Direktur Chrysler –saingan Ford—dan membawa pabrik mobil itu lolos dari jurang kebangkrutan dan memperoleh laba penjualan yang sangat besar.

Salah satu dari sembilan prinsip sukses CEO Virgin Group, Richard Banson, adalah mendahulukan keluarga dan kelompok setia. Lou Gerstner, mantan CEO IBM pernah bilang begini, “Anda harus membedakan peran-peran Anda, dalam bisnis, di masyarakat, dan dalam keluarga.” Sebenarnya banyak sekali pemikiran dari orang-orang sukses yang menempatkan keluarga pada posisi prioritas.

Sekarang, dalam rangka memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap Wajib Pajak yang akan mengajukan amnesti pajak, jam kerja pegawai Direktorat Jenderal Pajak telah ditambah. Dengan pengaturan jadwal, pegawai masuk di hari Sabtu mulai jam delapan pagi sampai jam dua siang. Kemudian di hari Minggu, sampai dengan jam 12 siang saja.

Kita adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang paling adaptif. Dengan waktu bersama keluarga yang semakin berkurang, maka kita berusaha menyesuaikan diri agar pertemuan dengan keluarga itu semakin berkualitas. Agar kita selalu mawas diri bahwa keluargalah yang menyokong kita selama ini sehingga kita menjadi seperti saat ini. Agar kita tidak menjadi orang tua yang lupa, apalagi ayah yang lupa. Sembari itu kita lihat bagaimana kisah Father Forgets itu menyentuh kita. Begini kisahnya:

Dengar anakku. Aku mengatakan ini saat kamu sedang tidur nyenyak, setelah tanganmu tertekuk di bawah pipimu dan rambut pirang ikalmu menempel di dahimu yang basah. Aku mengendap-endap masuk ke kamarmu sendirian. Hanya beberapa menit yang lalu, waktu aku duduk membaca koran di perpustakaan, tiba-tiba gelombang rasa sesal menghampiriku. Dengan rasa bersalah aku datang ke sisi tempat tidurmu.

Ada hal-hal yang kupikirkan, Nak. Aku sudah membuatmu kecewa. Aku memarahimu waktu kamu berpakaian akan berangkat ke sekolah karena kamu hanya sedikit mengusap wajahmu dengan handuk. Aku menghukummu karena kamu tidak membersihkan sepatumu. Aku membentakmu waktu kamu membuang sesuatu ke lantai.

Waktu sarapan aku juga menemukan kesalahan, kamu menjatuhkan sesuatu. Kamu langsung menelan makananmu. Kamu menaruh sikumu di atas meja. Kamu mengoleskan mentega terlalu banyak di atas rotimu. Dan ketika waktu bermain tiba dan aku harus berangkat mengejar kereta, kamu berpaling dan melambaikan tangan dan berkata, “Sampai jumpa ayah!” dan aku mengerenyitkan dahi lalu menjawab, “Ayo pulang!”

Lalu itu terjadi lagi di sore hari. Aku memata-matai kamu, sedang berjongkok dan bermain kelereng. Ada lubang di stocking-mu. Aku mempermalukan kamu di depan teman-temanmu dengan memaksa kamu kembali ke rumah. Stocking itu mahal—jadi kalau kamu membelinya kamu harus berhati-hati memakainya. Bayangkan itu Nak, bayangkan kata-kata semacam itu keluar dari mulut seorang ayah!

Ingatkah kamu bagaimana kamu mendatangiku dengan raut muka kuyu dan dengan pandangan mata yang terluka? Aku mengingatnya saat sedang membaca di perpustakaan. Waktu itu aku melongok dan mengalihkan pandangan mataku dari koran yang sedang kubaca, karena tidak sabar melihat kamu yang berdiri terdiam di ambang pintu, aku membentak, “Apa sih maumu?”

Kamu tidak mengatakan apa-apa, tetapi segera berlari menyongsongku, dan lengan-lengan kecilmu memelukku erat dengan rasa sayang yang begitu besar yang telah Tuhan semaikan dalam hatimu, yang bahkan tidak dapat sirna karena kamu diabaikan. Lalu kamu berlalu, menaiki tangga.

