Quantcast
Channel: Riza Almanfaluthi
Viewing all 868 articles
Browse latest View live

Peringati Hari Pajak, Suryo Utomo Samakan Gejolak Ekonomi dengan Perfect Storm

$
0
0

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyoroti gejolak ekonomi di Hari Pajak yang jatuh pada 14 Juli 2020.

“Gejolak ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 ini menghantam Indonesia bagaikan sebuah perfect storm,” kata Suryo Utomo dalam upacara memperingati Hari Pajak di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta (Selasa, 14/7).

Menurut Suryo, Pandemi COVID-19 ini setidaknya memberi tiga dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Pertama, membuat konsumsi rumah tangga atau daya beli yang merupakan penopang 60% ekonomi jatuh cukup dalam. “Kedua, COVID-19 menimbulkan adanya ketidakpastian, sehingga investasi ikut melemah dan usaha terhenti,” lanjut Suryo.

Ketiga, tambah Suryo, seluruh dunia juga mengalami pelemahan ekonomi sehingga membuat harga komoditas turun dan ekspor Indonesia ke beberapa negara juga terhenti. “Dengan hantaman yang bertubi-tubi tersebut, gotong royong aparat pajak dan wajib pajak serta seluruh elemen bangsa adalah sebuah keniscayaan,” katanya lagi.

Suryo menjelaskan, diperlukan langkah-langkah dan cara kerja yang tidak biasa untuk menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah di depan. “Untuk mendapatkan hasil yang luar biasa, kita diharuskan untuk melakukan tindakan yang luar biasa juga,” ungkap Suryo.

Oleh karena itu, Suryo menambahkan, Direktorat Jenderal Pajak selalu berkomitmen untuk melakukan Reformasi Perpajakan baik dari sisi proses bisnis, organisasi, dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM).

“Penataan kembali cara kerja, struktur organisasi, dan pengelolaan SDM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pembangunan coretax system yang menjadi tulang punggung administrasi perpajakan yang baru untuk mewujudkan cita-cita Reformasi Perpajakan yang kita usung yaitu organisasi yang kredibel dan akuntabel,” jelas Suryo.

Suryo juga menekankan, pandemi yang dihadapi ini bukanlah hal yang bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengompromikan nilai-nilai yang telah dijunjung bersama. “Integritas pegawai Direktorat Jenderal Pajak tidak untuk diperjualbelikan,” tegas Suryo.

Pada momen bersejarah—Hari Pajak di saat Pandemi—yang tidak akan terjadi pada lima, sepuluh, atau puluhan tahun mendatang, Suryo mengajak 46.186 pegawai Direktorat Jenderal Pajak untuk menunjukkan usaha terbaiknya saat bangsa memanggil meskipun bukan melalui perang mengangkat senjata.

“Begitu juga dengan para Wajib Pajak, pada kesempatan ini saya menyampaikan ajakan dan mengetuk hati Bapak Ibu semua sebagai warga negara, mari kita dukung bersama usaha pemerintah mengatasi gejolak ekonomi ini melalui kontribusi pembayaran pajak,” ajaknya lagi.

Seperti diketahui pemerintah telah memberikan stimulus ekonomi, insentif dan kebijakan di sektor perpajakan agar roda ekonomi berputar.

“Berbagai jenis fasilitas tersebut diharapkan mampu meringankan beban para pelaku ekonomi di saat kondisi yang tidak bersahabat ini,” tutur Suryo. “Mari kita pastikan bersama bahwa wajib pajak yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut menggunakannya sehingga tercapai tujuan dari kebijakan tersebut,” tambahnya. [Rz]

***
Riza Almanfaluthi
14 Juli 2020
Berita ini ditulis untuk pajak.go.id
Foto milik Harris Rinaldi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak


Bedah Buku Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini

$
0
0

 

Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan bedah buku volume kedua di Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta (Kamis, 9/7). Buku yang dibedah adalah buku yang ditulis oleh Riza Almanfaluthi dan berjudul Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini.

Sebelumnya bedah buku volume satu terselenggara pada Senin, 6 Juli 2020 yang membedah buku Pajak dan Zakat Biarkan Berbeda dengan pembedah adalah penulis buku itu sendiri Eko Novianto Nugroho.

Penyelenggaraan bedah buku ini merupakan rangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memperingati Hari Pajak yang jatuh pada 14 Juli 2020.

Riza Almanfaluthi adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang saat ini bertugas di Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat dan menjabat sebagai Kepala Seksi Pengelolaan Situs.

Buat yang belum menyaksikan acara bedah buku tersebut, bisa menontonnya pada video di atas yang disiar ulang oleh akun resmi jejaring sosial Direktorat Jenderal Pajak.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
16 Juli 2020

Bahasa Adolf Hitler dan Bunuh Diri yang Tak Jadi

$
0
0

Buku yang ditulis oleh keturunan Yahudi ini berada di rak sepatu sebuah pesantren di perbatasan Bogor dan Sukabumi. Sejak itu, judulnya melekat di kepala untuk segera dicari dan dibaca.

 

Seorang perempuan Amerika mendatangi Viktor E. Frankl dan bertanya kepadanya, “Bagaimana mungkin Anda masih bisa menulis buku-buku Anda di dalam Bahasa Jerman, bahasanya Adolf Hitler?”

Viktor E. Frankl adalah keturunan Yahudi yang menyintas dari kamp Auschwitz, Dachau dan kamp konsentrasi lainnya selama tiga tahun. Ia seorang neurolog dan psikiater terkenal di Eropa sekaligus penemu teori logoterapi.

Mendengar pertanyaan sang wanita, Frankl bertanya kepada wanita itu apakah ia memiliki pisau di dapurnya. Sang wanita tentu mengiyakan. Frankl merespons dengan seolah-olah heran dan terkejut. Frankl lalu bertanya, “Bagaimana mungkin Anda masih menggunakan pisau yang sudah digunakan oleh banyak pembunuh untuk menusuk dan membunuh korban mereka?”

Wanita itu paham dan tidak lagi keberatan kalau Frankl menulis buku dalam Bahasa Jerman. Frankl memberikan dua garis bawah pada kalimat ini: konsep rasa bersalah kolektif itu salah. Tidak adil menuduh seseorang bertanggung jawab atas perbuatan satu atau sejumlah orang.

Viktor E. Frankl menulis cerita itu dalam buku yang berjudul Man’s Search for Meaning. Buku yang sudah terjual lebih dari 16 juta eksemplar di seluruh dunia, dalam 49 bahasa dan 190 edisi. Kalau Anda berharap bahwa buku ini menceritakan secara detail bagaimana kehidupannya di kamp konsentrasi selama Perang Dunia Kedua, Anda berharap terlalu banyak.

Buku ini sebagiannya menuliskan bagaimana caranya dia—dengan sumber-sumber kekuatannya—untuk bisa bertahan hidup di kamp konsentrasi. Peluang hidup di sana tidak lebih dari satu berbanding dua puluh delapan.

Sebagian lainnya tentang logoterapi, sebuah metode terapi kejiwaan yang lebih memusatkan pada upaya manusia mencari makna hidup. Di sana, Frankl menegaskan, manusia tidak perlu berharap sesuatu dari hidup dan biarkan hidup mengharapkan sesuatu dari diri manusia.

Frankl menerapkan logoterapi ini pada saat di kamp ketika ada dua orang yang hendak bunuh diri. Dua orang ini memiliki alasan yang sama untuk mengakhiri hidup: tidak bisa lagi mengharapkan apa pun dari hidup.

Frankl mencegah mereka untuk bunuh diri dengan memberi keyakinan bahwa ada hidup yang mengharapkan mereka. Bukan sebaliknya.

Setelah ditanya-tanya, akhirnya orang pertama yang mau bunuh diri itu mengatakan bahwa ia masih memiliki anak yang sangat disayangi dan sedang menunggu di suatu negara. Tawanan kedua mengatakan, ia ilmuwan yang masih menulis beberapa buku yang mesti diselesaikan dan tak ada orang lain yang bisa menggantikannya menulis buku. Inilah makna itu.

Dua orang itu tidak jadi bunuh diri. Frankl sendiri masih memiliki keyakinan, ada istrinya—yang juga dipenjara di kamp lain—masih tetap menanti dan berusaha untuk tetap hidup. Sebuah keyakinan yang menyelamatkan Frankl dari kamp itu.

Keyakinan yang juga tumbuh pada hal berikut. Bahwa jangan menjadikan kesuksesan sebagai tujuan. Semakin Anda menjadikan kesuksesan sebagai tujuan dan target utama, semakin Anda menjauh dari kesuksesan. Sebab kesuksesan, sebagaimana kebahagiaan, tidak dapat dikejar, ia niscaya akan terjadi, dan hanya terjadi sebagai efek samping dari pengabdian pada tujuan yang lebih besar.

Kesuksesan dan kebahagiaan itu adalah hasil samping dari pelayanan seseorang pada yang selain dirinya.  Kebahagiaan pastilah terjadi dan hal ini juga berlaku pada kesuksesan. Anda harus membiarkannya terjadi dengan tidak usah memedulikannya. Ini membenarkan perkataan Muhammad saw., sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat buat orang lain.

Frankl menerapkan logoterapi di dalam dan di luar kamp selepas pembebasan itu. Frankl kembali ke Wina pada Agustus 1945. Sendiri saja karena orang tua, istri, dan calon bayi yang dikandung tidak ada yang selamat di kamp. Di Wina, Frankl melanjutkan pofesinya sebagai psikiater.

Ia menerapkan logoterapi pada banyak orang. Contohnya pada wanita yang mengalami traumatis di masa lalu sehingga tidak mampu merasakan puncak kenikmatan seksual atau pada pria yang berhubungan seksual sekadar menunjukkan potensi purbanya.

Dengan logoterapi, pemikiran mereka diubah, seharusnya bukan orgasme yang menjadi keinginan dan perhatian. Kesenangan harus selalu dan tetap merupakan efek samping. Kesenangan itu akan hancur atau rusak dengan sendirinya jika dijadikan tujuan. Lalu tujuan apa yang tepat? Adalah dedikasi, penyerahan spontan dan total kepada pasangan.

**

Beberapa penjaga kamp berempati terhadap penderitaan penghuni kamp. Saat perang berakhir, ketika pasukan Amerika Serikat dari arah barat Eropa datang sebagai pembebas, tiga pemuda Yahudi penghuni kamp kemudian menemui komandan pasukan Amerika Serikat yang sangat ingin sekali menangkap komandan SS. SS adalah Schutzstaffel, organisasi keamanan dan militer milik Partai Nazi Jerman.

Para pemuda itu dapat memberikan informasi tempat persembunyian komandan SS asal komandan pasukan Amerika Serikat ini memenuhi syarat yang mereka ajukan, yakni berjanji tidak akan menyakiti komandan SS. Tiga pemuda yahudi ini memang sengaja menyembunyikan sang komandan di hutan Bavaria.

Perwira Amerika Serikat itu akhirnya berjanji untuk tidak menyakiti komandan SS. Janji itu terpenuhi bahkan mendudukkan kembali komandan SS itu pada kepemimpinannya semula. Komandan SS diberikan tugas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan pakaian dari desa-desa untuk dibagikan kepada para tawanan kamp yang dibebaskan dan dalam kondisi tinggal tulang berbalut kulit.

