Quantcast
Channel: Riza Almanfaluthi
Viewing all 868 articles
Browse latest View live

Cara Indonesia Melejit dari Botswana

$
0
0

Teman-teman tahu Botswana tidak? Negara ini berada di sebelah utara persis Afrika Selatan. Dan dari survei tingkat literasi yang diselenggarakan oleh suatu lembaga pada 2015, Botswana menempati urutan buncit dari 61 negara yang disurvei. Kok cuma 61 negara saja? Ya, karena negara lain tidak tersedia datanya.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia? Dia di atas Botswana persis. Artinya Indonesia hanya nomor 2 dari bawah. Peringkat ke-60.

Banyak faktor yang memengaruhi tingkat literasi suatu bangsa, antara lain budaya membaca, budaya menulis, banyaknya perpustakaan, dan dukungan pemerintah.

Finlandia, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang adalah beberapa negara yang memiliki tingkat literasi tinggi. Banyak buku yang ditulis, orang-orangnya lebih gemar membaca daripada gibah, perpustakaannya juga banyak sekali.

Bagaimana caranya agar Indonesia bisa mengejar ketertinggalannya? Salah satunya dengan membaca dan menulis buku. Pak  Ahmad Dahlan telah menerbitkan buku yang berjudul Membangun Rumah di Bawah Tanah.

Sebelum buku itu terbit Pak Ahmad Dahlan meminta buku itu untuk saya baca dan memberikan komentar atas buku ini. Tentu tak bisa ditolak karena ini merupakan sebuah penghargaan dari Pak Ahmad Dahlan buat saya yang apalah, apalah, apalah ini.

Maka saya memberikan ikatan (baca: catatan) kecil kepadanya:

Semua orang suka mendengar cerita, tetapi tidak semua orang mau diceramahi. Di sinilah Ahmad Dahlan menjadi penutur yang baik sekaligus menjadi manusia apa adanya untuk membangkitkan semangat altruisme pembaca. Buku ini mengajak kita berkaca, sembari menahan tawa, untuk jiwa-jiwa perindu Bahagia.

Itu saja. Dan saya yakin, buku ini menjadi satu batu bata untuk membangun literasi dan tamadun suatu bangsa. Saya menyarankan kepada Anda semua, baca buku ini dan kita dorong tingkat literasi Indonesia naik ke tingkat lebih tinggi lagi. Menyamai Finlandia, kelak.

Asal yakin. Yakin bisa. Bisa insyaallah.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
17 September 2020


Jaga Posnya Masing-masing

$
0
0

Kamis (17/9) siang itu menjadi pembelajaran terbaik buat Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan, Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas), Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Apa soal?

Kami menyelenggarakan rapat dengan Seksi Sinkronisasi Peraturan Perpajakan, Subdirektorat Harmonisasi Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan II, DJP. Ada Pak Bombong Widarto dan tim. Kak Ani Natalia sebagai Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan di waktunya yang padat juga turut hadir dalam rapat ini. Terima kasih banyak, Kak.

Rapat dimulai pada pukul 13.30 dan selesai 17.00 untuk membahas 21 pasal saja. Terbayang bukan kalau pasalnya banyak sekali. Sampai berapa lama rapat itu akan berjalan? Kami memang sedang merancang perubahan peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang tata kelola situs web DJP.

Dari rapat itu akhirnya kami jadi tahu, kami yang menyuguhkan substansinya dan mereka mengemas agar substansinya bisa terbaca dengan mudah tanpa ada multitafsir.

Kami belajar banyak hal tentang legal drafting dan penggunaan kalimat. Ternyata salah satu tip menulis populer yang biasa saya ajarkan dalam banyak pelatihan menulis juga bisa diterapkan dalam penyusunan peraturan perpajakan, yaitu penggunaan kalimat efektif dan aktif. Kalimat aktif memang dapat membuat kalimat menjadi lebih jelas dan bertenaga.

Jadi pada dasarnya tim Pak Bombong ini adalah QA (quality assurance)-nya peraturan DJP. Yang menjaga betul supaya aturan yang dikeluarkan oleh DJP ini berkualitas dan ada standarnya. Dan buat kami tidak masalah kalau memang konsep peraturan kami ini “dibabat” habis kemasannya.

Kita serahkan saja kepada ahlinya ahli. Harus diterima agar bisa menjadi konsep aturan yang baik. Tinggal kita perbaiki dan menyerahkannya kembali. Selesai bukan? Tak mesti harus ditolak dan kemudian bertanya-tanya ini dan itunya.

Saya ingat. Ini sebenarnya konsep yang tinggal disetujui oleh Direktur Jenderal Pajak. Semua direktorat terkait termasuk Bagian Organisasi dan Tata Laksana (Organta) sudah kami minta masukannya (cosign). Di Bagian Organta malah sudah diperbaiki kemasannya. Ketika kami menyodorkannya ke Pak Direktur P2Humas, Pak Hestu Yoga Saksama mengembalikannya kepada kami dengan catatan agar naskah ini dimintakan “cosign” terlebih dahulu kepada Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan Perpajakan dan Penegakan Hukum Pajak Awan Nurmawan Nuh.

Awalnya kami bertanya-tanya mengapa ini harus dimintakan “cosign” lagi yah. Oh iya, kami baru teringat, selama ini kami memang baru mengonsep sebatas Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Tidak lebih dari itu, jadi barangkali SOP membuat Peraturan Direktur Jenderal Pajak berbeda dan QA-nya juga tentu berbeda.

Ternyata catatan dari Pak Yoga ini memang tepat sekali. Membawa konsep aturan ke Subdirektorat Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini sekali lagi membuat aturan kami bisa lebih matang. Isi kepala banyak orang tentunya lebih baik daripada satu kepala.

DJP memang harus begitu. Harus ada yang menjaga untuk banyak soalan. Saya jadi teringat dengan banyaknya penjagaan-penjagaan itu di DJP. Ada yang menjaga soal penggunaan alamat email pajak yaitu Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi. Harusnya kita sebagai pegawai DJP dalam keseharian menggunakan alamat email pajak dalam berkomunikasi melalui surat elektronik. Bukan alamat email lainnya.

Ada lagi soal jenama (branding) organisasi yang dijaga betul oleh timnya Pak Azam, Kepala Seksi Hubungan Internal, Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan. Ke mana-mana kalau ada yang tidak sesuai dengan jenama organisasi, tim Pak Azam ini yang akan mengingatkan.

Ada lagi soal konten video yang dijaga oleh timnya Pak Endang Unandar dari Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan. Media sosial juga ada yang menjaganya agar sesuai dengan pedoman jenama organisasi.

Ada juga standardisasi layanan yang dijaga betul oleh tim dari Subdirektorat Pelayanan Perpajakan dan standardisasi penyuluhan yang dijaga dengan saksama oleh tim dari Subdirektorat Penyuluhan Perpajakan.

Nah, begitu pula dengan konten di situs web pajak.go.id juga harus ada yang menjaganya. Supaya terstandar, berkualitas, dan tidak malu-maluin institusi besar seperti Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, karena keterbatasan SDM editor, maka editor terkadang dengan “tangan besi” mengembalikan konten-konten yang tidak sesuai itu kepada kontributornya. Atau bahkan dihapus. Bukan untuk apa-apa. Itu untuk kebaikan organisasi dan tentunya kontributornya itu sendiri.

Kalau tidak dikembalikan, maka pembelajaran itu tidak akan sampai, kontributor tidak tahu salahnya di mana. Ingatlah pesan ini: “Penolakan itu memang menyakitkan, namun sesungguhnya itu akan menguatkan kita.” Itu sarana agar kita bisa lebih berkualitas lagi.

Kalau situs web milik kita bersama itu tidak dijaga, percayalah akan terjadi konten pemberitaan seperti ini:

” Media Lensa hukum konfirmasi ke XXX saat di minta keterangan menjawab terkait kurangnya penerapan protokol kesehatan di kantor XXX, bahwasanya kita sudah melakukan sesuai ketentuan dan protokol kesehatan,mungkin pegawai itu lagi pas kebetulan lagi di buka maskernya dan nanti ada sangsinya dari kita Dan masalah jarak pekerja di kantor itu tidak ada jarak dan tidak masuk, ” Ucapnya.

Paragraf di atas ada di sebuah laman situs web tertentu yang sedang membahas salah satu kantor pajak kita. Membaca satu paragraf itu saja sudah bikin kita pusing. Enggak enak banget, kan?

Masih banyak lagi yang lainnya yang menjaga DJP dengan tugasnya masing-masing dan tak bisa saya sebutkan satu persatu di sini karena keterbatasan tempat dan akal saya.

Tetapi yang jelas, yuk, kita jagain betul DJP. Di posnya masing-masing untuk kebaikan kita bersama. Terima dengan senang hati setiap masukan yang ada karena itu tanda peduli dan cinta.

***
Riza Almanfaluthi
Catatan Akhir Pekan
19 September 2020
Sambil minum kopi Amerikano seharga goceng saja.

Babe Yadi Si Penjual Kerak Telor Tak Mau Menunggak Listrik

$
0
0

Babe Yadi ini berjualan kerak telor di Kompleks Pertanian Citayam, Ragajaya, Bojonggede, Bogor. Ia baru dua bulan mangkal di sini. Sebelumnya mangkal di Kota, Jakarta, tetapi karena di sana sepi pengunjung akibat pandemi akhirnya ia pindah ke rumah anaknya di Kampung Wates.

Babe Yadi berjualan sekadar menyambung hidup. Sudah dua bulan juga listrik belum dibayar. Ia enggak mau menunggak, tetapi apa daya ia masih tak memiliki kemampuan dalam kondisi begini.

“Sampai jam berapa di sini, Pak?” tanya saya. “Kalau sudah sepi saya pulang. Sekuatnya saya,” kata orang tua berumur 64 tahun ini. 

Babe Yadi juga sudah tak kuat memikul bakulnya itu. Kebetulan si pemilik rumah yang halamannya dipakai berjualan itu bersedia dititipin bakul. Pak Yadi tinggal bawa bahan dan bumbu kerak telor dari rumah anaknya dan mulai berjualan pada pukul 16.00.

Bakulnya tak mencolok sebagai bakul penjual kerak telor. Saya sampai harus balik lagi untuk memastikan Pak Yadi ini berjualan kerak telor.

Babe Yadi adalah satu dari sekian juta masyarakat Indonesia terdampak pandemi. Harapan Babe Yadi sederhana saja, pandemi ini segera cepat berlalu agar ia bisa berjualan lagi di Kota.