Anakku, tidak lama setelah itu koran yang kupegang terjatuh dan tanganku gemetar hebat dan ketakutan yang luiar biasa menyerangku. Kebiasaan apa yang sudah merajaiku ini? Kebiasaan mencari-cari kesalahan, kebiasaan mencerca, itulah pemberianku karena kamu hanya seorang anak laki-laki kecil. Bukan karena aku tidak mencintaimu; itu karena aku menuntut terlalu banyak. Aku mengukur kamu dengan ukuran orang dewasa.

Padahal ada banyak hal yang baik yang dalam dirimu. Hatimu yang tulus seindah fajar pagi di balik bukit. Kamu menunjukkan dengan pelukan dan ciuman spontan yang kamu berikan untukku malam ini. Tidak ada hal lain yang lebih berarti bagiku malam ini, Nak. Aku datang ke sisi tempat tidurmu dalam gelap, dan aku berlutut, malu!

Aku melakukan pengakuan kesalahan yang buruk, aku tahu kamu akan lebih mengerti kalau aku menjelaskannya waktu kamu bangun. Tetapi besok aku akan menjadi ayah yang sebenarnya. Aku akan bersahabat denganmu, menderita saat menderita, dan tertawa saat kamu tertawa. Aku akan menggigit lidahku jika ada kata-kata tak sabar yang ingin kukeluarkan: “Ia hanyalah seorang anak laki-laki. Anak laki-laki yang masih kecil.”

Aku takut aku telah menganggap kamu sebagai laki-laki dewasa. Tapi kini Nak, aku melihatmu meringkuk letih di bawah selimutmu, aku bisa melihat kamu masih sangat kecil. Baru saja kemarin kamu masih digendong oleh ibumu, dan kepalamu tersandar di atas bahunya. Aku sudah menuntutmu terlalu banyak Nak, terlalu banyak.

*

Di akhir Maret tahun depan, ketika Allah mengizinkan kita mencapai target itu, kita tahu—di sepanjang Sabtu dan Minggu yang dilalui—ada banyak ayah yang senantiasa belajar untuk tidak lupa.

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

ayah tiga orang anak

13 Agustus 2016

 

Catatan: Kisah Father Forgets di atas saya kutip utuh dari buku yang berjudul: “Bagaimana Memimpin Diri Sendiri dan Orang Lain untuk Meraih Posisi Puncak.” yang ditulis oleh Dale Carnegie, Penerbit: Progresif Books, Penerjemah: Lani.


Filed under: Keluarga, Masalah Perpajakan Tagged: amnesti pajak, ayah lupa, Chrysler, Dale Carnegie, Direktorat Jenderal Pajak, Father Forgets, Ford, Henry Ford, How to Win Friends and Influence People, IBM, Lee Iacocca, Lou Gerstner, Pengampunan Pajak, People’s Home Journal, Reader Digest, Richard Banson, tax amnesty, Virgin Group, William Livingstone Larned

sajak yang tak pernah gagal

$
0
0

aku menjelma bibir

dengan cecap pada segelas teh

yang panasnya pupus  dua jam lalu

di pinggiran malam yang retak

 

gelas yang lupa

dentingnya yang berisik

menitahkan mata

agar tak nyalang di sembarang

sengkarut suratan

 

tapi aku melawan geming

di atas kursi rotan berkepinding

pada layar putih yang sedang bunting

buat memperanakkan sajak-sajak kering

tilam sudah terbentang, sayang…

sentosalah

 

***

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

tapaktuan , 16 Agustus 2016


Filed under: Poem

Independence Day Run

$
0
0

 

Alhamdulillah pagi bisa lari sejauh 17,08 kilometer dalam rangka memperingati HUT RI yang ke-71.

Rute yang ditempuh dimulai dari mes pajak sampai gerbang ke pemandian Panjupian, Tapaktuan yang ternyata jaraknya 8,61 km. Kemudian setelah sampai di sana kembali lagi putar haluan ke mes pajak lagi.

Melewati tiga gunung: Batu Merah, Batu Itam, dan gunung dekat Panjupian itu. Ketinggian tertinggi yang dilewati adalah 92 mdpl. Ini menguras tenaga, tapi sekalian juga melatih kekuatan otot kaki.