Komandan SS itu menjadi bagian dari orang-orang baik yang berada di kamp. Frankl menyebut—sebagaimana tidak ada kesalahan kolektif di atas—bahwa kebaikan manusia bisa ditemukan pada setiap kelompok.

Frankl lebih percaya rekonsiliasi daripada balas dendam. Yang sayangnya, tak lama setelah holocaust, kaumnya sendiri mereproduksi dendam itu di tanah dan kepada bangsa lain: Palestina.

 

***
Riza  Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
18 Juli 2020

Judul: Man’s Search for Meaning
Penulis: Viktor E. Frankl
Penerjemah: Haris Priyatna
Penerbit: Noura Books
Cetakan ke-7, Februari 2020
Foto dari ericrobertnolan.com

Pergi Umrah Singgah ke Hagia Sophia, Kena PPN?

$
0
0

Kalau kita pergi umrah kemudian seusai umrah kita pergi kongko-kongko ke Hagia Sophia, Istambul ataupun ziarah ke Masjidilaqsa dalam satu paket perjalanan, mana yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai?

Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan itu.

**

Pada 22 Juli 2020 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2020 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa Keagamaan yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Beleid ini mulai berlaku setelah 30 hari terhitung sejak tanggal diundangkan. Tanggal diundangkan dari PMK ini adalah 23 Juli 2020, berarti mulai berlaku sejak tanggal 22 Agustus 2020.

Dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Jasa Keagamaan memang sudah termasuk ke dalam jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tepatnya di Pasal 4A ayat (3).

Di sana, Jasa Keagamaan meliputi:

  1. jasa pelayanan rumah ibadah;
  2. jasa pemberian khotbah atau dakwah;
  3. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
  4. jasa lainnya di bidang keagamaan.

Penjelasannya hanya sebatas itu. Namun, dengan adanya PMK ini maka dijelaskan jasa lainnya di bidang keagamaan.

 

Alasan Penerbitan PMK

Mengutip Tajuk di laman pajak.go.id maka latar belakang dari penerbitan PMK ini ada empat.

Pertama, selama ini memang penyerahan jasa biro perjalanan dan/atau agen perjalanan wisata dipungut PPN 1%. Terdapat perbedaan pemahaman di lapangan mengenai pengenaan PPN atas jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang diserahkan oleh biro perjalanan wisata.

Apakah jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah itu termasuk jasa yang dikenakan PPN sebesar 1% atau jasa keagamaan yang tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) atau termasuk jasa yang dikenai PPN.

Yang juga perlu digarisbawahi dari alinea di atas adalah biro perjalanan wisata. Kalau pemerintah yang menyelenggarakan perjalanan ibadah haji dan umrah memang tidak dipungut PPN. Selama ini orang bayar ongkos naik haji yang diselenggarakan pemerintah tidak ada pemungutan PPN.

Nah, kalau jasa itu diselenggarakan oleh biro perjalanan wisata bagaimana? PMK ini menegaskan.

Kedua, belum adanya Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai kriteria dan/atau rincian jasa keagamaan yang tidak dikenai PPN sebagaimana dimanahkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 (PP 1/2012). Dengan adanya PMK menjadi terang benderang kriterianya seperti apa.

Ketiga, telah terbit Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mengatur bahwa penyelenggaraan perjalanan haji dan ibadah umrah merupakan kegiatan ibadah keagamaan. Jadi semakin jelas dengan adanya PMK ini bahwa jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah haji dan umrah termasuk dalam jasa lainnya di bidang keagamaan.

Keempat, merebaknya wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di seluruh dunia menyebabkan penghentian untuk sementara penyelenggaraan ibadah umrah oleh pemerintah Saudi Arabia. Hal ini berdampak negatif terhadap keberlanjutan bisnis usaha biro perjalanan wisata pada umumnya dan penyelenggara perjalanan ibadah haji dan umrah khususnya.

 

Penegasan

Jadi secara lebih mendetail, maka PMK ini memuat beberapa penegasan seperti berikut ini:

  • Jasa tertentu dalam kelompok jasa keagamaan termasuk jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
  • Jasa lainnya di bidang keagamaan termasuk ke dalam Jasa Tertentu di atas.
  • Perincian Jenis Lainnya di Bidang Keagamaan
  1. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan oleh pemerintah yang di dalamnya adalah ibadah haji regular dan ibadah umrah.
  2. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan oleh biro perjalanan wisata.

Sudah tegas nih, bilangnya begini. Jadi penyelenggaraan perjalanan ibadah haji dan umrah atau perjalanan ziarah ke tempat lain berdasarkan agamanya masing-masing tidak dikenakan PPN.

 

Daerah tujuan ibadah

PMK ini merinci juga daerah tujuan ibadah keagamaan oleh biro perjalanan wisata yang terdiri dari:

  1. jasa Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan/ atau Penyelenggaraan Perjalanan lbadah Umrah ke Kota Makkah dan Kota Madinah;
  2. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah ke Kota Yerusalem dan/atau Kota Sinai kepada peserta perjalanan yang beragama Kristen;
  3. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah ke Vatikan dan/atau Kota Lourdes kepada peserta perjalanan yang beragama Katolik;
  4. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah ke Kota Uttar Pradesh dan/atau Kota Haryana kepada peserta perjalanan yang beragama Hindu;
  5. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah ke Kota Bodh Gaya dan/ atau Kota Bangkok kepada peserta perjalanan yang beragama Buddha; dan
  6. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah ke Kota Qufu kepada peserta perjalanan yang beragama Khonghucu.

Jadi perjalanan ibadah atau ziarah ke tempat-tempat itu tidak dikenakan PPN.

 

Syarat Tidak Dikenakan PPN

Penyelenggaraan perjalanan ibadah dan ziarah di atas itu tidak akan dikenakan PPN jika memenuhi syaratnya:

  1. Jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan yang diserahkan berupa paket perjalanan, pemesanan sarana angkutan, pemesanan sarana akomodasi, jasa bimbingan perjalanan ibadah yang penyerahannya diserahkan secara langsung kepada jemaah.
  2. Jasa penyerahannya tidak didasari pada pemberian komisi/imbalan atas penyerahan jasa perantara penjualan.
  3. Biro perjalanan wisata yang menyelenggarakan ibadah haji khusus atau umrah itu memiliki izin dari Kementerian Agama.

 

Pengenaan PPN

Nah, yang jadi soal adalah jika penyelenggaraan ibadah itu digabung dengan perjalanan melancong ke tempat lain seperti Istambul, Palestina, atau Vatikan maka jasa penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain ini akan kena PPN. Tarifnya sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai lain sebesar 10% dari jumlah yang ditagihkan atas jasa penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain jika tagihannya memerinci tagihan paket ibadah dan paket perjalanan ke tempat lain.

Jika tagihan tidak dirinci maka Dasar Pengenaan Pajaknya adalah nilai lain sebesar 5% dari jumlah yang ditagihkan atas total jasa penyelenggaraan perjalanan.

 

Tarif Efektif

Sederhananya ada dua tarif efektif:

 

PPN atas tagihan dirinci= 10% x 10% x dari jumlah tagihan perjalanan ke tempat lain

 

PPN atas tagihan tidak dirinci= 10% x 5% x dari jumlah tagihan perjalanan

 

Dari contoh di atas sudah jelas sekali kalau perjalanan ibadah tidak dikenakan PPN, kecuali memang tagihannya tidak dirinci antara mana yang perjalanan ibadah dan mana perjalanan ke tempat lain.

 

Contoh:

 

  • Biro Perjalanan Wisata Agustus hanya menyelenggarakan paket umrah senilai Rp30 juta. Selesai melaksanakan umrah langsung kembali ke tanah air. Maka atas paket perjalanan ibadah umrah ini tidak dikenakan PPN.

 

  • Biro Perjalanan Wisata Agustus menyelenggarakan paket pergi umrah dan Istambul senilai Rp60 juta. Tagihan kepada jemaah terbagi ke dalam dua paket yaitu paket umrah sebesar Rp35 juta dan ke Istambul sebesar Rp25 juta. Maka atas paket ke Istambul akan dikenakan PPN sebesar 1% x Rp25 juta = Rp250.000,00

 

  • Biro Perjalanan Wisata Agustus menyelenggarakan paket pergi umrah dan Istambul senilai Rp60 juta. Tagihan tidak dirinci sehingga jemaah akan membayar PPN sebesar 0,5% x Rp60 juta = Rp300.000,00.

 

  • Antok sebagai seorang Katolik mengikuti perjalanan yang diselenggarakan oleh Biro Perjalanan Wisata September. Biro wisata itu memberikan paket pergi ke Kota Yerusalem dan Vatikan. Di dalam tagihannya (sebagai contoh) terperinci untuk paket ke Yerusalem tertera angka 50 juta rupiah dan paket ke Vatikan sebesar Rp50 juta rupiah. Dari soal ini maka atas perjalanan Antok ke Vatikan tidak dipungut PPN. Sedangkan untuk paket perjalanannya ke Kota Yerusalem dipungut PPN oleh Biro Perjalanan Wisata sebesar 1% dengan nilai rupiah PPN = 10% x 10% x Rp50 juta = Rp500.000,00.

Jadi perjalanan ke Yerusalem oleh penganut Katolik atau Muslim tetap dianggap sebagai perjalanan yang dipungut PPN sebesar 1% seperti yang selama ini sudah berlaku dan dipungut kepada jemaah oleh biro perjalanan wisata.

Sampai di sini pahamkah?

Pajak Masukan

Biro perjalanan wisata sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak bisa mengkreditkan pajak masukan atas perolehan barang atau jasa yang berhubungan dengan kegiatan penyelenggaraan perjalanan ibadah yang dicampur dengan perjalanan melancong ke tempat lain ini.

Semoga artikel ini bermanfaat.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Juli 2020

 

Menyusul Uganda, Indonesia Terapkan PPN Produk Digital Luar Negeri

$
0
0

Mulai 1 Juli 2020, atas setiap produk digital dari luar negeri yang dijual melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Jadi, ketika masyarakat Indonesia membeli buku elektronik dari Amazon misalnya, akan muncul PPN dalam tagihannya.

Beleid itu mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PJ.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Produk digital yang dijual itu bisa berupa buku elektronik, majalah elektronik, komik elektronik, peranti lunak, aplikasi digital, permainan digital, multimedia, data elektronik, barang atau koin virtual, streaming film, streaming musik, konten audio, web hosting, layanan konferensi video, atau layanan jasa lainnya yang berbasis peranti lunak.

PPN akan dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, pelaku usaha PMSE dalam negeri, pelaku usaha luar negeri yang menjual produk digital itu. Tentu mereka harus ditunjuk terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan yang kewenangan atas penunjukan dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Mereka ini dalam beleid di atas disebut sebagai Pemungut PPN PMSE.

Pelaku usaha PPN PMSE harus memenuhi kriteria tertentu untuk bisa ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE yaitu apabila mereka memiliki nilai transaksi dengan pembeli produk digital di Indonesia melebihi Rp50 juta dalam satu bulan atau Rp600 juta dalam setahun atau jumlah trafik (pengakses) melebihi 2.000 dalam satu bulan atau 24.000 dalam setahun.