Anggun Abrina (teman saya yang tinggal di komplek itu) beli napa…deket inih. 100 meter bae.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
24 September 2020

Mengelola Jejaring Sosial Menjaga Organisasi

$
0
0

Sebelum Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mewabah, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan panduan berjejaring sosial terbaru pada akhir 2019. Ini bukan soal panduan bijak bermedia sosial karena itu sudah lama dikeluarkan oleh institusi ini sebagai bentuk kehati-hatian menjaga jari 45 ribu lebih pegawainya.

Panduan ini berupa panduan mengelola jejaring sosial yang dikeluarkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-701/PJ.09/2019 tentang Pengelolaan Jejaring Sosial Direktorat Jenderal Pajak dalam Rangka Edukasi dan Kehumasan.

Seperti kita ketahui, penetrasi media sosial di Indonesia begitu dahsyatnya. Dari data We Are Social terdapat 175,4 juta pengguna internet di Indonesia pada Januari 2020. Ini berarti 64% dari penduduk Indonesia telah mendapatkan akses ke dunia maya. Yang lebih menarik lagi adalah terdapat 160 juta pengguna aktif media sosial dan tentunya jauh sekali dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang telah melaporkan pajaknya. Pada akhir Juli 2020 saja hanya sebesar 10,49 juta wajib pajak.

Ini berarti tantangan yang sangat besar dan peluang terbuka untuk mengedukasi publik secara massal, murah, dan tak terikat waktu, selama 24 jam dan 7 hari melalui jejaring sosial sebagai bagian dari media sosial.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang membuat pelayanan tatap muka kepada wajib pajak ditutup sebagian untuk sementara sehingga jejaring sosial menjadi kanal penyebaran informasi paling mangkus dan sangkil karena ke sanalah masyarakat mencari informasi layanan.

Oleh karena itu, mengelola jejaring sosial pun membutuhkan keseriusan dan perhatian lebih. Tidak bisa hanya ala kadarnya dan paruh waktu.

DJP resmi memiliki jejaring sosial berupa Twitter, Youtube, dan Facebook pada 2013. Sejak 2015, DJP mulai lebih serius menata jejaring sosialnya dengan melibatkan instansi vertikal sebagai pendengung, merambah Instagram, serta terpenting adalah learning by doing. Seiring dengan berjalannya waktu pengalaman semakin bertambah untuk menangani setiap permasalahan yang timbul.

Namun, sampai saat itu belum ada aturan mengenai pengelolaan jejaring sosial terkait jenis jejaring sosial apa saja yang mesti dimiliki oleh unit-unit vertikal, konten apa saja yang boleh atau tidak boleh diunggah, keseragaman nama akun, siapa yang bertanggung jawab apa, dan lainnya. Akibatnya adalah ketidakseragaman nama akun dan konten yang masing-masing unit vertikal bebas mengunggah konten apa saja. Tentu ini membuat wajib pajak bingung dan rawan terjadinya krisis reputasi.

Sampai akhirnya timbul kesadaran bahwa panduan dalam mengelola jejaring sosial itu penting adanya dan Direktur Jenderal Pajak waktu itu Robert Pakpahan pada Agustus 2019 memerintahkan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat agar segera membuat panduannya. Sampai akhirnya pada pertengahan Desember 2019 beleid itu selesai dibuat dan mulai berlaku.

 

Tidak Ada Kata Terlambat

Adanya panduan pengelolaan jejaring sosial menjadi penting dan bisa diterapkan pada institusi pemerintah di luar DJP karena beberapa hal.

Panduan ini akan menjadi referensi utama buat organisasi dalam mengelola jejaring sosial. Setiap unit tidak perlu membuatnya dari awal, tinggal mengadopsi, dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi organisasi masing-masing. Sejalan dengan apa yang dikatakan Bacharuddin Jusuf Habibie, “Starting at the the end and finishing at the beginning.”

Selanjutnya panduan ini akan menjaga organisasi dan pelaksananya dari kemungkinan kesalahan unggah dan lain-lainnya karena konten secara berjenjang diverifikasi. Jejaring sosial organisasi bukan milik admin dan tim pengelola semata, melainkan milik institusi dengan kepala unit vertikal ikut bertanggung jawab dalam pengelolaannya.

Kepala unit vertikal tidak bisa diam saja atau tidak peduli karena jejaring sosial adalah wajah institusi. Kepala unit vertikal turut bertanggung jawab memanajemeni jejaring sosial sekaligus mengupayakan ketersediaan sumber daya manusia ataupun material menuju tercapainya tujuan pengelolaan jejaring sosial.

Di lingkungan DJP, jejaring sosial digunakan untuk menjaga muruah dan persepsi DJP yang baik di mata publik, meningkatkan pengetahuan perpajakan, serta mengubah perilaku masyarakat wajib pajak agar semakin paham, sadar, dan peduli dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Panduan ini juga sebagai bahan literasi untuk instansi pemerintah lain yang dapat disebarkan melalui buku cetak, buku elektronik, atau unduhan di situs web institusi masing-masing. Sepengetahuan penulis belum ada atau tidak banyak instansi pemerintah yang mendetailkan tugas pokok dan fungsi pengelolaan jejaring sosialnya ke dalam sebuah aturan.

Senada dengan Hariqo Wibawa Satria (2019) dalam bukunya berjudul Seni Mengelola Tim Media Sosial, 200 Tips Ampuh Meningkatkan Performa Organisasi di Internet dengan Anggaran Terbatas yang menulis, “…di banyak organisasi yang mengundang saya sebagai pemateri terkait media sosial, penekanannya lebih banyak pada individu. Maksudnya bagaimana bermedia sosial dengan bijak, tidak memproduksi hoaks, dan seterusnya. Jarang sekali penekanannya pada pembentukan tim media sosial.”

Panduan ini pun menegaskan jejaring sosial sebagai kanal untuk mengangkat konten kehumasan unit vertikal. Di dalam aturan internal pengelolaan situs web, DJP menghendaki hanya ada satu situs web sebagai saluran informasi kepada wajib pajak yaitu http://www.pajak.go.id. Unit vertikal di bawah tidak diperkenankan untuk membuat situs web karena rawan adanya informasi yang berbeda-beda untuk wajib pajak. Dengan adanya jejaring sosial itu, unit vertikal diperkenankan untuk mengembangkan konten kehumasannya yang tentunya juga harus sesuai dengan pedoman jenama (branding) DJP.

Terakhir, panduan ini merupakan implementasi kesehatan organisasi agar fungsi koordinasi dan kendali lebih terjaga. Aturan ini memberikan batasan yang jelas siapa harus melakukan apa, menjelaskan secara detail lingkup pekerjaan dan tugas masing-masing anggota tim sehingga tidak tumpang tindih, dan konten-konten apa saja yang boleh dan tidak boleh diunggah.

Ini semua memerlukan koordinasi dan sinergi yang baik antara kantor pusat dan unit vertikal. Dengan sebuah kesadaran bahwa satu sama lain saling membutuhkan dan bukan saling meniadakan. Kita ingin membuktikan sinergi dan koordinasi tidak menjadi barang mahal di negeri ini.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai mengelola jejaring sosial organisasi dengan benar asal ada niat, kesungguhan, dan senantiasa belajar dari kesalahan untuk perbaikan di masa depan.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
26 September 2020
Gambar dari previews.123rf.com

Pelayanan Cepat Kantor Imigrasi Jakarta Selatan

$
0
0

Genghis Khan dan penerusnya dari bangsa Mongol yang nomaden ketika menaklukkan Tiongkok dan mengatur administrasi pemerintahan yang wilayahnya sangat luas tetap menggunakan mesin birokrasi kekaisaran sebelumnya yang didominasi cendekiawan Konfusianisme dan berasal dari suku Han, sebagai suku asli Tiongkok.

Kucing kampung warna abu-abu itu tidur di atas keset panjang merah persis di depan pintu keluar layanan Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Ia terlelap walaupun kaki para tamu lalu lalang dan melangkahi tubuhnya.

Melihatnya, saya mengambil karnivora betina itu dengan hati-hati dan memindahkannya. Saya meletakkan tubuh si kucing tetap di keset merah, tetapi tidak di depan pintu persis. Ia bangun sebentar dan melanjutkan tidurnya yang asyik.

Memang ada urusan apa saya di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan ini?

Jadi begini. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi menyelenggarakan program Easy Passport untuk pegawai Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memperingati Hari Pajak yang jatuh pada 14 Juli 2020 lalu. Dengan program ini pegawai Direktorat Jenderal Pajak tak perlu datang ke kantor imigrasi. Kantor imigrasi yang menjemput bola dalam pembuatan paspor.

Saya dan keluarga ikut. Saya pernah menuliskan sedikit tentang acara pembuatan paspor untuk pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu dengan judul DJP Bukan Google di sini. Nah, beberapa hari kemudian paspor itu jadi. Namun, ada sedikit masalah pada paspor anak kedua saya. Nama anak saya tidak tercetak lengkap. Seharusnya Muhammad Yahya Ayyasy Alman Faluthi, tercetak di paspor hanya Muhammad Yahya Ayyasy Alman.

Pada saat wawancara oleh petugas imigrasi, nama anak saya yang panjang itu nantinya tidak semuanya bisa ditulis di halaman utama, sisanya akan ditaruh di lembaran berikutnya. Kami mengiyakan. Ternyata setelah paspor itu jadi, sisa nama itu tidak ada di lembaran manapun di paspor.

Saya harus mengurusnya segera karena itu penting dan akan menjadi dasar dalam penulisan dokumen lainnya. Namun saya harus bertanya kepada dan menghubungi siapa? Kebetulan juga kalau Kantor Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat pernah mendapat kunjungan silaturahmi dari Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi.

Saya langsung menghubungi Mbak Nia, salah satu pegawai Direktorat Jenderal Imigrasi yang ikut dalam kunjungan tersebut. Saya memberitahukan persoalan ini kepada Mbak Nia.

Darinya saya mendapatkan informasi kalau saya cukup datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Selatan dan menyampaikan ke bagian informasi tentang permasalahan itu. Untuk persyaratannya saya harus membawa dokumen anak saya berupa e-KTP, Kartu Keluarga, akta lahir, dan paspor. Saya tidak perlu booking nomor antrean layanan dan tinggal bilang kepada petugas informasi kalau saya pernah ikut program easy passport di kantor pajak.

Pada Rabu (30/9) kemarin itu saya bersama Ayyasy datang ke Kantor Imigrasi Jakarta Selatan di Jalan Warung Buncit Raya.  Saya baru pertama kali datang ke sana. Situasi ramai, tetapi tidak padat. Satpam dan petugas parkir bahu membahu mengatur kendaraan yang masuk ke halaman kantor yang tidak seberapa luas.