  • Rute Lari Lhok Keutapang-Panjupian

Soalnya selama ini saya penasaran. Lari di Tapaktuan hanya sampai gunung pertama di Batu Merah. Belum berani mendaki melewati gunung-gunung berikutnya. Masih jiper. Kali ini saya berani dan bisa. Saya lewati tiga gunung sekaligus.

Waktu melewati gunung itu ada segerombolan monyet jantan yang hampir berkelahi memperebutkan daerah kekuasaannya. Untung mereka masih takut sama manusia jadi saya aman melewati mereka.

Saya juga melewati pantai, lari di atas ketinggian, dan menyusuri jalan-jalan sepi di pagi hari.

Yah, pace lambat saat di KM 10. Itu memang jalur pendakian saat pulang. Pace sampai 8:59 menit/km. Lambat banget. Tak apa-apa yang penting bisa sampai finis.

Alhamdulillah, bisa selesai. Bisa finis. Pas di kilometer 17,08. Angka yang pas di hari kemerdekaan yang biasa diperingati setiap tanggal 17 bulan Agustus.

Pas sampai mes,  buka pintu pakai kunci tak bisa-bisa. Masih gemetaran dan masih kehilangan fokus. Tapi masih bisa foto-foto. 😂😂😂


  • Foto sehabis lari



  • Wajah yang kelelahan

  • Rebus-rebusan

Langsung bikin rebusan buat sarapan. Dua tahu, dua jagung, satu ikan , satu telur, dan setumpuk tauge. Buat booster selepas lari ini.

Buat yang mau memulai lari. Ayolah lari jangan ditunda. Bikin target awal dulu. Minimal bisa lari 5 km tanpa henti. Kalau sudah, bikin personal best lari 5 km di bawah 30 menit. Baru lanjut bikin target bisa lari 10 km tanpa henti lalu setelah itu bikin personal best lari 10 km di bawah 60 menit. Emang bisa?

Pasti bisa, insya Allah. Yang penting sabar. Jangan baru lari pertama saja pengen bisa lari tanpa henti. Nantinya ujung-ujungnya kecewa, mutung, dan berhenti. Natural saja. Sunnatullah saja, bayi yang baru lahir aja tak ujug-ujug bisa jalan. Merangkak dulu. Kalau udah langsung bisa lari itu mah bayi ajaib. Kayak film horor yang dibintangi spesialis pemeran antagonis Indonesia WD Mochtar, Rina Hassim, dan Muni Cader di tahun 1982. Loh kok ngobrolin film sih. Yah itu mah anomali kalau ada. Black Swan gitulah.

Itu saja sih, tetap semangat. Saya bisa, kamu juga bisa. Salam lari dari #DJPRunners #Indorunnersaceh #indorunners #freeleticsindonesia, #freeletics.

Assalaamu’alaikum wrwb.

***

Riza Almanfaluthi

Dedaunan di ranting cemara

Tapaktuan, 17 Agustus 2016


Filed under: freeletics Tagged: Batu Itam, Batu Merah, bayi ajaib, Black Swan, DJPRunners, FREELETICS, freeleticsindonesia, Independence Day Run, indorunners, Indorunnersaceh, Muni Cader, Panjupian, Panjupian itu, Rina Hassim, tapaktuan, WD Mochtar

Dua Warna

$
0
0

Kain kumal berdansa haha hihi 

di langit biru hari ini

sempat jantungan ditumbuk ironi

yang membawa kabur konsentrat pedih 

anak negeri keluar bumi pertiwi

Merdeka mbahmu!

***

Riza Almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

17 Agustus 2016


Filed under: Poem Tagged: Poem, Poetry, Puisi, sajak, Syair

Ratib

$
0
0

 

 

karib hujan bernama dingin

berladang di sekujur tubuhku

yang sedang mencari akal

cara terbaik mencampakkan pejam

ia menadbirkan sekutunya, gerimis

bertandak di luar rumah

berkongsi dengan angin, debur ombak,

minus kodok-kodok kawin

dan kucing-kucing jantan sedang berahi

agar kadar sadar ada yang menunggu selebar zaman

kudongak irisan pasrah merayapi langit

di atas sajak yang panjang

warnanya biru

 

**

 

riza almanfaluthi

dedaunan di ranting cemara

tapaktuan, 25 agustus 2016


Filed under: Poem Tagged: Poem, Poetry, Puisi, sajak, Syair
Viewing all 870 articles
Browse latest View live