Dengan penunjukan itu Pemungut PPN PMSE mendapatkan nomor identitas sebagai sarana administrasi perpajakan. Kemudian, Pemungut PPN PMSE baru bisa memungut PPN pada awal bulan berikutnya setelah tanggal penunjukan. Ini supaya memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyiapkan sistem dan sosialisasi penunjukan kepada pengguna barang atau pemakai jasa mereka.

Sebenarnya pengenaan PPN atas pemanfaatan barang atau jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean seperti produk digital ini bukan hal yang baru di dalam sistem perpajakan Indonesia. Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah menyebutkan, orang pribadi atau badan yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Masalah muncul dalam praktik di lapangan. Mekanisme pemungutan, pembayaran, dan pengawasan relatif sulit untuk dilaksanakan dalam konteks Business to Customer, atas penjualan produk digital dari perusahaan di luar negeri kepada konsumen akhir pengguna layanan di dalam negeri. Pada akhirnya konsumen tidak membayar PPN.

Sedangkan para pelaku usaha di tanah air yang menjual produk digital kepada konsumennya telah memungut PPN. Artinya penjualan konten digital dalam negeri dikenakan PPN, sedangkan konten digital asing bebas PPN. Akibatnya muncul disparitas harga yang mencolok antara produk digital dari luar negeri dan dalam negeri. Harga jual konten digital lokal menjadi lebih mahal daripada harga jual konten digital asing.

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dalam sebuah audiensi kepada Kementerian Keuangan pada pertengahan Juni 2020 lalu mendukung ketentuan pengenaan PPN atas produk digital yang dijual para pemain digital asing ini karena menciptakan equal level of playing field terhadap penyedia produk digital dalam negeri.

Ketentuan ini pun selain memberikan kepastian hukum juga memberikan ketegasan terhadap para pelaku usaha digital luar negeri yang tidak melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PMSE. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang adalah landasan hukum dari Peraturan Menteri Keuangan di atas.

Di sana, selain sanksi administrasi berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat sanksi berupa pemutusan akses oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. Pemutusan akses itu berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. Ini pun jika para pelaku usaha digital luar negeri sebelumnya tidak mengindahkan teguran Menteri Keuangan sampai batas waktu yang ditentukan.

Tentu bukan semangat penegakan hukum yang ditonjolkan pada saat ini, melainkan semangat memberikan kemudahan kepada para pelaku usaha PMSE dalam memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN PMSE. Antara lain administrasi perpajakan yang tak rigid; penyetoran ke kas negara dengan mata uang yang lebih fleksibel, serta pelaporan yang longgar dalam waktu triwulanan dan mudah dengan menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan.

Dengan semua ini Indonesia telah menyusul puluhan negara lain di seluruh dunia yang telah menerapkan PPN atas produk digital. Semisal, dalam laman situs web Global VAT Compliance menyebutkan, Norwegia sudah menerapkannya sejak 1 Juli 2011 dengan tarif sebesar 25% dan Uganda sejak 1 Juli 2018 dengan tarif 18%.

***
Konsep Asli
Ditulis untuk DJP, untuk APBN Kita
Dimuat di Publikasi Kementerian Keuangan https://www.kemenkeu.go.id/media/15742/apbn-kita-juli-2020.pdf 

 

Perbincangan 10 Nomor Whatsapp

$
0
0

Puisi ini terdapat dalam antologi Buku Hari Pajak 2020 yang berjudul: Bangkit Bersama Pajak dengan Gotong Royong dalam Foto, Poster, dan Untaian Puisi. Selamat menikmati.

*

Dua pekan menjelang akhir Maret kami lahir kembar 10.
Delapan penjuru mata angin merayakan kelahiran kami.
Diumumkan oleh matahari, gelombang laut, pelangi, dan sedikit sepi di hati.
Kami cepat dewasa seperti seroja karenanya kami sudah memikul buana.
Kamu, kamu, dan kamu harus bertugas menerima pesan dari siapapun yang bertanya pajak. Harus bisa menjawabnya dan tak perlu galak. Pesan mahaguru kepada kami dengan berakhlak.
Sejak itu kami menerima segala amaran. Tentu bukan seperti ini:
“Sedang melakukan apa pagi ini?”
“Sudah sarapan?”
“Jangan lupa makan siang, nanti kena maag loh.”
“Puisi ini buat kamu.”
Yang kami terima:
“Saya lupa EFIN.”
“Sistem lagi mati?”
“Cara lapor SPT online bagaimana?”
Kami berlapang dada menerima seperti batu karang yang bersedia disambar gelombang laut pantai selatan.
Mulai delapan pagi sampai lima sore. Seringnya sampai malam ditemani morfem dan fonem dari mahaguru yang ngelindur.
Lelah kami tumpas, jika pesan ini datang bersaf-saf.
“Terima kasih pencerahannnya.”
“Ini sangat membantu.”
“Bagus kok pelayanannya.”
“Jempol empat.”
Sebentar, sebentar, sebentar apelku hendak mati. Sudah 2%.
Mahaguru bilang, sambil tak menoleh tetap asyik membaca buku: *Sejarah Amtenar dari Masa ke Masa*
“Istirahatlah dengan tenang. Besok kita kerja lagi.”

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
5 Juli 2020
Gambar dari zedge.net

Memetik Pelajaran dari Pelanggan Netflix, Mereka Berbohong

$
0
0

“Algoritma mengenal Anda dengan lebih baik ketimbang Anda mengenal diri sendiri,” Xavier Amatriain, mantan ilmuwan data di Netflix.

Lawrence Summer—mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat, mantan rektor Harvard, dan penerima penghargaan ilmu ekonomi, mengundang Seth Stephens-Davidowitz ke kantornya. Summer ingin membahas tentang big data.

Pembicaraan akrab mereka berdua tentang segala gagasan lewat setengah jam dari jadwal waktu yang ditentukan. Sampai pada pertanyaan inti dari Summer. “Apakah menurut Anda, kita bisa meramalkan pasar saham dengan data ini?”

Pertanyaan yang paling manusiawi. Kehendak duniawi yang purba sejak Adam tercipta sebagai manusia pertama. Intinya adalah apakah bisa sumber-sumber big data secara sukses dapat memprediksi ke arah mana saham akan bergerak?

Seth Stephens-Davidowitz menulis cerita ini dalam bukunya yang berjudul Everybody Lies, Big Data dan Apa yang Diungkapkan Internet tentang Siapa Kita Sesungguhnya. Sebagai ilmuwan data, peraih gelar Ph.D dari Harvard ini pernah bekerja di Google dan menangani banyak data.

Sejak 1998 Google mengumpulkan data dari para pengunjung yang menuliskan kata-kata pencarian di dalam kotak sederhananya. Dengan keajaiban algoritma, Google pelan-pelan menciptakan sumber big data yang paling kaya di alam semesta. Dalam satu hari rata-rata di bagian awal abad ke-21 ini, manusia menghasilkan 2,5 juta triliun byte data (hal.15).

Yang patut diingat adalah big data yang menjadi sebuah gerak revolusi bukanlah sekadar menghimpun data sebanyak-banyaknya, melainkan juga soal pengumpulan data yang tepat. Para insinyur Google ini yang melakukannya lebih baik sehingga meninggalkan para pesaingnya.

 

Empat Kedahsyatan

Di dalam buku itu, Davidowitz menjelaskan empat keutamaan big data. Pertama, big data menawarkan jenis-jenis data yang baru yang sulit didapat hanya dengan mengandalkan metode survei konvensional.

Ketika ingin melihat hal-hal apa yang berkaitan dengan tingkat pengangguran, maka bukan pada kata kunci unemployment office atau new jobs yang paling banyak dicari, tetapi Spider Solitaire. Kesimpulan yang bisa diambil adalah orang yang menganggur akan banyak bermain “games”. Maka ini bisa menjadi model peramalan untuk melacak angka pengangguran. Jadi, nilai big data bukan pada ukurannya saja, namun juga pada tawaran bentuk informasi baru untuk bisa dipejari.

Di kolom pencarian Google, para pengunjung dengan bebas dan tanpa rasa takut mengetikkan segala tanya yang ada di benaknya yang mahaluas karena mereka anonim. Google tidak merekam siapa menanyakan apa. Dari sanalah hipotesis itu muncul: big data memberikan kejujuran. Inilah keunggulan kedua big data: menyediakan data yang jujur. Dengarlah cerita Netflix berikut.

Awalnya, Netflix memperbolehkan para pelanggannya membuat daftar urutan film yang ingin mereka tonton. Biasanya para pelanggan akan memasukkan banyak film dengan tema-tema serius dan bermutu tinggi. Kemudian, Netflix secara rutin mengingatkan kepada para pelanggan tentang film-film yang ingin diputar berdasarkan data yang ada di daftar itu. Hasilnya malah mereka tidak menonton film. Para pelanggan itu menonton film bertema komedi murahan atau percintaan. Mereka berbohong. Everybody lies.

Netflix menghentikan cara itu. Lalu mulai membangun model berdasarkan jutaan klik dan view dari pelanggan yang sama. Netflix menawarkan film bukan dari daftar film berdasarkan pengakuan pelanggan, melainkan berdasarkan data dari film-film yang para pelanggan tonton.

Hasilnya adalah orang mengunjungi Netflix lebih sering dan pelanggan menonton lebih banyak film. Davidowitz menulis, jangan memercayai apa yang orang katakan kepada Anda, percayalah pada apa yang mereka lakukan.

Kemudian, kedahsyatan ketiga dari big data itu adalah memungkinkan kita memusatkan perhatian pada subhimpunan kecil. Sebuah keadaan yang tidak bisa dicapai oleh penelitian dengan cara konvensional yang menyediakan informasi bersifat tahunan atau barangkali bulanan, paling untung setiap pekanan. Dengan big data, penelitian bisa mengambil data jam demi jam atau bahkan menit demi menit. Maka dengan begitu Facebook bisa mengubah tampilan lamannya setiap tiga jam berdasarkan pengalaman pengguna yang dihimpun Facebook.

Dengan big data, peneliti bisa mendata dari menit ke menit jumlah konsumsi air di sebuah kota yang menjadi tempat pertandingan Olimpiade, bisa mendata pula orang-orang yang pindah dari Philadelphia ke Miami dan mulai berbohong dalam laporan pajak. Data sedemikian besar dan kaya sehingga pemeriksaan lebih mendetail dan lebih dekat lagi.

Keempat, kehebatan big data memungkinkan kita melakukan banyak eksperimen sebab-akibat. Dengan eksperimen acak melalui Uji A/B itulah revolusi internet dimulai, tanpa biaya mahal, dan dapat dikerjakan dengan mudah, kapan saja, di mana saja, selama manusia terhubung internet.

Intinya adalah Uji A/B menawarkan pilihan kepada pengguna internet mana yang menurut mereka terbaik. Uji A/B menggunakan pengalaman pengguna sebagai dasarnya. Jadi sebelum sebuah produk diluncurkan, para pengembang memberikan produk itu untuk dites terlebih dahulu kepada warganet. Mereka mengumpulkan klik. Dari sanalah kesimpulan diambil.

Maka dengan menggunakan desain kampanye yang dipilih dari Uji A/B itu pantas Obama mendapatkan dana kampanye sebesar 69 juta dolar dan memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat. Facebook menggunakan 1000 Uji A/B setiap harinya. Google meraup untung dengan melakukan tujuh ribu Uji A/B setiap harinya pada 2011.