Setelah memarkirkan motor kami masuk ke kantor imigrasi. Satpam mengecek suhu kami berdua. Masih di bawah suhu kritis, kami diperbolehkan ke dalam. Di sebelah kiri ada loket pelayanan dan di ujung ada meja informasi. Secara sebarang, saya menghampiri petugas imigrasi yang memakai seragam warna biru dan sedang berdiri di dekat loket. Di dada sebelah kanannya ada badge bertuliskan Arif.

Pak Arif menanyakan urusan saya dengan sopan.  Saya mengutarakan permasalahan terkait paspor ini. Pak Arif kemudian mengajak kami ke ruangan dalam. Ia menyerahkan dua kartu pengunjung kepada kami untuk ditempelkan ke pintu masuk ruangan kantor. Kami kemudian naik ke lantai 4.

Di sana, Pak Arif mempersilakan kami menunggu di bangku tamu yang sudah disediakan. Ruang tunggunya luas dan nyaman. Hanya sedikit orang yang duduk di sana. Kurang lebih 10 menit kemudian, Pak Arif menghampiri kami sambil menyerahkan buku paspor yang halaman empatnya sudah ada tulisan nama lengkap Muhammad Yahya Ayyasy Alman Faluthi.

Wah cepat sekali. Saya tidak menyangka karena kami pikir akan susah dan lama. Oleh karena itu, kami sudah menyiapkan waktu sampai siang hari untuk urusan ini. Bahkan kami tidak diminta berkas-berkas yang sudah kami bawa. Kami hanya menyerahkan paspor asli dan tinggal duduk saja. Mereka cukup mengandalkan data-data dan dokumen digital kami yang sudah terekam dalam sistem informasi mereka. Luar biasa. Gratis lagi.

Kalau saya simpulkan dari pengalaman ini, maka penilaian atas layanan Kantor Imigrasi Jakarta Selatan untuk pengoreksian atau penambahan data paspor adalah:

  • Tanggap
  • Ramah
  • Tidak berbelit-belit
  • Tanpa banyak meja
  • Cepat
  • Nirkertas
  • Gratis

Sebagai sesama Aparatur Sipil Negara (ASN) saya terus terang saja terinspirasi dengan pelayanan itu. Minimal, kalau ada wajib pajak butuh sesuatu maka saya harus melayani dengan baik agar mereka tidak merasa sia-sia dengan pajak yang mereka bayarkan. Saya dan Pak Arif sama-sama ASN, sama-sama menjadi abdi masyarakat.

Saya jadi teringat dengan buku yang belum terlalu lama diterbitkan, sekitar tahun 2017. Buku berjudul Etika Birokrat ini ditulis oleh Profesor Andi Rasyid Pananrangi dan Dr. Murlinah. Saya kutip secara lengkap:

“Salah satu agenda utama dan pertama yang harus dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya, adalah perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan.”

“Paradigma perilaku birokrasi harus diubah dari yang lebih condong sebagai abdi negara ketimbang abdi masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan sebagai abdi masyarakat ketimbang abdi negara.”

“Pada hakekatnya, jika aparatur birokrasi sudah melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi masyarakat maupun sebagai abdi negara.”

“Dengan perilaku aparatur birokrasi yang berorientasi pada kepuasan masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat kepada birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian maka keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya dukungan legalitas formal, tetapi keberadaannya didukung dan dibutuhkan oleh masyarakat.”

Berkaca kepada sejarah, Genghis Khan dan penerusnya dari bangsa Mongol yang nomaden ketika menaklukkan Tiongkok dan mengatur administrasi pemerintahan yang wilayahnya sangat luas tetap menggunakan mesin birokrasi kekaisaran sebelumnya yang didominasi cendekiawan Konfusianisme dan berasal dari suku Han, sebagai suku asli Tiongkok. Mesin birokrat yang efektif dan efisien menjadi sangat dibutuhkan oleh siapapun pemerintahannya. Sebaliknya, menjadi pemicu kejatuhan rezim dan dinasti.

Apa pun itu saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Arif dan Kantor Imigrasi Jakarta Selatan atas layanan terbaiknya. Saya yakin pelayanan prima yang Pak Arif berikan itu karena budaya pelayanan yang sudah terbentuk di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan.

**

Usai semua itu, Pak Arif mengantarkan kami sampai ke bawah dan pintu keluar. Di sana, saya menjumpai kucing yang terlelap dan tak peduli langkah kaki orang-orang.

Kucing memang predator yang menyimpan energi dengan cara tidur lebih banyak daripada binatang lain. Namun, ASN bukan penidur dan predator. Ia tetap manusia, sekaligus menjadi budaknya masyarakat.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
1 Oktober 2020
Foto dari laman situs web jakartaselatan.imigrasi.go.id

[Podcast] Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Marketplace Lokal

$
0
0

Sejak 1 Juli 2020 aturan PPN atas produk digital yang dijual oleh penjual dari luar negeri mulai diberlakukan. Jadi konsumen dari dalam negeri yang membeli produk digital dari luar negeri itu akan dipungut PPN oleh penjual dari luar negeri itu. Sampai 4 Oktober 2020 ini baru 28 pedagang produk digital yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE.

Lalu bagaimana jika penjual produk digital itu juga menjual produknya di platform e-commerce atau marketplace yang ada di dalam negeri? Siapa yang akan memungut PPN-nya apakah penjual dari luar negeri itu atau marketplace dalam negeri?

Siniar (podcast) yang diproduksi oleh Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak ini akan mengulas hal tersebut. Silakan menikmatinya dalam tautan di atas.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan diranting cemara
4 Oktober 2020

Resensi Buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini: Untuk Para Pejuang

$
0
0

Ketika kamu dihina oleh lingkunganmu padahal kamu sudah melakukan yang terbaik dari dirimu. Ketika Tuhan belum mengizinkanmu dan pasangan memiliki keturunan padahal sudah ratusan usaha sudah kamu lakukan. Ketika kamu terjebak dalam suatu tradisi yang menciderai logikamu. Apa yang akan kamu lakukan?

Sebagian terfokus hanya pada permasalahannya saja dan menganggap dirinya lah yang paling sedih sedunia. Sebagian butuh didengarkan saja. Sebagian butuh diberikan solusi. Namun, tidak semua suka menceritakan permasalahannya dan tidak semua ingin dihakimi.

Melalui buku ini, Riza Almanfaluthi berhasil membuka kacamata pembaca. Ia tidak berusaha menggurui, menasihati, dan menghakimi. Ia menggunakan analogi dari berbagai kisah yang ia dapatkan dari buku yang ia baca, kisah yang ia dengar, maupun peristiwa yang ia rasakan agar pembaca merasa terhubung.

Setali tiga uang dengan buku Chicken Soup for the Soul, buku ini berisi tentang kumpulan kisah-kisah inspiratif. Perbedaannya kisah-kisah yang digunakan lebih kaya, berasal dari lintas abad, negara, waktu, dan budaya yang dikemas dengan bahasa mengalir.

Pria yang sehari-hari juga bekerja sebagai Kepala Seksi Pengelolaan Situs ini memberikan sudut pandang lain terhadap permasalahan yang umum ditemui. Ia membagi buku keduanya ini ke dalam tiga bagian yang saling berkaitan: spirit, kulasentana, dan nuraga.

Bagian pertama bercerita tentang motivasi pengembangan diri. Salah satu dalam bagian ini adalah cerita Mel yang berhasil menjadi pemenang pertama dalam Lomba Penulisan Perpajakan Tahun 2012 oleh Direktorat Jenderal Pajak. Cerdiknya, penulis menganalogikan reformasi DJP, khususnya para pegawai DJP dengan kisah kereta dan Mel-nya.

Lima sampai enam bungus rokok itu diikatkan di patahan ranting pohon. Ketika sebatas pandangan bentuk kereta itu mulai muncul dari kejauhan, mereka segera melambai-lambaikan rantingnya. Gaibnya masinis sudah tahu apa maksud mereka. Kereta itu berhenti, lalu koordinator menyerahkan ranting berbalut bungkus rokok kepada masinis. Dan masinis memberikan kesempatan mereka untuk naik. Dahsyat, kereta baja itu bisa berhenti hanya dengan sebuah ranting. Benar, pada akhirnya mereka pun bisa mendapatkan omzet berlipat-lipat. Itulah Mel. (halaman 47)

Mudahnya, mel adalah bahasa lain dari suap. Ini adalah salah satu kekuatan dari buku ini. Pilihan kosakata yang digunakan penulis amat beragam membuat pembaca dapat meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia-nya. Begitu juga dengan diksi kulasentana dan nuraga yang jarang sekali digunakan.

Kulansentana bercerita tentang kisah-kisah yang dialami oleh sebuah keluarga: belum diberikan keturunan, menghadapi anak yang dianggap ‘nakal’ dan pasangan yang tidak mau mengerti, bahkan tentang manajemen Air Susu Ibu Perah (ASIP). Bagian ini membuat pembaca yang mengalami permasalahan tersebut, merasa tidak sendiri.

Demi si buah hati, mahasiswa Master of Food Sciences and Technology ini juga rela membawa ASIP dari Bangkok pukul sembilan malam, lalu transit dan begadang semalaman di Bandara Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA 2) malam tahun baru 2015. Indy harus terbang ke Solo besok paginya dengan membawa ASIP seberat 20 kilogram. (halaman 114).

Penulis tak ragu menuliskan kisah Indy dan Risa, para pejuang ASI, yang rela melakukan pengorbanan meski harus menempuh ratusan kilometer untuk memperjuangkan tanda cinta mereka. Kisah per ASI-an ini adalah kisah yang sering menjadi dilemma bagi para ibu yang harus terhalang jarak dengan buah hati-nya.

Penulis juga menulis secara detil cara mereka membawa ASI perah itu dengan aman. Kisah ini tidak hanya memberikan motivasi tetapi juga ilmu kepada para ibu menyusui. Ia ingin memberi pesan bahwa jarak bukan menjadi halangan untuk memberikan asupan terbaik untuk buah hati tercinta.