 

Keterbatasan Big Data

Kehebatan big data ini yang membuat para ilmuwan sosial di masa lalu seperti Kinsey, Foucalt, Freud, dan Salk akan iri.  Namun, tetap saja big data ada keterbatasannya. Big data memberikan himpunan data yang lebih baru dan ini sering memberi tambahan variabel eksponensial dibanding sumber data tradisional.  Big data memberikan bahan uji yang terlalu banyak. Solusinya tidak selalu lebih banyak big data. Perlu upaya mengefektifkan big data dengan cara penilaian manusia dan survei kecil. Facebook kadang memanfaatkan sumber informasi yang banyak diremehkan di buku ini: survei kecil.

Di sana, Davidowitz memberikan garis batas bahwa big data tidak melulu menghadirkan data untuk tiap pertanyaan. Big data dan data kecil itu saling melengkapi.

Buku ini menarik karena selain lumuran kisah-kisah yang ada di sepanjang halamannya, Davidowitz mampu menyajikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penting seperti ini: apakah iklan memang efektif untuk memasarkan barang? Pentingkah di mana kita kuliah? Di mana tempat terbaik untuk membesarkan anak? Berapa banyak orang tuntas membaca buku? Dan terpenting adalah pertanyaan apakah orang-orang akan benar-benar jujur di dunia nyata dibandingkan keberadaannya di dunia maya?

Desain kaver buku ini berbeda dengan buku yang dicetak dalam bahasa aslinya, namun menurut saya desain buku terjemahan ini malah lebih ciamik. Buat Anda yang menyukai dunia teknologi informasi dan perkembangannya, maka buku ini sangat layak dibaca. Davidowitz seperti Malcolm Gladwell di dunianya sendiri.

Lalu bagaimana jawaban Davidowitz atas pertanyaan Summer di atas? Tidak. Big data tidak mampu meramal pasar saham, kalaupun iya, Davidowitz sudah menggunakannya sejak dulu dan tidak melahirkan karya besarnya: buku ini.

**
Judul buku:  Everybody Lies, Big Data dan Apa yang Diungkapkan Internet tentang Siapa Kita Sesungguhnya
Penulis            : Seth Stephens-Davidowitz
Penerjemah     : Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Edisi                 : Cetakan ketiga, Juni 2019

 

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
30 Juli 2020

Work From Heart

$
0
0

Puisi ini terdapat dalam antologi Buku Hari Pajak 2020 yang berjudul: Bangkit Bersama Pajak dengan Gotong Royong dalam Foto, Poster, dan Untaian Puisi. Selamat menikmati.

:untuk diajeng di seberang lautan

Wabah ini membuatku tak bisa kemana-mana. Aku di Tolitoli menjaga pundi-pundi. Tiga purnama aku tak bisa berjumpa. 2700 kilometer dari rumah kita. Jarak tak mampu memisahkan jiwa, apalagi renjana. Aku memanggilmu diajeng kalau aku sedang sayang, memanggilmu ibu di depan anak-anak, memanggilmu kakak di saat mesra. Aku harus meneleponmu tiga kali seperti minum obat. Pagi, siang, dan malam. Menjaga stamina cinta, saat jauh apalagi dekat. Aku tidak bekerja dari rumah, aku bekerja dari hati, hati yang memelihara malam, tempat aku memanen rindu yang tak pernah kenal pejam, tunggu aku di puncak pertemuan, sebentar lagi aku pulang.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
4 Juli 2020


Berlari di Malam Jumat Kliwon

$
0
0

Sudah engap. Jalanan gelap. Malam Jumat Kliwon.

Genap satu minggu, tidak lebih, kami Tim DJP Kuat menyelesaikan lari sejauh 375 km. BC Runners berkolaborasi dengan ASNation menyelenggarakan lari virtual dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-75 Republik Indonesia. Kegiatan ini khusus untuk amtenar.

Pandemi Covid-19 membuat banyak lomba lari dibatalkan sejak Maret 2020. Untuk tetap menjaga protokol kesehatan penyelenggara kegiatan lari mengganti formatnya menjadi virtual. Peserta lomba tidak berkumpul di satu tempat dan cukup lari di lokasinya masing-masing.

Event ini pun demikian. Pesertanya bukan individual, tetapi grup. Satu grup terdiri dari lima orang, terdiri dari satu perempuan dan empat laki-laki.

Setiap grup harus menyelesaikan lari dengan total jarak 375 km dalam waktu 14 hari sejak 1 sampai dengan 14 Agustus 2020. Jadi masing-masing anggota grup mendapat jatah lari 75 km. Grup yang paling cepat menyelesaikan larinya maka merekalah yang juara. Kalau ada banyak grup yang berhasil finis di hari yang sama akan dilihat siapa yang paling cepat menyelesaikan jarak 375 km itu.

Awalnya saya tak mau ikut karena masih fokus pada latihan Freeletics. Intensitas lari saya berkurang sejak pandemi ini. Seminggu sekali atau bahkan tak jarang lebih dari sepuluh hari saya baru lari. Itu saja. Tiba-tiba saya kemudian sudah masuk jadi anggota tim yang dibentuk oleh teman-teman DJP Runners.

Tim ini bernama DJP Kuat. Rata-rata berumur di atas 44 tahunan. Tim ini terdiri dari:

Riza Almanfaluthi
Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
Kepala Seksi Pengelolaan Situs

Hidayat Al Ahsan
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) PMA4
Account Representative

Rice Wandansari
KPP Pratama Jakarta Setiabudi Empat
Kepala Subagian Umum dan Kepatuhan Internal

Dhani Restyo (Kapten/Ketua)
KPP PMA 4
Fungsional Pemeriksa

Bambang Tejo
KPP PMA 4
Supervisor Pemeriksa

Dhani Restyo didapuk jadi ketua karena masih muda dan kuat. Grup kami tidak punya target apapun kecuali bisa menyelesaikan 375 km itu.

Kalau sudah ditunjuk begini mau tidak mau saya harus lari. Dalam benak saya, kegiatan ini jadi momen untuk rajin lari. Saya punya bayangan, saya cukup berlari sejauh 5 km setiap harinya. Jadi enak dan tidak ngoyo. Bayangan saya salah, hilang sebentar saja serupa senja di pinggir Pantai Cemara, Tapaktuan, Aceh Selatan.

 

Hari Pertama, Sabtu, 01 Agustus 2020

Lari itu enaknya di pagi hari. Hawa segar, oksigen banyak, dan adem. Tetapi saya tak memiliki kemewahan itu. Saya masih harus mempersiapkan bahan mengajar pada pukul 07.30. Jadi di hari pertama itu saya akan lari di sore hari.

Di grup Whatsapp sudah tampak teman-teman yang mulai melaporkan hasil larinya sepanjang pagi. Bahkan sampai belasan dan puluhan kilometer. Bahkan teman satu grup pun demikian. Aduh, kayaknya saya enggak bisa nih cuma 5 km sehari. Takutnya nanti membebani teman-teman satu grup karena jarak yang tak maksimal diselesaikan.

Saya terakhir lari pada 21 Juli 2020. Sepuluh hari saya tak lari. Baik, saya lakoni saja peran ini. Saya akan menikmati pelarian sore ini. Ya, benar. Satu kilometer pertama pace saya hanya 7:45 menit/km. Kemudian merosot memasuki KM-5, jadi 8:07 menit/km dan lebih buruk lagi di km berikutnya. Saya benar-benar merasakan beratnya. Di KM-9 bahkan menjadi pace terburuk saya di 9:30 menit/km.

Ingat, pace adalah satuan lari yang mengisyaratkan jumlah menit yang diperlukan untuk menempuh 1 km.

Saya merasakan lemah dan lapar sampai kemudian saya berhenti di KM-11. Ini saja butuh waktu 1 jam 34 menitan. Lalu saya jalan kaki. Merasa kehausan juga. Saya enggak bawa duit lagi. Sesuatu yang disesali. Nanti kalau lari lagi saya akan bawa duit buat beli minuman.

Rumah sudah dekat. Saya memaksakan diri untuk lari, sayang kalau enggak lari. Akhirnya saya bisa lari dengan terseok-seok sejauh 1 km sampai depan rumah. Hari pertama ini saya bisa menyelesaikan jarak lari sepanjang 12 km. Alhamdulillah.

Garmin saya menunjukkan angka 12 km, tetapi aplikasi Strava di telepon genggam hanya mencatat 11,95 km. Angkanya lebih sedikit. Terpotong 50 meteran. Saya berkesimpulan, kalau saya lari memakai jam tangan Garmin saya harus menambahkan jarak 100 meter. Misal saya mau berlari 5 km, maka saya harus minimal lari 5,1 km. Supaya angka di Strava-nya mencukupi.

Hari pertama ini saya mendapatkan banyak pelajaran. Saya harus cukup waktu tidur, makan yang banyak untuk menjaga asupan energi, dan bawa hepeng.

Hari pertama, tim kami sudah mengakumulasi 45,75 km dengan rincian:

  1. Riza Almanfaluthi: 11,95 km
  2. Hidayat Al Ahsan 6,13 km
  3. Rice Wandansari: 10 km
  4. Dhani Restyo: 10,65 km
  5. Bambang Tejo: 7,02 km

 

Hari Kedua, Ahad, 2 Agustus 2020

Hari Ahad selalu menjadi hari lari internasional. Saya yakin kalau banyak peserta lari virtual yang akan mengumpulkan jarak di hari Ahad ini. Buat mereka yang sedang work from home ataupun work from office memang tidak mudah mengatur jadwal larinya di hari kerja besok.

Pagi itu saya lari pagi sehabis salat Subuh, bawa uang, dan berhasil menyelesaikan jarak 11,09 km tanpa berhenti dan tanpa membeli air minum. Nanti sore lanjut lari lagi. Saya butuh makan nasi buat menambah energi.

Pada sore harinya saya masih semangat, saya lari lagi, dan bisa lari sejauh 6,09 km. Prinsip saya begini, pokoknya lari 2 km saja dulu, kalau masih kuat lanjut, kalau enggak ya sudah berhenti saja. Ternyata, biasanya sampai di KM-2 itu masih bugar, akhirnya saya lanjut lari. Tahu-tahu sudah 5 km dan seterusnya.

Hari kedua, tim kami sudah mengakumulasi 74,08 km dengan rincian:

  1. Riza Almanfaluthi: 17,18 km
  2. Hidayat Al Ahsan 10,14 km
  3. Rice Wandansari: 15,74 km
  4. Dhani Restyo: 21 km
  5. Bambang Tejo: 10,02 km

Di hari kedua ini saya sudah berlari sejauh 29,13 km. Tim DJP Kuat sudah mengumpulkan total 119,83 km. Semoga di hari Senin besok saya bisa lari.

 

Hari Ketiga, Senin, 3 Agustus 2020

Semangat lari masih berkobar. Sehabis salat Subuh saya lari, niatnya cuma 2 km saja, eh, ternyata bisa sampai 5 km. Setelah itu berangkat ke kantor.

Sore harinya lanjut lari. Walaupun sudah kesorean banget. Saya mulai lari pada 17.12. Enggak jauh-jauh. Lari di sekitaran Jalan Widya Chandra, di belakang kantor. Saya bisa lari sejauh 6,18 km.

Pelajaran yang bisa diingat di kening dan untuk dikenang adalah tidak ada.

Hari ketiga, tim kami sudah mengakumulasi 40,47 km dengan rincian:

  1. Riza Almanfaluthi: 11,23 km
  2. Hidayat Al Ahsan 12,87 km
  3. Rice Wandansari: 6,08 km
  4. Dhani Restyo: 10,29 km
  5. Bambang Tejo: 0 km

Di hari ketiga ini saya sudah berlari sejauh 40,36 km. Sampai hari ketiga ini saya masih berlari di atas 10 km. Tim DJP Kuat sudah mengumpulkan total 160,3 km.

 

Hari Keempat, Selasa, 4 Agustus 2020

Saya mager. Inginnya terus lari, tetapi tubuh butuh istirahat jadi alasan kuat. Akhirnya di hari keempat itu pencapaian lari saya nihil. Teman-teman yang lain dalam satu grup masih terus lari.

Hari keempat, tim kami sudah mengakumulasi 50,67 km dengan rincian:

  1. Riza Almanfaluthi: 0 km
  2. Hidayat Al Ahsan: 14,39 km
  3. Rice Wandansari: 7,7 km
  4. Dhani Restyo: 15,08
  5. Bambang Tejo: 13,5 km

Mileage saya masih di angka 40,36 km. Tim DJP Kuat sudah berlari sejauh 210,97 km.

Pelajaran yang bisa diambil adalah jangan sia-siakan waktu luangmu karena itu akan membuatmu menyesal. Pepatah nenek moyang itu sudah benar: berakit-rakit dahulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Saya sebaliknya.

 

Hari Kelima, Rabu, 5 Agustus 2020

Hari ini Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat punya gawe besar. Ada acara Lokakarya Kontributor Konten Situs Web Pajak 2020. Tim dari seksi kami yang jadi tuan rumah acara itu. Jadi saya putuskan tidak lari pagi dulu. Acara itu harus disiapkan dengan baik karena akan diikuti lebih dari 1000 pegawai pajak dari unit vertikal di seluruh Indonesia.

Sampai sore acara berjalan dengan lancar. Alhamdulillah. Langsung gaskeun. Setelahnya, saya lari menuju Stadion Gelora Bung Karno, tepatnya di jalanan di luar stadion. Herannya, saya kuat lari sejauh 12,15 itu tanpa henti. Pas azan Magrib saya sudah sampai di depan lobi Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

Hari kelima, tim kami sudah mengakumulasi 38,27 km. Ini mileage terendah sejak hari pertama kegiatan lari ini. Mas Tejo dan Mas Dayat istirahat lari dulu. Mbak Rice terus konsisten berlari tanpa hari jeda dan Mas Dhani menjadi orang pertama di tim kami yang berhasil finis melampaui 75 km. Great!!!

Rinciannya begini:

  1. Riza Almanfaluthi: 12,15 km
  2. Hidayat Al Ahsan: 0 km
  3. Rice Wandansari: 7,94 km
  4. Dhani Restyo: 18,18 km
  5. Bambang Tejo: 0 km

Sampai hari kelima ini saya sudah berlari sejauh 52,51 km. Tim DJP Kuat sudah berlari sejauh 249,24 km.

 

Hari Keenam, Kamis, 6 Agustus 2020

Setelah sore kemarinnya saya lari jauh, hari ini lagi-lagi malas mendera. Jadinya pagi itu saya tidak lari. Sore juga tidak lari. Padahal pakaian lari sudah saya bawa dari rumah. Sore itu saya putuskan pulang ke rumah saja.

Setelah melaju naik motor selama 1 jam 30 menit, saya sampai di rumah. Di sana saya mulai tergerak untuk lari minimal 1 atau 2 km saja. Akhirnya ya, saya tekadkan untuk lari selepas salat Isya. Penting sekali membuang rasa bersalah kepadamu ini karena malas ini agar tidak menjadi residu, di jiwa dan di kalbu.

Yup, malam itu saya bolak-balik lari di jalanan bagian belakang kompleks, di pinggir Sungai Pesanggrahan, dekat banyak pohon tinggi dan besar-besar itu. Mencari tempat sepi untuk menghindari pertanyaan mengapa malam-malam lari.

Saya bisa mendapatkan 2,59 km. Lumayan, sedikit juga. Niat lari 5 km saya batalkan. Sudah engap. Jalanan gelap. Malam Jumat Kliwon. Enggak percaya? Cek saja.

Hari keenam, tim kami sudah mengakumulasi 52,07 km. Dengan rincian:

  1. Riza Almanfaluthi: 2,59 km
  2. Hidayat Al Ahsan: 16,51 km
  3. Rice Wandansari: 16,83 km
  4. Dhani Restyo: 0
  5. Bambang Tejo: 16,14 km

Sampai hari keenam ini saya sudah berlari sejauh 55,1 km. Kurang 19,9 km lagi. Sedangkan Tim DJP Kuat sudah berhasil mengumpulkan jarak 301,31 km. Kurang 74 km lagi.

Malam itu, di grup percakapan, kami memutuskan untuk berkumpul di Taman Tebet pada Jumat besok pagi untuk menyelesaikan jarak tersisa. Niat hakikinya adalah untuk foto bareng. Sudah itu saja.

Pelajaran yang bisa dipotek tentang berlari di Malam Jumat Kliwon adalah malam-malam yang biasa saja.

Hari Ketujuh, Jumat, 8 Agustus 2020

Saya punya rencana menuntaskan sisa 20 km itu pada hari ini dengan membaginya pagi dan sore. Pagi, lari 10 km dan sore, lari 10 km juga.

Habis salat Subuh saya segera berangkat ke kantor. Jalanan masih sepi. Saya bisa tiba di kantor lebih pagi. Setelah memarkirkan motor saya lari menuju tempat rendezvous. Biasanya kalau Jumat pagi saya lari dari Stasiun Cawang menuju kantor, sekarang kebalikannya, saya lari dari kantor menuju Taman Tebet dekat Stasiun Cawang.

Saya finis di Taman Honda dengan jarak 6,44 km dari kantor. Kemudian lari lagi sejauh 2,18 km di Taman Tebet yang lokasinya di sebelah Taman Honda. Lumayan, mengumpulkan mileage sedikit demi sedikit. Pagi ini sudah dapat 8 km lebih sedikit.

Tidak lama, Mas Dayat, Mas Dhany, dan Mbak Rice datang. Om BT enggak tampak batang hidungnya. Akhirnya kami berempat foto-foto. Setelah itu selesai. Bubar. Saya balik ke kantor dengan mencoba lari lagi untuk menuntaskan 2 km supaya genap jadi 10 km.

Dari Taman Tebet saya mulai lari dan sampai di Perempatan Pancoran terhalang lampu merah. Mau menyeberang juga enggak bisa karena laju kendaraan yang cepat-cepat padahal jam lari tidak saya matikan. Wah, kalau begini pace-nya bisa buruk. Akhirnya saya putuskan stop. Di Perempatan Pancoran itu saya sudah berlari 1,14 km. Tinggal sekilo deui.

Setelah bisa menyeberang jalan saya pencet Garmin lagi dan mulai lari. Saya enggak muluk-muluk cukup mencari 1 km saja. Yup, hampir 8 menit saya berlari dalam jarak 1,1 km. Berhasil. Pagi itu saya sudah berlari sejauh 10,86 km. Tinggal 9 km lagi untuk menggenapi angka 75 km. Nanti sore, sehabis jam kerja, saya akan lari di Gelora Bung Karno. Sekarang, sudah terbayang mi ayam dan secangkir hot cappuccino.

 

Fin.

Dapat info kalau Mbak Rice sudah finis pagi ini. Berarti tinggal saya, Mas Dayat, Mas Tejo yang belum. Saya kurang 9 km lagi, Mas Dayat kurang 7 km, dan Mas Tejo kurang 10 km lagi.

Ya, tinggal 9 km saja buat saya. Saya sudah siap lari dan menyelesaikan tugas saya. Sore ini, saya lari dari kantor, melewati sebagian SCBD, lalu ke Stadion Gelora Bung Karno dengan menyeberangi Jembatan Semanggi, melewati Hotel Sultan dan Balai Sidang Senayan, masuk dari pintu di Jalan Gerbang Pemuda.

Di KM-7 saya mulai merasakan kelelahan. Lari sore itu memang benar-benar beda dengan lari pagi. Barangkali ini juga efek lari pagi tadi. Saya berhenti di KM-7,16. Padahal tinggal dua km lagi. Ada penjual minuman di situ. Saya minum yang manis-manis dulu. Setelah istirahat sebentar saya lari lagi. Dua kilometer tersisa itu saya pastikan untuk perjalanan pulang. Pelan-pelan tapi pasti.

Saya lari dapat dua km. Sebenarnya ini sudah genap 75 km, tetapi karena tanggung belum sampai kantor, akhirnya saya tambahkan sedikit lagi jarak lari saya sampai di pintu lobi utama kantor. Akhirnya saya selesai. Finis. Saya hanya berlari 3,28 km saja. Sore itu kalau dihitung-hitung dengan lari paginya, saya sudah berlari sepanjang 21,3 km.

Mas Dayat dan Mas Tejo menyelesaikannya malam-malam di kompleks rumahnya masing-masing. Kalau ditotal Mas Tejo hari itu lari sejauh 30 km lebih. Sangar. Kami memang berniat menyelesaikannya hari ini juga apapun yang terjadi.

Hari ketujuh, tim kami sudah mengakumulasi 80,07 km. Ini jarak terjauh yang pernah kami tempuh selama sepekan ini. Akhirnya rincian mileage masing-masing di hari terakhir ini adalah sebagai berikut:

  1. Riza Almanfaluthi: 21,3 km
  2. Hidayat Al Ahsan: 16,1 km
  3. Rice Wandansari: 12,49 km
  4. Dhani Restyo: 0
  5. Bambang Tejo: 30,18 km

Seumur-umur saya belum pernah lari dalam seminggu sampai 75 km begitu. Belum pernah juga paginya lari terus sore atau malamnya lari lagi. Bahkan sewaktu mempersiapkan Borobudur Marathon dan Bandung Marathon juga tak begini-begini amat. Hanya di kegiatan ini saja.

Selama sepekan, saya lari sejauh 76,4 km dan Tim DJP Kuat telah berlari sepanjang 381,38 km. Mbak Rice konsisten lari setiap hari selama tujuh hari. Kami unggah hasil lari Mas Dayat dan Mas Tejo di menit-menit terakhir batas pelaporan lari harian itu pukul 22.00. Akhirnya kami finis semua.

Bagaimana posisi tim? Kami belum mengetahuinya. Pada 17 Agustus 2020 akan ada hasil akhir dan pengumumannya. Daftar peringkat di leaderboard masih berubah-ubah berdasarkan jarak tempuh. Tim lain yang sudah finis ada yang anggotanya masih terus lari sehingga menambah mileage mereka dan mengubah susunan leaderboard. Hebat euy.

Kami cukupkan sampai di angka 375 km karena jumlah km tambahan tak berpengaruh kepada peringkat. Enggak dihitung.

Kami pernah menangkap layar (screenshot) klasemen sementara, Tim DJP Kuat menduduki posisi kelima. Wah, senangnya. Tetapi apapun itu lari virtual secara grup ini benar-benar bermanfaat buat saya dan tim. Saya jadi dipaksa untuk rutin lari dan terbit kebersamaan di antara kami.