Kemudian, kisah manusia yang hidup berdampingan dengan masyarakat lain diceritakan dalam bagian ketiga nuraga (simpati). Dikatakan bahwa seorang perempuan bertanya kepada Hatim. Ketika bertanya tiba-tiba perempuan itu mengeluarkan angin. Merahlah mukanya karena malu. Hatim berkata kepadanya, “Hai, coba kamu keraskan suaramu agar dapat kudengar!” Perempuan itu bergembira sebab ia mengira bahwa Hatim itu tuli. Maka setelah peristiwa itu Hatim dikenal dengan Hatim Alasham (si tuli). Halaman 162

Penulis mengatakan bahwa kisah Hatim Alasham diambil dari Kisah Para Salik yang ditulis oleh Ii Ruhimta. Tidak hanya itu, kisah David & Golliath dari Malcolm Gladwell, kisah Manjhi dari Film The Mountain Man,  kisah Dr. Harry dalam buku Suppressed Inventions & Other Discoveries, kisah Sophie dari buku Supernanny, kisah Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah, kisah Amangkurat II dari Kerajaan Mataram adalah sekelumit kisah yang penulis sadur untuk menuntun pembaca menyerap pelajaran penting dalam kisah-kisah itu.

Buku ini layak untuk dibaca dan menjadi bahan kotemplasi diri. Cara penulis menanalogikan setiap permasalahan dan kisah dengan cerdasnya dapat dengan mudah membuka pikiran menjadi seluas samudera. Selamat membaca!

Identitas Buku
Judul buku: Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini
Pengarang: Riza Almanfaluthi
Jenis Buku: Non Fiksi
Kategori: Pengembangan Diri
Penerbit: Maghza Pustaka
Tahun terbit: Februari 2020,
Cetakan: Keempat, Maret 2020
Dimensi buku: 14 cm x  30,5 cm
Jumlah hal: 203 halaman
Harga buku: Rp 65.000,00

***
Tulisan di atas ditulis oleh Netadea Aprina dan disunting oleh Dwi Ratih Mutiarasari dan dimuat dalam rubrik resensi dalam majalah internal elektronik Direktorat Jenderal Pajak INTAX Edisi II Tahun 2020
Buku dapat dipesan di sini

Bedah Buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini: Dakwah Milenial, Dakwah Literasi

$
0
0

Menjelang penerbitan buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini cetakan yang keenam, saya diundang untuk menjadi pembicara dalam sebuah acara bedah buku tersebut yang diselenggarakan oleh DKM Shalahuddin, Kompleks Kantor Pajak Kalibata, Jakarta Selatan (Selasa, 29/10).

Sebagai pembedah buku dalam acara yang bertajuk Dakwah Milenial, Dakwah Literasi adalah Ustaz M. Irfan Abdul Aziz. Ustaz muda ini merupakan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena dan lulusan Universitas Islamabad, Pakistan.

Umurnya masih muda sekali, selisih 12 tahun dengan saya, namun memiliki keluasan ilmu yang luar biasa. Pengalamannya dalam mendidik umat dan berliterasi terpampang dalam pamflet yang disebar pengurus masjid sebelum acara bedah buku ini terlaksana.

Sebagai host yang memandu acara ini adalah Moch. Syaichudin, pegawai Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Lima.

Kutipan yang menurut saya ciamik dari Ustaz Irfan adalah, “Bersafarlah agar ilmu menjadi bermakna, menulislah agar ilmu menjadi tertata.”

Betul sekali. Ini yang saya rasakan ketika menjadi pegawai yang ditugaskan di Tapaktuan, Aceh selatan dalam kurun 2013-2017 dan menuangkan ilmu dan pengalaman saya dengan menulis.

Semoga acara ini memiliki manfaat buat semuanya. Oh ya, buat yang belum memiliki buku ini, teman-teman bisa memesannya pada tautan berikut: https://linktr.ee/rizaalmanfaluthi.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
4 Oktober 2020


Rezeki Itu Bisa Datang dari Mana Saja

$
0
0

Setiap pagi, ketika melewati kemacetan di daerah Rawa Bambu, Pasar Minggu karena adanya pembangunan jalan layang yang belum selesai saya selalu mengambil jalur paling kiri dekat trotoar.

Bukan tiada maksud. Ini karena saya akan melewati ritual pagi yang selalu ada di depan warung padang Duta Salero: bakar ayam.  Asapnya mengepul ke mana-mana, menyelusup masuk ke dalam helm dan lubang penciuman saya. Harum nian. Selalu saya hirup meningkahi bau asap knalpot yang mengiringi. Rezeki.

Seperti pagi hari ini, saya masih melakukan hal yang sama seperti hari-hari kemarin, menghirup asap pembakaran ayam itu sambil kepala dipenuhi sejumput pertanyaan. Apa yang membuat harum? Apakah bumbunya itu atau batok kelapa yang dipakai sebagai arang pembakaran?

Dan siang hari ini saya memberikan buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini kepada Doktor Heru Narwanta, di Lantai 20 Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta (Rabu, 07/10/2020).

Beberapa hari sebelumnya, saat saya bertemu dengannya di Masjid Salahuddin Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Pak Heru bertanya di mana ia bisa membeli buku saya itu. Duh, saya lupa melulu untuk menyisihkan buku itu buat Doktor Ilmu Ekonomi lulusan Universitas Gadjah Mada pada 2012 ini.

Akhirnya saya berkesempatan membawa buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini dari rumah dan memberikannya kepada Pak Heru di ruang kerjanya. Kami saling bertukar buku. Ia menyerahkan buku yang ditulisnya pada 2012 berjudul Berpikir Layaknya Ekonomi, Buku Bacaan Masyarakat Umum, Berkawan dengan Konsep-konsep Ekonomi untuk Hidup yang Lebih Baik.

Bentuk dan warna bukunya mirip dengan buku saya. Warna putih mendominasi sampul buku dengan warna merah di tengah yang ada pada sebuah gelas sebagai ilustrasi. Kertas buku juga memakai bookpaper.

Saya tidak lama di ruangannya karena takut mengganggu kesibukannya. Kami sempat berfoto bersama. “Baca buku ini dan kasih komentar yah,” kata Pak Heru. Sebuah pesan dan amanat yang sampai kepada saya.

Tentunya saya belum bisa memberikan pendapat apapun tentang buku ini. Endorsemen di sampul depan dari Difansa Rahmani, pembaca kolom estateconomics majalah HousingEstate setidaknya memberikan jaminan saya tak akan mengerutkan kening saat membaca buku Pak Heru, “…sangat menarik, …isinya ringan namun tetap berbobot.”

Terima kasih banyak Pak Heru. Sudah benar sekali, silaturahmi itu memperpanjang umur dan menambah rezeki. Buku Pak Heru menjadi rezeki yang berlanjut sejak pagi tadi dan saya terima siang ini. Berharga sekali.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Untuk pemesanan buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini Cetakan Keenam silakan mengeklik tautan berikut di sini.

Cerita Rahayu Beranak Diiringi Murattal

$
0
0
Rahayu beberapa hari sebelum beranak.

Semalam Rahayu melahirkan tiga anak. Proses persalinannya di dalam kandang diiringi dengan murattal (bacaaan Al-Qur’an) syahdu.

Beberapa hari sebelumnya, anak sulung saya Maulvi, yang paling bertanggung jawab tentang keberadaan Rahayu di rumah ini, sudah menyiapkan segalanya. Dari mulai membeli alas khusus, membersihkan kandang, sampai menaruh kandang di tempat tertentu.

Kemarin, Rahayu mondar-mandir cari tempat idaman terbaiknya. Lemari, kolong dapur, kolong kasur dijabanin Rahayu. Ayyasy—anak kedua saya—sudah waspada melihat tingkah Rahayu seperti itu.

Tepat pada petang kemarin itu, Maulvi sudah mengandangkan Rahayu. Maulvi menyelimuti kandang Rahayu dengan handuk agar kondisinya gelap dan Rahayu tidak merasa terancam oleh siapapun.

Rahayu mengeong-ngeong terus. “Itu karena dia tidak mau dikandangin atau karena sedang kesakitan melahirkan?” tanya saya kepada Maulvi.

Enggak tahu ide dari mana, Maulvi langsung mengambil pengeras suara yang tersambung dengan laptop melalui bluetooth dan menyetel murattal mengiringi persalinan Rahayu.

Beno, saudaranya Rahayu, melihat derita Rahayu langsung naik ke atas kandang besi itu. Nongkrongin proses persalinan.

Enggak tahu juga apakah ada pengaruh dari murattal atau tidak, tak berlangsung lama Rahayu kemudian memperanakkan tiga makhluk kecil berloreng. Dua berwarna kelabu yang pertama muncul dan terakhir berwarna oranye.

Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Peternakan IPB Ais Puspa Bhuwana dan tersaji dalam skripsi berjudul “Pengaruh Mendengarkan Murottal Terhadap Respon Fisiologis dan Lama Istirahat Sapi Peranakan Friensian Holstein di Bogor” bisa jadi rujukan.

Mengutip dari Republika, “Murottal didengarkan pada sapi perah menggunakan pengeras suara di dalam kandang. Terbukti dengan total lama istirahat sapi peranakan FH sebelum diperdengarkan murottal selama 15 hari yang dihitung mulai pukul 12.00 sampai 15.30 WIB adalah 1.524 menit dan saat diperdengarkan murottal lama istirahat meningkat menjadi 2.158 menit. “Hal ini mengindikasikan sapi perah lebih nyaman dan rileks setelah diberikan murottal,” kata Yani.”

Ahmad Yani adalah pembimbing skripsi Ais. Ujungnya adalah penelitian ini ingin membuktikan bahwa mendengarkan murattal pada sapi perah menurunkan tingkat stres pada sapi, jika stres hilang maka waktu istirahat meningkat, dan tentunya berimplikasi pada meningkatnya produksi susu.

Kembali kepada Rahayu. Kurang lebih pada pukul 21.00 saya melihat Rahayu menjilat-jilat si oranye kecil sedangkan dua kelabu sudah berhasil menyusu tanpa perlu diajari oleh Rahayu. Insting mereka langsung jalan saat dilahirkan ke dunia yang kejam ini.

Daging ari-ari berwarna merah tergeletak dekat kaki Rahayu yang tak saya temukan lagi pada keesokan harinya. Rahayu sudah memakan daging ari-ari itu.

Ketika kandang dibuka, si Beno langsung masuk dan bergabung dengan keluarga kecilnya . Beno mengendus-endus tiga makhluk kecil itu. Rahayu keluar dan langsung mencari makan karena semalaman ia di kandang terus.

Saya bilang kepada Maulvi, “Urus dengan benar loh ya.”