Pelajaran yang bisa diserap adalah sing penting wis tau, wis tau jeruuu…

Terima kasih kepada teman-teman DJP Runners yang menjebloskan saya ke dalam kegiatan lari ini dan telah menggabungkan saya ke dalam grup hebat ini.

Thanks gaes…

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
9 Agustus 2020
Di hari kelahiran Kinan

Mengurangi 3.000.000 Butir Permen

$
0
0

Tahu tidak? Ketika kita datang ke sebuah layanan pelanggan (customer service) perusahaan kita menjumpai di mejanya ada yang menyediakan permen dalam sebuah mangkuk atau toples kecil.  Penggunaan mangkuk dan toples ini ternyata punya dampak berbeda-beda. Berdasarkan penelitian, menggunakan toples lebih menghemat konsumsi permen dibandingkan menggunakan mangkuk. Mengapa demikian?

Ini karena penggunaan mangkuk tanpa ada penutup senantiasa memantik keinginan pelanggan untuk mengambil permen, entah seberapa besar atau kecil keinginannya dalam mengonsumsi permen. Sedangkan kalau diletakkan dalam toples yang ada penutupnya akan ada usaha kecil untuk dapat mengambil permen. Itu saja sudah dapat menghambat keinginan yang tak besar memakan gula-gula.

Penelitian sederhana dilakukan di kantor Google di New York. Seperti kita tahu, Google royal soal kudapan. Suatu ketika mereka melakukan perubahan kecil, tetapi dampaknya besar. Mereka tidak lagi meletakkan permen M&M itu di dalam sebuah mangkuk, melainkan di dalam toples. Apa yang terjadi? Orang memakannya tiga juta lebih sedikit dalam satu bulan. Memangnya ada yah sampai menghitungnya begitu? Ada.

Ini sebenarnya mau bicara apa? Saya hanya mau menyampaikan sesuatu tentang bagaimana menyingkirkan hal-hal yang bisa mendistraksi fokus kita akan sesuatu. Lakukan perubahan kecil, tidak perlu besar-besar, namun efeknya enggak main-main.

Buatlah sesuatu yang mempersulit kita untuk melakukan hal yang mendistraksi kita. Contoh: singkirkan hp dari jangkauan tangan, senyapkan dering telepon, tutup Whatsapp. Ini untuk teman-teman yang kerja dari kantor (WFO) saja kali yah, kalau kerja dari rumah (WFH) jangan, nanti Anda dikira sebagai perebah dan pemalas. 😊 😊 😊

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
12 Agustus 2020
Gambar dari Summitcc.edu

Resensi Buku Republika Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini: Mozaik Hikmah Kehidupan

$
0
0


Roger Bannister merupakan pria bersejarah dari Inggris. Pada 6 Mei 1954, dia memecahkan rekor lari dengan waktu tiga menit 59,4 detik. Catatannya memecahkan rekor lari satu mil yang ada selama itu. Torehan waktu larinya bahkan tercatat di Guinnes Book of Record.  Pada zaman itu, hasil penelitian dan petunjuk dokter mencatat bahwa mustahil manusia bisa berlari satu mil dalam jangka waktu di bawah empat menit.

Apa yang terjadi kemudian? Rekor Roger tidak bertahan lama. Hanya dalam jangka waktu 46 hari catatan waktunya sudah bisa dipecahkan. Kurang dari tiga tahun, lusinan pelari sudah memecahkan rekor lari tersebut. Berlari satu mil dengan waktu di bawah empat menit bahkan sudah menjadi batasan waktu dalam kualifikasi pelari profesional.

Kisah tentang Bannister menjadi satu dari 34 tulisan karya Riza Almanfaluthi, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Terbilang langka seorang PNS bisa membuat buku dengan bahasa yang renyah dan mudah dinikmati publik. Dalam buku ini, Riza menjahit kisah-kisahyang memiliki kekayaan hikmah di dalamnya.

Buku ini dibagi hanya dalam tiga bab, yakni Spirit, Kulusentana, dan Nuraga. Kisah Bannister ada pada bab Spirit karena mengisahkan betapa berharga kemampuan manusia saat mampu melewati batas. Pada bab tiga, ada satu tulisan yang dijadikan judul buku ini: “Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini”. Kisah ini mengandung ironi saat engkong meninggal dunia tanpa meninggalkan banda (harta).

Enyak harus menanggung bermacam biaya yang anehnya kental dengan nuansa keagamaan; untuk amplop imam dan makmum shalat jenazah, upah penggali kubur, biaya tahlil tujuh malam, biaya pengajian tujuh malam, dan tetek bengek lainnya. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, semua ritual itu tak ada aturannya dalam Islam. Masalah ini merupakan pekerjaan rumah umat yang masih dirasakan sekarang. Jangan sampai menyusahkan keluarga yang meninggal. Bantu anak-anak yatim mereka bukan menghabiskan harta dengan segala macam ritual. [ed: a syalaby ichsan]

 

Judul                   : Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini
Penulis                : Riza Almanfaluthi
Penerbit             : Maghza Pustaka
Tahun Cetak      : 5 April 2020
Tebal Buku         : 187 Halaman

 

***
Resensi ini diterbitkan oleh Koran Harian Nasional Republika pada Jumat, 14 Agustus 2020 dalam Rubrik REHAL.

Derai Air Mata di Balik Meterai

$
0
0
Kinan (kiri depan) bersama teman-teman di kelasnya di SMPIT Pondok Pesantren Alkahfi, Cigombong, Bogor pada Selasa, 18 Agustus 2020.

Pagi ini, kami satu keluarga mengantarkan Kinan untuk memasuki Pondok Pesantren Al-Kahfi di Cigombong, Bogor. Kinan sekarang kelas VII SMP. Di periode pertama, akhir Juli 2020 lalu, Kinan melewatkan kesempatan memasuki pesantren karena kami masih khawatir dengan situasi pandemi, belum menyiapkan segala keperluan Kinan dengan lengkap, dan kesibukan kami.

Pesantren membuka kembali periode memasuki pesantren pada Ahad, 16 Agustus 2020. Setelah Kinan masuk pesantren, Kinan tidak boleh dijenguk, tidak boleh pulang, dan baru bisa pulang pada akhir Desember 2020.

Kami berangkat dari rumah pukul 09.45. Perjalanan lancar melewati jalanan yang hampir saya lupa. Google Maps menunjukkan rute yang tidak melewati jalan tol. Padahal dengan melewati jalan tol waktu tempuh bisa dipersingkat. Apalagi setelah ada jalan tol baru Ciawi-Caringin.

Sampai di sana, protokol kesehatan benar-benar diterapkan. Di pintu gerbang pesantren, semua penumpang di cek suhunya. Mobil pun masuk melalui tenda penyemprot disinfektan. Saya lama-lama di bawah tenda. Sekalian cuci mobil. 🙂 Sampai kemudian dari belakang, Pak Satpam meminta mobil saya melaju karena sudah ada mobil selanjutnya yang mengantre.

Kami langsung menuju halaman sekolah, persis di depan Gedung SMP. Kami dilarang turun dari mobil. Hanya Kinan yang diperkenankan turun untuk melakukan Rapid Test. Kinan mulai menangis karena perpisahan sementara ini. Air matanya menderas. Uminya juga tak kuasa menahan tangis.

Petugas menghampiri mobil kami dan menyerahkan secarik kertas. Ada formulir yang harus diisi sebelum Kinan turun dari mobil. Dan ini perlu dibubuhi meterai. Tidak ada lem. Tidak ada air. Kinan langsung berinisiatif menempelkan air matanya yang tumpah dan menggenang di sudut-sudut mata dan pipi ke balik lembar meterai itu. Formulir itu saya tanda tangani dan serahkan kepada petugas.

Kinan bersiap-siap berpisah dengan kami. Ia kembali menangis. Kami berusaha melegakan hari Kinan. Kami berpelukan. Kami berfoto bersama. Saya memeluknya dengan erat. Ia bersalam-salaman dengan kakak-kakaknya. Uminya kembali menangis.

Kinan turun dari mobil dan diantar petugas menuju ruangan Rapid Test. Kami menunggu 30 menit sampai kemudian hasilnya bisa diketahui langsung kalau ternyata Kinan nonreaktif. Alhamdulillah.

Kemudian barang-barang Kinan diturunkan. Banyak. Ada lima gembolan termasuk kotak plastik besar. Lalu kemudian Kinan mulai berpisah dengan kami. Kinan mulai melangkah menjauh. Kami memanggil-manggil Kinan. Kinan menengok. Cuma sebentar saja karena Kinan sudah tidak fokus dengan panggilan kami. Ia sudah larut dengan keramaian perpisahan atau memang agar tidak larut dengan kesedihan.

Setelah itu selesai. Kami pulang. Rumah menjadi sepi. Seperti ada yang kosong. Sampai Desember 2020 nanti.

***
Riza Almanfaluthi
16 Agustus 2020

 

 

Syaifuddin Zuhri, Guru SMP, dan PKI

$
0
0

Menyebut nama ini, saya teringat dua orang yang bernama mirip dan peristiwa yang menyertainya. Satu orang berasal dari 30 tahun lampau, satunya lagi peraih bintang dari Sri Paus di Vatican pada zaman jaya-jayanya PKI.

Senior saya di Direktorat Jenderal Pajak bernama Syaifuddin Zuhri meninggal dunia beberapa waktu lalu. Ia meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. Saya hanya bisa berdoa semoga ia mendapatkan husnul khatimah.

Setiap saya mendengar nama senior saya itu saya selalu teringat dua orang ini. Pertama, guru SMP saya bernama Syaifuddin Zuhri dan mempunyai nama panggilan Pak Lili. Pak Lili ini perawakannya tinggi, kurus, berkumis, dan sering pakai baju safari. Ia orang Klaten yang mendapatkan tugas mengajar di SMP Negeri 1 Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat pada awal 90-an.

Seingat saya, ia mengajar mata pelajaran Keterampilan dan Pendidikan Moral Pancasila. Perkataannya yang saya ingat betul sampai sekarang adalah soal Klaten, tempat asalnya. Dia bilang, kalau Jatibarang itu berada tepat di tengah-tengah antara Jakarta dan Klaten. Tentu kalau dicek sekarang dengan menggunakan Google Maps, jarak Jatibarang lebih dekat dengan Jakarta daripada jarak Jatibarang-Klaten.

Di dalam kelas, ia juga pernah bilang, “Saya sering jalan malam-malam, kalau lewat depan rumah Riza, lampu di dalam rumahnya masih menyala. Pasti Riza lagi belajar terus.” Rumah saya memang berada di pinggir jalan besar, dekat pertigaan lampu merah satu-satunya di Jatibarang. Dikatakan seperti itu saya cuma tersenyum. Barangkali bapak saya yang memang melek terus, saya sih sudah tidur.

Sekarang Pak Lili sudah pensiun, tinggal di perumahan Jatibarang, dan sudah menjadi penduduk Indramayu. Kepriben jeh?

Satunya lagi adalah Saifuddin Zuhri yang menjadi Menteri Agama di era Soekarno dan merupakan anggota dari Partai Nahdhatul Ulama (NU). Di era sekarang, anaknya yang bernama Lukman Hakim Saifuddin menjadi Menteri Agama di Kabinet Indonesia Bersatu II dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan di Kabinet Kerja dengan Presiden Joko Widodo. Saifuddin Zuhri juga adalah mertuanya Salahuddin Wahid, adiknya Gus Dur.