Saya jadi teringat dengan sebuah hadis ketika di suatu kesempatan para sahabat Nabi Muhammad saw bertanya kepada Nabi dengan pertanyaan seperti ini, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala (apabila berbuat baik) pada binatang?” Rasulullah saw menjawab, “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada pahala.” (HR. Albukhari dan Muslim).

Kabar Rahayu melahirkan ini belum kami sampaikan kepada Kinan. Kinanlah yang memberi nama kucing ini dengan nama Rahayu. Dalam bahasa Jawa, Rahayu berarti selamat. Kinan semalam menelepon delapan kali dari pesantren, namun kami tak mengetahuinya. Kami sudah lelap.

Saya memiliki asa. Memiliki kasih sayang kepada para satoan ini karena mereka (anak-anak) telah memiliki kasih sayang yang banyak kepada manusia. Tidak boleh lenyap. Karena Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi manusia.

Rahayu beserta 3 anaknya.
Tiga anak kocheng.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
8 Oktober 2020

Butuh 3 atau 4 Orang Saja untuk Mengenal Sashenka di Moskow dan Amahle di Abidjan

$
0
0

Dunia itu sempit. Kita bisa menghubungi siapa pun orang yang tidak kita kenal di dunia ini hanya dengan melalui enam orang saja.

Saya dan Mas Bagas Satria mewakili Tim Subdirektorat Hubungan Masyarakat Perpajakan bersilaturahmi dengan teman-teman di Direktorat Peraturan Perpajakan II di lantai 11 Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta (Kamis, 15 Oktober 2020).

Kami ditugaskan mengisi pelatihan griyaan (in house training) yang dikemas dalam bentuk gelar wicara (talk show) dan disiarkan melalui aplikasi zoom virtual meeting. Soalnya banyak teman-teman di Direktorat Peraturan Perpajakan II yang bekerja dari rumah (work from home).

Tema yang kita suguhkan adalah soal bijak bermedia sosial terutama sekali penerapan Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor SE-16/MK.01/2018 tentang Panduan Aktivitas dan Penggunaan Media Sosial bagi Pegawai Kementerian Keuangan.

Selain ada sedikit materi yang kami sampaikan, kami juga menyajikan pengalaman-pengalaman ketika menangani pengaduan dari warganet terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak melalui media sosial. Terutama soal doxing.

Kita semua sebagai pengguna media sosial memiliki peluang untuk di-doxing.  Doxing ini adalah aktivitas atau praktik yang menyebarluaskan informasi pribadi kita ke ranah publik. Informasi ini berupa informasi-informasi yang bahkan sangat privat sekalipun, mulai kartu tanda penduduk, kartu keluarga, Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, alamat rumah, tempat bekerja, nomor rekening, dan lain sebagainya.

Doxing seringkali melanggar privasi serta digunakan untuk menjelek-jelekkan dan mengintimidasi kita. Praktik ini bisa melanggar pasal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tepatnya pada pasal pelarangan menyebarluaskan informasi seseorang tanpa persetujuan orang bersangkutan.

Alhamdulillah acara yang dikawal oleh Mas Dede Zakaria sebagai pembaca acara (host) ini berjalan dengan interaktif dan lancar. Tentunya kami berharap materi dan pengalaman yang kami bagi itu bermanfaat buat teman-teman Direktorat Perpajakan II terutama sekali ketika berselancar di dunia maya khususnya media sosial. Harus benar-benar cerdas dan bijak. Kuncinya dengan think before click dan jangan bermedia sosial ketika marah.

Yang tak dinyana, ternyata pengampu acara adalah Kepala Subbagian Tata Usaha yang baru: Bu Sri Marjati.  Ia baru dua minggu di sana. Bu Sri bersama saya pernah bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA )Tiga. Kalau Bu Sri Marjati bertugas dari tahun 1997 sampai 1999, saya dari tahun 1997 sampai 2006. Makanya ketika melihat beliau—walaupun memakai masker—wajahnya tetap familiar di ingatan saya.

Akhirnya sebelum kami berpisah, kami mengenang keberadaan kami di KPP PMA Tiga. Mengumpulkan kembali ingatan yang terserak di benak tentang orang-orang yang kami kenal dulu dan banyak dari mereka yang kami sama-sama tahu. Memang dunia itu sempit.

Bicara tentang dunia sempit maka kita bisa mengilas balik dengan studi yang pernah dilakukan oleh psikolog Stanley Milgram pada 1967 ataupun studi kiwari Dodds, Muhammad, Watts pada 2001. Mereka menunjukkan bahwa kita semua terhubung dengan jarak yang relatif dekat dengan siapa pun orang di dunia.

Eriyanto yang mengutip studi mereka di buku Analisis Jaringan Komunikasi (2014) menulis, “Ada jaringan besar yang menghubungkan antara satu orang dengan orang lain di dunia. Ekstremnya, Anda bisa menghubungi siapa pun orang yang tidak Anda kenal di dunia ini dalam hanya enam langkah.”

Kita bisa menghubungi siapa pun orang di dunia ini melalui enam orang saja. Saya tidak mengenal Z, misal, tetapi saya mengenal A, A mengenal B, B mengenal C, C mengenal D, D mengenal E, E mengenal F, F-lah yang mengenal Z. Begitu mekanismenya.

Bahasan dunia itu sempit juga bisa dibaca pada bukunya Malcolm Gladwell berjudul Tipping Point, Bagaimana Hal-Hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar. Malcolm menulis ulang penelitian Stanley Milgram di sana.

Dunia itu sempit. Apalagi DJP, tentu sempit sekali. Kita bisa bereksperimen kecil-kecilan dengan mengirim pesan kepada orang yang tidak kenal di DJP seperti eksperimen Stanley Milgram. Saya pikir hanya akan membutuhkan enam orang untuk itu, bahkan bisa kurang. Apalagi kalau ada Bu Sri Marjati yang lingkaran pertemanannya lebih luas daripada saya.

Dan, jangan lupa dengan media sosial saat ini yang membuat studi Stanley Milgram menjadi tidak ada apa-apanya. Milgram menggunakan 296 orang sebagai populasi penelitiannya.

Facebook dengan big data, algoritma, dan kecerdasan artifisial yang dimilikinya (dengan 1,59 miliar pengguna aktif di Facebook pada awal 2016) menghitung tingkat keterpisahan rata-rata tidak lagi 6 orang, tetapi menjadi 3,57 orang.

Artinya, untuk mengenal sesama pengguna Facebook bernama Sashenka yang berada di Moskow, Rusia atau Amahle di Abidjan, Pantai Gading, saya hanya membutuhkan lingkaran pertemanan dari 3 sampai 4 orang saja.

Mark Zuckerberg menargetkan lima miliar orang akan menjadi pengguna Facebook pada 2030 dan tentunya ini akan membuat tingkat keterpisahan rata-rata akan menjadi lebih kecil lagi dari angka itu. Ambisius memang.

Tetapi di situlah poinnya, media sosial menjadi pedang bermata dua, dahsyat sekaligus berbahaya. 

Dunia semakin bertambah sempit saja.

Dari kiri ke kanan: Dede Zakaria, Sri Marjati, saya, dan Bagas Satria.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
17 Oktober 2020
Gambar ilustrasi dari thetylt.com

Lihat Penampilan Saya di Lomba Baca Puisi Hari Oeang ke-74 Kementerian Keuangan

$
0
0

Assalaamu’alaikum wr. wb. Selamat pagi.

Hari Oeang selain banyak diperingati dengan berbagai kegiatan. Maka sudah selayaknya pula dirayakan dengan kata kata. Saya menyemarakkan perkara ini dengan Hai, Ma! Sebuah karya dari W.S Rendra yang dibuat pada Juli 1992. Puisi ini banyak menemani saya dalam rihlah berbilang purnama di Tapaktuan, Aceh Selatan.

Apresiasi terbaik darimu, Kawan adalah dengan menontonnya. Lebih-lebih kalau sudi untuk memberikan vote untuk puisi di atas.

Caranya:

– Masuk ke tautan berikut:

https://oeang74.kemenkeu.go.id/contest/detail/1/lomba-baca-puisi-hari-oeang-ke-74#

– Pilih Seni dan Budaya
– Pilih Lomba Baca Puisi HORI 74 (Detail)
– Pilih Galeri
– Klik tombol vote pada video saya berjudul: Hai, Ma! (Riza Almanfaluthi) di halaman 8 atau 9

Selamat menikmati, terimong geunaseh, beh.

Terima kasih tiada terkira.

Salam sayang untuk kalian semua.

Secuil Kabar Menggembirakan dari Reformasi Perpajakan

$
0
0

Reformasi Perpajakan di bidang regulasi mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Titik tolaknya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.

Aturan inilah yang melandasi pengenaan pajak atas impor produk digital dari luar negeri yang dikenal sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Sejak 1 Juli 2020, Direktorat Jenderal Pajak mulai menunjuk para pemain produk digital luar negeri dan dalam negeri sebagai Pemungut PPN PMSE. Sampai akhir Oktober 2020 terdapat 36 Pemungut PPN PMSE yang telah ditunjuk. Enam di antaranya pada September 2020 telah menyetorkan PPN ke kas negara sekitar Rp97 miliar.

Tentunya ini menjadi secuil kabar yang menggembirakan di tengah efek domino dari pandemi Covid-19 yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang menurun berimbas kepada pemutusan hubungan kerja dan tingkat pengangguran yang meningkat dan jika tidak dimitigasi dengan baik maka akan terjadi kesenjangan sosial yang meningkat.

Pemerintah berusaha meresponsnya dengan memberikan kemudahan berusaha sebagai kunci. Kunci ini digunakan untuk mendorong dunia usaha tetap bergerak di masa wabah yang sampai saat ini belum menampakkan tanda-tanda berhenti.

Tujuannya agar tidak hanya pulih dari pandemi, tetapi juga agar semua sektor kehidupan di negeri ini bisa kuat dan menyongsong Indonesia Maju 2045. Cita-cita yang bukan angan-angan dan didukung dengan 318 juta penduduk, memiliki 65% penduduknya berada di usia produktif, 73% tinggal di perkotaan, dan 70% kelas menengah.

Dari sisi ekonomi cita-cita ini mewujud menjadi Indonesia yang memiliki Produk Domestik Bruto terbesar ke-5 di dunia, memiliki pendapatan per kapita Rp342 juta setahun, beralih ke sektor-sektor yang lebih produktif, dan menumbuhkan sektor-sektor jasa.

Tentunya ini membutuhkan prasyarat yang banyak dan perlu disiapkan, seperti kesiapan infrastruktur, kualitas dan daya saing sumber daya manusia, kesiapan teknologi, perencanaan kewilayahan, serta ekonomi dan keuangan.