Ada cerita menarik tentang Menteri Agama Saifuddin Zuhri ini. Cerita debatnya dengan Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (PKI) Aidit. Buku yang berjudul Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik dan disunting oleh Azyumardi Azra dan Saiful Umam mencatat peristiwa ini.

Pada tahun 60-an tikus menjadi hama pertanian yang sangat merusak. Jadi Pemuda Rakyat sebagai underbouw PKI membawa isu hama tikus dalam acara mereka. Pemuda Rakyat mendemonstrasikan pesta makan daging tikus di Istora senayan.

Pesta ini jadi punya makna buat PKI dan musuh-musuhnya. Pertama, PKI memberikan solusi pemberantasan hama pertanian. Kedua, pelecehan terhadap hukum Islam yang mengharamkan makan daging tikus. Ketiga, pertanda dimulainya gerakan pengganyangan sistematis mulai dari tikus (koruptor dan manipulator), setan desa, setan kota kapitalis birokrat, dan semua musuh PKI.

Isu daging tikus ini dibawa-bawa ke sidang DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang dipimpin Soekarno. Saifuddin Zuhri ikut dalam sidang DPA karena selain sebagai Menteri agama, ia merangkap sebagai anggota DPA.

Di sidang itu, Saifuddin Zuhri duduk persis di sebelah kanan Aidit. Aidit mengajukan pertanyaan kepada Soekarno, “Saudara Ketua, tolong tanyakan kepada Menteri Agama yang duduk di sebelah kanan saya, bagaimana hukumnya menurut agama Islam makan daging tikus?”

Sebenarnya Aidit sudah tahu bagaimana hukum memakan daging tikus dalam Islam. Aidit hanya ingin memamerkan–yang menurutnya–merupakan kelemahan Islam dalam mengatasi persoalan tanah air.

Secara spontan Saifuddin Zuhri menjawab enteng, “Saudara Ketua, tolong beritahukan kepada si penanya di sebelah kiriku ini bahwa aku sedang berjuang agar rakyat mampu makan ayam goreng. Karena itu jangan dibelokkan (mereka) untuk makan daging tikus!”

Mendengar itu, anggota DPA lainnya tergelak, termasuk pemimpin sidang Soekarno.

Buku berjudul Idham Chalid, Guru Politik Orang NU yang ditulis Ahmad Muhajir mengutip pernyataan Saifuddin Zuhri terkait peristiwa itu.

“Aku merasa ditantang dengan sindirannya yang bernada penghinaan di muka orang banyak dan di muka presiden. Kalau D.N. Aidit bersikap ikhlas, apa salahnya ia bertanya langsung kepadaku, tempat kami duduk cuma berjarak 20 cm. Meskipun aku seorang menteri, tetapi tetap menjadi anggota DPA (merangkap). Selain itu sebagai seorang pemimpin kelompok, tentunya ia sudah mempelajari apa yang ia tanyakan dan pasti ia sudah tahu bagaimana pandangan kaum muslimin Indonesia tentang hukum makan daging tikus. Tetapi, dia sengaja mendemonstrasikan rasa antipatinya terhadap Islam,” kata Syaifuddin Zuhri.

Saifuddin Zuhri–peraih Bintang Equitem Commendatorem Ordinis Sancti Silvestri Papae dari Sri Paus di Vatican, Roma, pada 1965–menjadi representasi elit NU melawan PKI. Di akar rumput terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, NU menjadi lawan tanding sepadan buat PKI. Bahkan pasca G-30-S/PKI, NU menuntut pembubaran PKI, walaupun ditolak keras oleh Soekarno, karena menurut NU situasi rumit ini hanya bisa dibenahi setelah tidak ada PKI.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
21 Agustus 2020

Rubrik Bahasa: Kesalahan Menggunakan Preposisi dan Awalan Di

$
0
0

Seringkali editor di situs web pajak.go.id menemukan para penulis artikel, berita, dan flash photo masih salah dalam menggunakan kata “di” sebagai awalan atau preposisi (kata depan). Kesalahan seringkali ditemukan untuk kata di sana dan kemana.

Kalau kita kembali mengulik pelajaran bahasa Indonesia kelas 3 SD dengan menggunakan buku yang ditulis oleh Muh. Darisman dkk. berjudul Ayo Belajar Berbahasa Indonesia ada bagian buku yang mengulas ini.

Contoh:

Rima makan bakso di kantin. (Ini harus dipisah karena di sebagai kata depan).

Kue cokelat ini dibuat oleh Ibu. (Ini harus digabung karena di sebagai awalan)

Muh. Darisman memberikan cara membedakan di sebagai awalan atau sebagai kata depan. Menurutnya:

Kata di sebagai awalan dapat diganti dengan me-

Contoh:
Ditulis menjadi menulis
Direbus menjadi merebus
Dimasak menjadi memasak
Dipetik menjadi memetik
Dibuat menjadi membuat

Kata di sebagai awalan kata depan tidak dapat diganti dengan me-.

Contoh:
Di depan tidak bisa diganti dengan mendepan
Di kantin tidak bisa diganti dengan mengantin
Di rumah tidak bisa diganti dengan merumah
Di dapur tidak bisa diganti dengan mendapur
Di kebun tidak bisa diganti dengan mengebun

Darisman menulis itu. Sederhananya, kalau menunjuk tempat maka kata di atau ke wajib dipisah. Kalau tidak menunjuk tempat maka wajib digabung. Itu saja sih. Selamat belajar.

**
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
13 Agustus 2020

Narasi Digdaya Para Pendiri Bangsa

$
0
0

Setiap tanggal 14 Juli pegawai Direktorat Jenderal Pajak memperingati Hari Pajak. Pada 2020 ini peringatan sudah memasuki tahun ketiga. Namun, ada yang membedakan dari peringatan pada tahun-tahun sebelumnya.

Hari Pajak 2020 diperingati dalam situasi dunia masih dilanda wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Sampai dengan dibuatnya artikel ini, data dari situs web wordometers.info menunjukkan lebih dari 18,4 juta penduduk dunia terinfeksi Covid-19 dengan jumlah kematian lebih dari 696 ribu jiwa.

Imbasnya pada perekonomian dunia yang jatuh menuju resesi. Resesi ekonomi adalah situasi terjadinya penurunan nilai pertumbuhan ekonomi riil menjadi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.

Karena dampak Covid-19 ini, beberapa negara terperosok ke dalam jurang resesi seperti Jerman, Amerika Serikat, Singapura, dan Korea Selatan. Bila dunia mengalami situasi resesi dalam waktu lama maka terjadilah depresi ekonomi. Tidak ada yang menghendaki demikian. Begitu pula Indonesia yang pemerintahnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak biasa untuk mencegah Indonesia jatuh ke dalam resesi.

Suasana keprihatinan ini ditangkap Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dalam arahannya kepada peserta upacara Hari Pajak 2020 yang digelar di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta pada 14 Juli 2020 lalu.

Suryo menjelaskan, sampai dengan akhir semester satu tahun 2020, penerimaan pajak masih mengalami tekanan yang cukup berat akibat pandemi Covid-19.   Pada   semester satu, total   penerimaan   pajak (selain Pajak Penghasilan Minyak dan Gas) menunjukkan capaian sebesar Rp513,65 triliun atau sebesar 44,02% dari target penerimaan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 dengan pertumbuhan -10,53% (selain Pajak Penghasilan Minyak dan Gas) atau -12,01% (termasuk Pajak Penghasilan Minyak dan Gas).

Meski masih mampu menahan pertumbuhan ekonomi tetap positif di triwulan satu, Suryo menambahkan, nyatanya pelemahan usaha dan perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan dua tahun 2020 ini terjadi cukup dalam sehingga berdampak juga pada penerimaan pajak.

Pada saat pandemi seperti ini, maka peran krusial dari pajak adalah fungsi regulerend-nya, fungsi yang mengatur, mendorong, dan mengendalikan kegiatan ekonomi menjadi lebih baik lagi. Pada kondisi normal, fungsi budgeter pajak yang lebih dominan, saat pajak menjadi sumber penerimaan utama untuk membiayai belanja-belanja pemerintah.

Fungsi regulerend pajak di saat pagebluk ini diwujudkan melalui berbagai stimulus perpajakan yang diberikan pemerintah kepada para pelaku usaha. Tujuannya untuk meringankan beban para pelaku ekonomi di saat yang tidak bersahabat. Mereka dapat tetap hidup dan menggerakkan roda perekonomian. Ekonomi tumbuh dan pajak kembali ke fungsi budgeter-nya, untuk menjalankan roda pemerintahan dan merawat republik.

 

Selepas Perang Dunia Kedua

Sama seperti ketika republik ini masih menjadi embrio dan belum lahir. Masa itu adalah tahun ketiga pendudukan Jepang di tanah air. Berita-berita yang tersebar pada saat perang dunia kedua itu adalah kekuatan poros Jerman dan Jepang mulai melemah. Tokoh-tokoh nasional mendapatkan kabar itu walaupun informasinya sengaja ditutup-tutupi dan dibatasi oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Menyadari hal itu, para tokoh membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Mereka mengagendakan banyak rapat untuk membahas pendirian sebuah bangsa yang merdeka dengan segala pernak-perniknya.

Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat bertanya waktu itu, “Jika kita hendak membentuk negara apakah dasarnya?” Soekarno menjawab dengan pidato pada 1 Juni 1945 yang kemudian disebut sebagai pidato lahirnya Pancasila.

Esoknya BPUPKI menjalani masa reses sampai 9 Juli 1945. Para anggota memanfaatkan masa reses itu dengan membentuk panitia kecil untuk membahas sembilan hal penting yang harus ada dalam Undang-Undang Dasar. Salah satunya hal keuangan negara.

Dalam rapat panitia kecil itu, Radjiman mencetuskan bahwa pemungutan pajak harus diatur hukum. Kemudian rapat berlanjut pada 14 Juli 1945 untuk merancang Undang-Undang Dasar. Akhirnya, pasal 23 ayat (2) rancangan Undang-Undang Dasar menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.”

Sebuah pernyataan yang sangat lugas dan mencerminkan pandangan ke depan dari para pendiri bangsa bahwa untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka, berdiri di atas kaki sendiri, maka bangsa itu harus mampu mengurus dirinya sendiri, menjalankan administrasi pemerintahannya dengan baik, dan menyejahterakan rakyatnya. Jalannya dengan mengumpulkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara.

Pajak pun harus diatur dengan hukum, diatur dengan undang-undang agar pajak tidak menjadi alat pemerintah memeras rakyatnya, agar sejarah kekacauan di nusantara karena pajak yang tinggi tidak terjadi lagi. Begitulah narasi digdaya di benak para pendiri bangsa.

Setelah itu terdengar berita Amerika Serikat mengebom Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Tidak sampai sepekan, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 15 Agustus 1945. Kesempatan itu tidak disia-siakan, dua hari kemudian Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia.

Belum juga pemerintahan Republik Indonesia pada tahun-tahun pertama kemerdekaan itu selesai memperbaiki administrasi pemerintahan yang morat-marit, datang Belanda mendompleng pasukan sekutu ingin menguasai kembali nusantara.