Prasyarat ekonomi dan keuangan ini sangat ditunjang oleh APBN yang sehat, stabilitas makro, stabilitas politik, dan aturan hukum yang pasti.

Atas kebutuhan-kebutuhan inilah melakukan Reformasi Perpajakan dengan lebih serius lagi menjadi salah satu jalan keluar dari resesi. Saat ini langkah-langkah yang telah dan sedang dilakukan adalah sebagai berikut.

 

Pendanaan Investasi

Pertama, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk meningkatkan pendanaan investasi dalam bentuk penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang secara bertahap menjadi 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021 dan 20% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya, serta tarif 3% lebih rendah untuk wajib pajak Go Public. Pengaturan ini telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 di atas.

Selain itu dalam bentuk penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri, pengaturan nonobjek PPh atas bagian laba/Sisa Hasil Usaha Koperasi dan dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Bentuk lain pendanaan investasi dicoba dibuka dengan adanya ruang untuk penyesuaian tarif PPh Pasal 26 atas bunga; penyertaan modal dalam bentuk aset (imbreng) yang tidak terutang PPN; dan penghasilan tertentu (termasuk dividen) dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia.

 

Kepatuhan Sukarela

Kedua, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela dengan mengurangi beban kepatuhan dan meningkatkan kemudahan berusaha.  Caranya dengan mengatur kembali ketentuan tentang sanksi dan pengkreditan pajak masukan.

Sanksi dan imbalan bunga yang sebelumnya berlaku rata 2% per bulan sekarang menjadi fleksibel dengan berpatokan pada suku bunga acuan sehingga menjadi selaras dengan praktik yang berlaku umum di dunia bisnis.

Pengkreditan pajak masukan yang sebelumnya tidak dapat dikreditkan, kini dapat dikreditkan termasuk pajak masukan sebelum pengukuhan dan pajak masukan perolehan barang dan jasa kena pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan penyerahan terutang PPN.

 

Kepastian Hukum

Ketiga, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk meningkatkan kepastian hukum bagi pelaku usaha dengan mengatur ulang ketentuan terkait barang kena pajak dan objek PPh, administrasi ketetapan dan tagihan pajak, serta status subjek pajak orang pribadi.

Ketentuan penyerahan batu bara berubah sehingga termasuk ke dalam penyerahan barang kena pajak dan terutang PPN, sedangkan konsinyasi bukan penyerahan barang kena pajak.

Sisa lebih dana badan sosial dan badan keagamaan sekarang tidak termasuk objek PPh sehingga menjadi selaras dengan perlakuan sisa lebih dana lembaga pendidikan.

Pengaturan ulang administrasi ketetapan dan tagihan pajak termasuk kedaluwarsa penerbitan surat tagihan pajak yaitu lima tahun.

WNI maupun WNA yang tinggal di atas 183 hari dalam setahun di Indonesia menjadi subjek pajak dalam negeri, namun pengenaan PPh bagi WNA dengan keahlian tertentu hanya atas penghasilan dari Indonesia. Ketentuan ini berlaku selama empat tahun dan dimaksudkan untuk meningkatkan minat pekerja asing dengan keahlian tinggi untuk bekerja di Indonesia dan mendorong terjadinya alih pengetahuan kepada pekerja Indonesia.

 

Keadilan Iklim Berusaha

Keempat, Reformasi Perpajakan dilaksanakan untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri dengan mengenakan PPN PMSE yang telah berlaku sejak 1 Juli 2020 dan merupakan bagian dari upaya meningkatkan kesetaraan berusaha, khususnya antara pelaku usaha digital dalam dan luar negeri. Hal ini sudah diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 di atas dan memiliki potensi perpajakan yang besar di masa mendatang.

Selain itu, keadilan iklim berusaha diciptakan melalui kesetaraan berusaha dengan cara menerapkan kewajiban pencantuman identitas Nomor Induk Kependudukan (NIK) pengusaha pembeli barang/jasa kena pajak apabila pengusaha tersebut tidak memiliki NPWP.

Empat ruang lingkup Reformasi Perpajakan di atas, selain menjadi terobosan kebijakan untuk mendorong transformasi ekonomi menuju Indonesia Maju 2045, pada hakikatnya untuk mendorong investasi sehingga menyerap tenaga kerja seluas-luasnya di tengah situasi perlambatan ekonomi.

Tentunya Reformasi Perpajakan ini dilaksanakan dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu mengumpulkan pendapatan negara dan menjadikan pajak sebagai alat fiskal untuk mendorong ekonomi.

Saat ini, pajak digunakan sebagai instrumen fiskal untuk mendorong aktivitas usaha sehingga ekonomi tumbuh dan kemudian pajak pun ikut tumbuh. Di sinilah, pajak sesungguhnya menjadi ekor dari aktivitas ekonomi yang kabar menggembirakan lainnya ditunggu-tunggu oleh semua.

***

Riza Almanfaluthi

Artikel di atas ditulis dan telah dimuat di APBNKita Edisi Oktober 2020. Majalah APBNKita Bisa diunduh di sini.

Siniar (Podcast): Setoran Pajak Digital PPN PMSE Sudah Rp97 Miliar

$
0
0

Akun media sosial Direktorat Jenderal Pajak kembali meluncurkan siniar (podcast)-nya. Kali ini masih dengan tema Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Bagaimana perkembangan PPN PMSE setelah mulai dijalankan sejak 1 Juli 2020? Simak saja siniar ini.

Transkrip:

1)         Terkait penunjukan wapu PPN PMSE, sudah berapa wapu yang ditunjuk sampai saat ini?

Jawaban:

Alhamdulillah, pada awal Oktober 2020 ini telah ditunjuk 8 Pemungut PPN PMSE baru, sehingga total sudah ada 36 Pemungut PPN PMSE. Dengan penunjukkan ini.  sejak 1 November 2020 para pelaku usaha tersebut akan mulai memungut PPN atas produk dan layanan digital yang mereka jual kepada konsumen di Indonesia. Jumlah PPN yang harus dibayar pelanggan adalah 10 persen dari harga sebelum pajak, dan harus dicantumkan pada kuitansi atau invoice yang diterbitkan penjual sebagai bukti pungut PPN.

 

2)         Mereka ini bergerak di bidang apa sehingga dipungut jadi wajib pungut PPN PMSE?

Jawaban:

Ada yang bergerak di bidang cloud, software, layanan hosting internet, games, Penerbit API layanan pesan singkat (SMS) berbasis cloud. Itu sih.

 

3)         Sejauh ini, bagaimana kontribusi penerimaan PPN PMSE dari wapu yang sudah ditunjuk?

Jawaban:

Sewaktu acara media briefing Kementerian Keuangan pada 12 Oktober 2020 lalu, Direktur Jenderal Pajak Pak Suryo Utomo mengemukakan bahwa ada 6 entitas yang sudah ditunjuk sebelumnya telah menyetorkan PPN PMSE pada September 2020 lalu sebesar Rp97 miliar.

Rp97 miliar itu adalah nilai PPN-nya saja. Kalau kita hitung maka angka transaksinya sebesar Rp970 miliar. Hampir Rp1 triliun.

 

4)         Nilai tersebut besar atau kecil?

Jawaban: Ini menurut saya besar. Apalagi dari 6 entitas saja. Dan baru sedikit bulan. Kita bisa menghitungnya kalau setahun berapa coba? Belum menghitung entitas–entitas lain yang sudah ditunjuk, namun belum menyetorkan PPN-nya. Belum lagi entitas-entitas lain yang belum ditunjuk namun menjual produk digitalnya kepada konsumen Indonesia.

 

5)         Untuk Pajak Penghasilan (PPh) PMSE, apa kabarnya?

Jawaban: Nah ini kan merupakan amanat dari UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang  Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang

Sedang menunggu adanya konsensus global. Sejauh ini masih belum menemui titik temu. Berita terakhir kan pada akhir tahun ini konsesus bisa dicapai, namun sepertinya perlu waktu lebih panjang lagi.

Dan betul sekali Bu Sri Mulyani dalam acara pagi ini, senin 19 Okober 2020 dalam konferensi pers APBN Kita juga mengatakan bahwa konsesus itu ditunda sampai 2021 menunggu Amerika Serikat selesai pemilunya. Kementerian Keuangan Amerika Serikat juga menyadari pentingnya mencapai konsensus internasional. Negara-negara G-20 juga berkeinginan bahwa konsensus itu tercapai pada 2021.

Indonesia mendukung adanya pencapaian konsesus itu. Kalau tidak ada konsesus tidak ada rambu-rambu sekaligus prinsip-prinsip perpajakan yang adil terutama buat Negara-negara seperti Indonesia yang menjadi tempat pemasaran perusahaan-perusahaan itu, memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari pajak keuntungannya, yang selama ini tidak dilakukan kalau kita menggunakan rezim yang berhubungan dengan kehadiran fisik atau rezim prinsip perpajakan global.

Indonesia telah menyiapkan perangkat peraturannya. Namun untuk melakukan law enforcement itu perlu konsensus.

 

6). Apa risiko bila bertindak tanpa adanya konsensus global?

Jawaban: Kita memiliki peluang di embargo oleh negara yang merasa dirugikan. Akan ada perang dagang. Contohnya ketika Perancis ingin menerapkan pajak digital sebesar 3% kepada perusahaan internet  Amerika Serikat pada akhir tahun lalu. Amerika Serikat  langsung berencana menerapkan bea masuk baru sebesar 25% atas produk-produk Perancis sperti komestik, tas tangan, dan barang impor dari Perancis lainnya. Perancis langsung menunda kebijakan itu.

Jadi memang perlu kehati-hatian dan konsensus masyarakat internasional.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
19 Oktober 2020

Buku Terbaru Riza Almanfaluthi: Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari

$
0
0

Joe Simpson memulai mendaki gunung Siula Grande di pegunungan Andes dengan ketinggian 6.344 meter, Peru bersama Simon Yates pada 6 Juni 1985. Pada saat turun gunung dua hari kemudian, musibah terjadi, Joe tergelincir sehingga meremukkan tungkai kaki kanannya.

Ditemani Simon, perjalanan ke bawah menjadi lambat. Sampai suatu ketika, saat Simon menurunkan Joe, Joe tergelincir dari tepi gunung. Ia terayun-ayun di ketinggian dengan hanya seutas tali yang tertambat di tubuh Simon. Jurang menganga ratusan kaki di bawah Joe. Angin berembus kencang dengan banyak salju. Kemudian Joe jatuh. Simon pergi ke perkemahan karena menyangka Joe telah mati.

Beruntung Joe masih selamat, tetapi jarak perkemahannya masih enam kilometer. Dengan luka kaki dan kenyerian yang luar biasa, Joe merangkak dan masih memelihara harapan hidupnya. Ia tidak membayangkan jarak enam kilometernya, tetapi ia membuat permainan, semacam garis finis imajiner, ia harus bergerak sampai 200 meter ke depan. Setiap ia selesai mencapai garis khayal itu, ia senang dan berusaha menetapkan garis finis berikutnya. Sampai kemudian ia pingsan ketika mencapai area toilet perkemahan.

Joe selamat dan memenangkan permainannya. Joe menjalani enam operasi pembedahan. Ia divonis oleh para dokter tidak akan pernah bisa mendaki lagi dan akan kesulitan berjalan. Namun, setelah menjalani dua tahun rehabilitasi, ia mendaki lagi, menulis buku Touching the Void pada 1988, mematahkan kaki kirinya saat mendaki Mal Duff pada 1991, dan menjadi motivator.

Saya terkesan dengan cerita Joe Simpson dalam pendakian itu. Perjuangannya untuk tetap hidup menginspirasi banyak orang. Dalam dunia pelarian, banyak juga pelari hebat dan menginspirasi, namun tidak banyak yang mau menuliskan tentang pengalaman larinya di blog atau membukukannya agar dibaca banyak orang. Saya mengisi ruang tak padat itu dengan hadirnya buku ini karena saya menyukai menulis dan lari.

Mewujudkan buku ini sampai ke tangan pembaca setidaknya juga menghilangkan Efek Dunning-Kruger yang sering saya derita ketika mengunjungi toko buku.

Tahu bukan efek ini? Sederhananya adalah ketika saya berkunjung ke toko buku, kemudian membuka buku-buku di sana, saya berceletuk: “Ah, kalau buat begini saja mah gampang. Saya juga bisa.” Pada kenyataannya jauh lebih sulit. Untuk menghilangkan efek ini, saya berusaha mewujudkannya. Dan jadilah buku ketiga saya ini yang berjudul Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari.

**

Riza Almanfaluthi pernah melewati kawanan monyet dengan aman saat berlari di Tapaktuan. Menjelang Bandung Marathon, belasan anjing datang mengadang dan mengintimidasinya dengan salakan. Bagaimana ia mengatasi kawanan binatang itu? Cukup dengan berjongkok atau…?

Buku ini berisi cerita lari Riza Almanfaluthi yang dimulai saat ia baru memulai perubahan drastis dalam hidupnya di Tapaktuan, Aceh Selatan sampai di masa pandemi Corona Virus Disease 2019. Dari mulai tidak bisa lari sampai sanggup mengikuti Full Marathon dengan berlari sejauh 42,195 km tanpa henti. Berlari dari race yang satu ke race yang lainnya sebagai bentuk perjuangan mengalahkan dirinya sendiri.

Riza, pemilik berat badan 78 kg sampai kemudian menyentuh angka 62 kg hanya dalam 15 minggu dengan Freeletics dan lari ini, menuliskan pengalaman larinya dengan ringan, renyah, dan menginspirasi buat siapa saja yang ingin melakukan perubahan dan hidup sehat. Keduanya membutuhkan tekad, konsistensi, dan hanya satu alasan. Nah, buku ini juga memberikan tip-tip bermanfaat buat mereka yang ingin memulai dan konsisten berlari.

Untuk pemesanan buku silakan mengisi tautan berikut https://forms.gle/6PTKdTL7ht3ikZtJ7. Nanti ada Maulvi Izhharulhaq Almanfaluthi yang menghubungi balik melalui telepon atau Whatsapp di nomor 087742649595.

**

Suryo Utomo, Pembina DJP Runners, Direktur Jenderal Pajak:

Riza Almanfaluthi sebagai anggota DJP Runners mendokumentasikan perubahan dan cerita larinya dengan ringan dalam buku ini. Kita jadi tahu kalau perubahan itu tidak pandang umur dan tempat. Riza memulai perubahan dirinya di Tapaktuan, Aceh Selatan ketika usianya 38 tahun. Dan berhasil. Yang penting adalah tekad kuat dan persistensi.

 

Wiyoso Hadi, Editor dan Penulis Buku:

Anda hobi lari atau tidak, buku ini menarik untuk dibaca bagi Anda yang ingin wujudkan tekad jadi kenyataan dan hidup lebih bugar.

 

Kris Wahyudi, Pendiri Freeletics Indonesia

Jangan pernah takut berkeringat karena berkeringat itu sehat. Riza sudah membuktikan itu seperti ceritanya dalam buku ini.

 

Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari 

  1. Penulis             : Riza Almanfaluthi
  2. Jenis buku       : Nonfiksi
  3. Kategori           : Pengembangan Diri
  4. Penerbit           : Maghza Pustaka
  5. Tahun terbit     : November 2020
  6. Cetakan            : Pertama, November 2020
  7. ISBN                 : 978-602-5824-85-2
  8. Jumlah hal.      : xvi+216 halaman
  9. Dimensi buku  : 14cm x 20,5cm
  10. Berat              : 200 gram
  11. Harga buku   : Rp60.000,00 (di luar ongkos kirim).

 


Dari Tanzania ke Tapaktuan: Penulis Buku Misuh-Misuh

$
0
0

Suatu ketika saya pernah buka-buka marketplace. Yang saya cari biasanya buku-buku. Kebetulan juga saya sedang ngebet sama nama seorang penulis buku fiksi. Pokoknya novel yang ditulisnya saya babat habis untuk saya baca.

Di marketplace itu, ternyata ada paket bukunya, murah lagi. Di luar harga wajar. Senang dong saya melihat ada buku buruan saya dengan harga yang terjangkau begitu. Langsung saya pesan. Satu minggu kemudian buku itu sampai. Betul, buku itu murah dan kualitas fisiknya mengecewakan. Ini jelas buku bajakan.

Awalnya, suer, saya enggak tahu kalau itu buku bajakan. Saya pikir karena memang ada yang menekan harga ingin menjual dengan harga terjangkau dan semua buku yang dijual di marketplace itu asli semua. Ternyata tidak.

Bukunya sudah saya baca sampai habis, tetapi saya kapok untuk membeli buku bajakan itu. Kasihan. Dulu, ada penulis buku yang misuh-misuh soal pajak karena kena pajak gede sekaligus kena bajak juga. Setiap buku yang dikeluarkannya selalu kena bajak. Sudah enggak kehitung berapa jumlah eksemplar buku bajakannya yang terjual. Tentu dia enggak mendapatkan bagian apa-apa.

Di sisi lain mencerdaskan kehidupan bangsa dengan buku itu penting, di sisi lain penghargaan terhadap penulis buku mesti layak untuk mendorong mereka tetap berkarya dan berkreasi dengan buku-buku yang ditulisnya.

Dua-duanya ini akan mendorong tingkat literasi masyarakat Indonesia bisa naik ke peringkat yang lebih tinggi. Sudah tahu, kan, kalau berdasarkan survei yang dilakukan oleh PISA pada 2015 lalu, Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah, di atas Botswana, tepatnya peringkat ke-60, dalam literasi dunia.

Ini memang nyata. Tingkat literasi sedemikian itu berefek banyak buat kehidupan bangsa, dunia perbukuan, penerbit, dan tentunya penulis itu sendiri. Saya tidak akan menuliskannya di sini, kalau ketemu saja yah kita mendiskusikannya lebih lanjut. Lumayan juga ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Apalagi setelah saya ikut menjadi bagian dari dunia perbukuan Indonesia, walaupun belum lama, saya jadi tambah paham lagi. Ditambah pandemi. Semua patut disyukuri.

Di tengah suasana itu, dengan niat yang saya coba saya kuatkan untuk senantiasa lurus dan hasil penjualan buku ini untuk kebaikan yang lebih-lebih, saya kembali meluncurkan buku, buku ketiga, berjudul:

Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari.

Buku ini berisi cerita lari saya yang dimulai saat baru memulai perubahan drastis dalam hidup saya di Tapaktuan, Aceh Selatan sampai di masa pandemi Corona Virus Disease 2019. Dari mulai tidak bisa lari sampai sanggup mengikuti Full Marathon dengan berlari sejauh 42,195 km tanpa henti. Berlari dari race yang satu ke race yang lainnya sebagai bentuk perjuangan mengalahkan dirinya sendiri.

Salah satunya cerita lari waktu melewati kawanan monyet dengan aman di pegunungan Tapaktuan. Namun, sewaktu latihan lari menjelang Bandung Marathon, belasan anjing datang mengadang dan mengintimidasinya dengan salakan. Bagaimana saya mengatasi kawanan binatang itu? Cukup dengan berjongkok atau bagaimana?

Saya dulu memiliki berat badan 78 kg sampai kemudian menyentuh angka 62 kg hanya dalam 15 minggu dengan Freeletics dan lari ini, menuliskan pengalaman lari ini yang semoga bisa menginspirasi buat siapa saja yang ingin melakukan perubahan dan hidup sehat.

Keduanya membutuhkan tekad, konsistensi, dan hanya satu alasan. Nah, buku ini juga memberikan tip-tip bermanfaat buat teman-teman yang ingin memulai dan konsisten berlari.

Insya Allah buku ini akan mulai beredar di pekan yang akan datang, tepatnya mulai 4 November 2020. Buat yang hendak memesan, silakan japri saja atau menulis di formulir ini: https://forms.gle/6PTKdTL7ht3ikZtJ7. Bebas.

Semoga buku ini menjadi berkah buat semuanya, saya bisa membayar pajak, dan bukunya tidak dibajak. Siapa lagi saya, yah?

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
29 Oktober 2020

 

Dari Tanzania ke Tapaktuan: Menolak Rebahan

$
0
0

Sebelum upacara Hari Oeang ke-74 saya lari pagi dulu. Cukup 5 km saja. Oh, ya. Saya mau cerita sedikit saja.

Ada seorang penulis luar negeri yang kalau punya tema buku yang ingin ia tulis maka ia harus totalitas.

Contohnya ketika ia ingin menulis tema lari, maka ia mulai berlari. Dari yang tidak bisa lari sampai mencapai target tertentu. Totalitas dan obsesif.

Namun, sayangnya ketika targetnya sudah tercapai dan mencukupi ditulis menjadi sebuah buku, ia berhenti dari lari. Semuanya begitu.

Insya Allah, saya berusaha tidak seperti itu. Niatkan ibadah, niatkan mencari sehat. Ini menjadi ikhtiar untuk sehat.

Saya jadi teringat 5 tahun lalu dengan berat badan 78 kg tidak bisa lari dan berpayah-payah menyelesaikan 5 km. Jalan lari, jalan lari. Jarak segitu dicapai dengan waktu 1 jam. Bangga banget dah. Kirain sudah  hebat.

Ternyata kita jadi tahu lari dengan waktu tempuh segitu itu ya pemula banget. Tidak mengapa.

Saya kemudian terus menerus @Freeletics dan sekali seminggu lari, alhamdulillah jadi bisa lari. Ya, bahagia saya cukup segitu . Sampai akhirnya kemudian masih konsisten berlari sampai sekarang dan yang akan datang, insyaallah.

Buku saya ini merekam perjalanan lari saya dari 0 sampai lari di masa pandemi. Dan teringat pepatah Cina yang menyebut: “Qiānlǐ zhī xíng, shǐyú zú xià.” (Halah, modal copas saja…)

Terjemahannya begini: “A journey of a thousand miles begins with a single step. Perjalanan 1000 mil dimulai dengan satu langkah.”

Perjalanan perubahan saya dimulai dari yang kecil-kecil saja dan karena berani memulai dan menolak rebahan melulu.

Teman-teman juga bisa. Just do it, saja.

Pesan bukunya di sini saja: https://forms.gle/6PTKdTL7ht3ikZtJ7.

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
31 Oktober 2020

Shah Rukh Khan dan Buku Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali

$
0
0
Bersama Pak Harris Rinaldi.

Alhamdulillaah buku ini, Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari, meluncur ke haribaan teman-teman sekalian tepat pada 2 November 2020. Sama dengan ulang tahunnya mega bintang Bollywood Shah Rukh Khan. Kok bisa? Dibisa-bisain saja. 😃

Saya baru tahunya juga di lini masa Instagram barusan, ketika sampai otoritas Burj Khalifa di Dubai membuat video diri Shah Rukh Khan dan ditampilkan di layar kaca dinding-dinding tinggi gedung tertinggi di dunia ini. Megah.

Siang ini, saya berfoto bersama dengan para senior seperti Pak Harris Rinaldi dan Mas Slamet Rianto. Terima kasih sudah dapat menerima buku ini.

Saya mengutip dari perkataan juara Berlin Marathon Eliud Kipchoge yang mengatakan: “Hanya yang disiplin yang bebas dalam hidup. Jika Anda tidak disiplin, Anda adalah budak suasana hati (mood) Anda. Anda adalah budak nafsu Anda. Itu fakta.

Saya tulis kutipan di atas sebagai pembatas bab di buku Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari. Buku ini lebih tebal dari buku kedua saya yang berjudul Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini.

Insya Allah harga buku “Dari Tanzania ke Tapaktuan” yang diusahakan serendah mungkin tidak sebanding dengan dua tiga gelas kopi susu gula aren yang biasa kita konsumsi.

Dan banyak nama tercatat dalam buku ketiga saya ini. Biasanya teman-teman pelarian saya yang mengiringi kisah perjalanan lari dan perubahan saya.

Banyak cerita lari yang setidaknya akan membuat Anda memang harus berubah. Satu kesimpulan yang ada adalah: “Jika saya bisa, mengapa Anda tidak bisa?”
Semoga bermanfaat.

Bersama dengan Pak Slamet Rianto.

Harris Rinaldy Abi Azhar Elsafira:
Selamat untuk penerbitan bukunya yang ketiga, “Dari Tanzania ke Tapaktuan”. Sebuah buku inspirasi bagi kita untuk berhenti lari dari kenyataan dan mulai berlari dengan arti yang sebenarnya.

Untuk pemesanan buku silakan untuk mengisi formulir di sini.

#tapaktuan #aceh #meulaboh #bandaaceh #lhokseumawe #lari #freeletics #health #running #

 

 

Dari Tanzania ke Tapaktuan: Enggak Rugi Baca Buku Ini

$
0
0

Dulu ketika saya memulai lari, saya banyak mencari-cari informasi di internet. Mencarinya di Google, tentunya. Mencari informasi apa? Informasi cara lari, lomba lari, dan pengalaman lari di suatu ajang.

Saya sering kali terpukau membaca cerita lari orang dalam mengikuti lomba. Pengalaman mereka mencari penginapan di sekitar lomba dan pengalaman menegangkan pada saat lombanya itu. Mengasyikkan. Seperti mendapatkan cahaya dari langit di atas Bukit Tursina.

Informasi dan cerita-cerita tersebut membuat saya ingin sekali mengikuti lomba dan tentunya untuk bisa konsisten lari. Waktu itu saya masih di Tapaktuan, Aceh Selatan. Tentunya dengan jarak yang jauh itu, kurang memungkinkan saya mengikuti banyak lomba lari yang kebanyakan diselenggarakan di Pulau Jawa.

Saya bertekad nanti ketika saya sudah ditugaskan lagi di Pulau Jawa, saya akan mengikuti race-race itu. Saya juga bertekad untuk menuliskan cerita lari saya untuk bisa dibaca oleh banyak orang dan insya Allah bermanfaat untuk mereka. Kebetulan saya sedikit memiliki anugerah Tuhan berupa kemampuan menulis.

Ya, akhirnya setiap latihan dan lomba lari yang saya ikuti, saya buat tulisannya. Sebagai catatan perjalanan saya juga.

Pelan-pelan saya tulis, kumpulkan, dan akhirnya jadi banyak. Patut untuk dijadikan sebuah buku. Saya biasanya enggak berani untuk mengeklaim prestasi diri sendiri, takut jadi takjub pada diri sendiri.

Namun, untuk kali ini saya percaya diri sekali, insya Allah, buku ini tak akan membuat mereka yang membacanya rugi waktu. Saya dengan tulus hati ingin membaginya kepada para pembaca.

Saya mengisahkan pengalaman lari mulai lari 5 km, pertama kali menyelesaikan 10 km, 21 km, dan full marathon. Ini mengesankan banget buat saya. Apalagi saya pernah meneteskan air mata di tengah lomba. (Suer).

Manusia itu senang didongengin, diceritain. Apalagi dari pengalaman (ingat, menulis yang paling gampang itu adalah menuliskan pengalaman sendiri) nyata orang yang melakoninya sendiri, tentu lebih punya kekuatan persuasi.

Buku Dari Tanzania ke Tapaktuan ini saya persembahkan buat kamu, Anda, kalian, panjenengan, antum:

para pecinta kisah, yang ingin dan sedang mau berubah, yang baru sekadar punya niat, yang masih rebahan, yang sedang lari, yang sudah berpengalaman lari, yang namanya pernah tercatat dalam kisah-kisah lari saya, yang gabut mau mengisi hari-harinya dengan apa, yang bimbang mau lari atau menulis, yang medalinya banyak tergantung di dinding, yang menjaga sang tercinta di garis finis, yang tersandung pada saat lari di trotoar, yang berat badannya belum turun-turun atau naik-naik, yang sering bilang jangan terlalu cepat six pack Wahid Nugroho, yang pace keong atau kelinci, para pencari jersey, para pelari hobi, sungguh, kalau saya bisa, tentunya Anda juga bisa.

Serius. Rasakanlah juga sensasi endorfin mengguyur sekujur tubuh ketika tiba di garis finis. Aku ingin kamu merasakannya juga.

Baca buku ini.

***
Buat yang mau pesan, silakan untuk mengisi formulir di sini. 😃

#daritanzaniaketapaktuan #orangmiskinjanganmatidikampungini

Review Buku Dari Tanzania ke Tapaktuan: RUN, RIZA, RUN!

$
0
0

Dhimas Wisnu Mahendra, teman saya sekaligus penulis novel, membuat ulasan kecilnya terhadap buku saya yang berjudul Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari yang terbit pada awal November ini.  Berikut ulasannya.

Dia bukan Forrest Gump. Beratnya dulu 78 kg. November 2014, Tapaktuan, Aceh Selatan. Memungut bola pingpong yang jatuh, menatap kaca, ia melihat sosok kegendutan menatap balik. Itu awalnya.

Jangankan gesit berlari, duduk saalat saja susah! Tetapi tekadnya kuat sudah bulat, harus berubah! Lima belas minggu kemudian, beratnya sudah 62 kg, berkat disiplin keras menggeluti Freeletics dengan persistensi tinggi! Dari semula tidak bisa lari, hingga kini empat kali menuntas Full Marathon sejauh 42.195 km tanpa henti! Riza Almanfaluthi mengalahkan rekor diri berulang kali dengan berlari dan ia masih tak henti berlari!

Baru empat bulan lalu, saya berkesempatan membedah buku sang kepala seksi rendah hati ini pada rangkaian kegiatan peringatan Hari Pajak, 9 Juli 2020. Buku kedua yang berjudul Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini (OMJMDKI) dan telah cetak berulang kali itu tiba-tiba saja disusul meluncur buku ketiga, sesuai janjinya saat wawancara.

Kali ini tentang pengalaman berlari, “Dari Tanzania ke Tapaktuan: Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari”, yang merupakan bukti nyata konsistensi bertransformasi sekaligus rekam jejak apik perubahan drastis seorang DJP Runner, Riza Almanfaluthi.

Baginya yang terkisah dipukau perjuangan Akhwari membawa nama bangsa Tanzania pada Olimpiade 1968, meski terseok dan tiba paling akhir, menuntas misi berbalut persistensi adalah kehormatan. Maka lecutnya, “Impossible is nothing! Impossible is just a word! Quitting is not an option! And no excuse for free athlete!”

Sekilo deui… Sekilo deui…” kata Riza dalam pikirannya ketika berlari.

Unleash your potential! Reach personal best!

Salam takzim! Selamat dan terus semangat! Matur nuwun, Mas Riza. Inspiratif dan memotivasi! Seperti pesan personalnya, “Untuk Mas Dhimas: Tetap menulis dan berpuisi…” Agaknya ini kode keras dan tamparan agar saya juga harus mulai menulis lagi! Insyaallah, saatnya berubah dan ikut berlari!

💪🏃🏿‍♂️👍🏼

Rekaman bedah buku OMJMDKI bisa ditonton lagi di sini:

Untuk pemesanan buku Dari Tanzania ke Tapaktuan, Titik Tak Bisa Kembali, Kisah Lelaki Menaklukkan Ego dengan Berlari dan buku lainnya yang berjudul: Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini, silakan untuk mengeklik tautan berikut:

Pemesanan Buku

Viewing all 868 articles
Browse latest View live