Indonesia terbelah. Ada daerah yang dikuasai Belanda dan ada daerah yang dikuasai Republik. Perbedaannya tampak sangat mencolok. Kebutuhan rakyat seperti sabun di daerah yang dikuasai Belanda—Jawa Barat, Semarang, dan sebagian Jawa Timur—mulai dipenuhi melalui impor dan infrastruktur seperti jalan-jalan mulai diperbaiki. Sedangkan di daerah Republik rakyatnya hidup dalam kemelaratan dan serba kekurangan. Sampai kemudian hari melalui perjuangan segenap bangsa, rakyat Indonesia kembali berdaulat.

Saat ini, perjuangan itu ditempuh lagi, namun dengan cara yang berbeda. Tidak lagi dengan angkat senjata, melainkan sebagai aparatur pajak yang di saat pandemi ini tidak akan mau mengompromikan nilai-nilainya sedikit pun serta sebagai wajib pajak yang mendukung usaha pemerintah mengatasi gejolak ekonomi melalui kontribusi pembayaran pajak. Tidak semua wajib pajak terpuruk, bukan?

***
Riza Almanfaluthi
Artikel ini ditulis untuk media APBN Kita dan telah terbit serta bisa diunduh di sini.
Gambar terkait rapat BPUPKI diperoleh dari Google.


Penikmat Kopi dan Pemilik Starbuck Harus Berterima Kasih kepada Sultan Ottoman

$
0
0

Pada 29 Agustus 1526, Tentara Turki Utsmani (Ottoman Empire) menang telak atas pasukan koalisi Eropa di Mohacs dalam sebuah pertempuran yang dikenal sebagai Pertempuran Mohacs.

Pasukan Eropa berjumlah kurang lebih 40.000 pasukan terdiri dari pasukan koalisi Hongaria, Kroasia, Polandia, Romawi Suci, dan negara gereja. Pasukan Turki yang dipimpin Sulaiman Alqanuni berjumlah 65.000 orang. Versi lain, jumlah pasukan Turki Utsmani 100.000 prajurit sedangkan pihak lawan berjumlah 200.000 prajurit.

Perang yang dimulai pada pukul 3 sore itu berlangsung selama 4 jam dan menewaskan raja Hongaria bernama King Lajos II dan 20.000 pasukan Hongaria.

Kekalahan pihak Hongaria membuat kesedihan yang mendalam bagi rakyat Hongaria sampai ada pepatah “More was lost at Mohács” (lebih banyak yang hilang di Mohacs) yang masih digunakan sampai sekarang.

Perang ini memiliki konsekuensi besar buat Hongaria. Ibukota kerajaan Hongaria Buda direbut dan Turki Utsmani menguasai Hongaria selama 150 tahun kemudian. Sulaiman Alqanuni membawa Kekhilafahan Turki Utsmani ke puncak kejayaannya.

Sulaiman Alqanuni ini anak dari Salim I (berkuasa 24 April 1512 – 22 September 1520). Salim I menjadi khalifah setelah Daulat Abbasiyah menyerahkan kedudukan khilafah kepadanya pada 1517. Sedangkan Salim I sendiri merupakan anak dari Bayezid II (berkuasa 22 Mei 1481 – 24 April 1512).

Bayezid II dikenal sebagai sultan yang menampung pengungsi Yahudi dan Muslim yang diusir dari Andalusia oleh penguasa Katolik. Sedangkan Bayezid II adalah anak dari Mehmed II atau dikenal sebagai Muhammad Alfatih Sang Penakluk Konstatinopel. Jadi Sulaiman Alqanuni ini adalah cicit dari Muhammad Alfatih.

Pada 20 Agustus 2020 lalu, Washington Post merilis opini yang ditulis oleh Alan Mikhail berjudul The Ottoman sultan who changed America: America, Protestantism and Coffee all have a Muslim history (Sultan Ottoman yang mengubah Amerika: Amerika, Protestan, dan kopi semuanya memiliki sejarah Muslim).

Alan Mikhail adalah profesor sejarah dan ketua departemen sejarah di Universitas Yale dan penulis buku baru God’s Shadow: Sultan Selim, His Ottoman Empire, and the Making of the Modern World.

Alan menulis, kebanyakan orang Amerika tidak mengetahui hubungan secangkir kopi dengan kekhilafahan Turki Utsmani. Tidak mengetahui juga bahwa kekhilafahan Turki Utsmani membantu kelahiran Protestan yang kini sebagai bentuk Kristen dominan di Amerika.

Pada 1517 itu, Sultan Salim I mengalahkan kesultanan saingannya di dunia muslim yaitu Mamluk. Efeknya adalah Salim I menguasai tengah dunia, memonopoli rute perdagangan antara Mediterania, Cina, dan India, serta memiliki pelabuhan di semua laut dan samudra utama.

Salim I menjadi penguasa tiga kota suci: Makkah, Madinah, dan Yerusalem. Dan paling utama menjadi khalifah. Turki pada saat itu menjadi kerajaan muslim raksasa dan bukan tandingan para raja Eropa yang sering bertengkar sendiri.

Kemudian muncul Protestan yang berawal dari perlawanan Martin Luther terhadap dominasi gereja. Alan menulis lagi, menurut Luther, kelemahan agama Kristen terhadap Islam berasal dari kerusakan moral Gereja Katolik. Korupsi paus mengorosi jiwa Kristen dari dalam, membuat seluruh tubuh Kristen rapuh, dan karena itu rentan terhadap musuh eksternal.

Kaitannya Protestan dengan Turki Utsmani adalah ekspansi Turki Utsmani ke Eropa menyebabkan kekuatan gereja dan kota-kota di Eropa dimobilisasi untuk menghadapi Turki Utsmani. Kekuatan Katolik menolak mengirimkan pasukan tempur tambahan untuk memadamkan Gerakan Protestan awal ini. Hasilnya adalah semua ini memberikan waktu kepada Luther untuk menguatkan pondasi Protestan di kota-kota Jerman dan akhirnya ke seluruh dunia.

Wilayah Turki di masa Salim I yang meningkat sampai 70% di masanya membuat Turki Utsmani menjadi kekuatan global daratan-lautan dan pengendali perdagangan kopi dunia. Pengendalian ini membawa pundi-pundi keuangan yang banyak buat kekhalifahan dan menjadi pendorong ekonomi negara.

Sebuah fakta mengemuka, militer Salim-lah yang pertama kali menemukan tanaman dengan buah beri merah cerah itu selama penyerbuannya ke Yaman. Ottoman menemukan cara untuk menyeduh buah kopi ini.

Di lain pihak, kebesaran nama para penguasa dan luasnya pengaruh Turki Utsmani mendorong pihak-pihak Kristen melakukan banyak ekspedisi laut untuk menghindari blokade Angkatan Laut Turki Utsmani di terusan Mesir dan Laut Merah. Jalur itu adalah jalur tercepat melalui laut menuju India dan Cina.

Ekspedisi itu akhirnya menemukan tanah-tanah asing dan jauh seperti Benua Amerika dan Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Pada tahun yang sama saat Salim I menaklukkan Mamluk, orang Spanyol menemukan kota pertama mereka di benua Amerika dan menamakannya sebagai El Gran Cairo, Kairo yang Agung.

Alan menilai, sebagian orang Amerika menghargai bahwa seorang sultan Utsmaniyah adalah orang pertama yang mengubah perdagangan menjadi geopolitik, memonopoli pasokan salah satu barang konsumsi massal asli dunia.

Kemudian, Alan melanjutkan lagi, meskipun Islam sering digambarkan sebagai ancaman di Amerika saat ini sebenarnya Islam merupakan bagian integral dari sejarah dan budaya Amerika, kekuatan konstruktif di masa lalu Amerika yang terjalin dengan kaya. Amerika, Protestan, dan kopi semuanya memiliki sejarah Muslim. Bangsa Amerika—dan dunia—memang benar-benar merupakan bangsa Ottoman.

We (and Starbucks owner Howard Schultz) have Selim to thank for the coffeehouse,” tulis Alan.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
29 Agustus 2020
Gambar dari pinterest.com

[Podcast]: Pajak Digital dan Pemungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)

Menjadi Cermin

$
0
0

Apa kabarmu? Apakah engkau menjumpaiku dalam mimpimu semalam? Atau mengeram amarah dalam pikirmu pagi ini? Aku ingin menjadi cermin tempatmu memandang sepasang telaga yang tak sanggup kurenangi dan kumengerti. Kekosongan adalah potongan kertas-kertas kecil yang kutaburkan di atas permukaannya. Berisi huruf-huruf puisi dan ketololanku merayakan kehilangan dengan secangkir kopi.

***
Riza Almanfaluthi
4 September 2020

Kini Hasil, Bukan Hadir

$
0
0

Kampanye #dirumahaja pada saat pandemi COVID-19 bergema. Ini sebagai langkah antisipasi penyebaran virus yang telah menginveksi lebih dari 10 juta orang dan korban meninggal dunia lebih dari lima ratus ribu orang di seluruh dunia. Berbagai instansi pemerintah kemudian memberlakukan bekerja dari rumah atau lebih dikenal sebagai Work From Home (WFH). Termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Sejak medio Maret 2020 sampai dengan akhir Mei 2020, hampir seluruh pegawai DJP bekerja dari rumah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menginstruksikan hal ini pada saat rapat bersama jajaran pimpinan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan pada 19 Maret 2020. “Semua Eselon I tolong di rumah saja, dijaga semua stafnya. Please, take care of them for me,” pesan Sri Mulyani.

Kemudian banyak cerita mengiringi perjalanan DJP dalam bekerja dari rumah. Waktu kerja memang menjadi panjang seperti tidak berjeda. “Kami menjadi narasumber untuk wawancara penelitian seorang mahasiswa. Kami rapat melalui Zoom. Lima menit menjelang berbuka puasa sesi wawancara itu belum juga kunjung usai kalau tidak segera kami tutup,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Berita, Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Tedi Iswahyudi kepada Intax beberapa waktu lalu.

WFH juga identik dengan bekerja secara daring dan tanpa melalui kegiatan tatap muka secara langsung. Hal baru bagi pegawai DJP yang selama ini masih menggunakan cara kerja konvensional. Dengan WFH, interaksi yang dilakukan antarpegawai sebagian besarnya dilakukan melalui media virtual.

Kepala Seksi Kerjasama dan Hubungan Masyarakat Perpajakan, Kantor Wilayah DJP Sulawasi Utara, Tenggara, Gorontalo, dan Maluku Utara Yayuk Widianingsih yang menjalani WFH di Surabaya mengungkapkan, jarak Manado dan Surabaya menjadi tidak masalah. Tidak ada kendala jarak karena semua dilakukan secara virtual. “Waktu kemarin WFH, pekerjaan kami berjalan sesuai rencana karena anggota-anggota saya yang bagus dan bertanggung jawab,” kata Yayuk kepada Intax ketika dihubungi secara terpisah.

Sedangkan Arif Susanto, pegawai Kantor Wilayah DJP Jawa Timur III, yang sebelumnya tidak mempunyai jaringan wifi di rumah, memutuskan merogoh koceknya secara pribadi untuk memasang perangkat tersebut demi kelancaran pekerjaannya yang serba daring. “Hampir setiap hari kami bertemu secara virtual melalui media Zoom Meeting dan dengan adanya jaringan wifi di rumah, alhamdulillah tidak lagi ditemui hambatan pekerjaan yang berarti,” tutur Arif.

Walaupun tak dimungkiri oleh Arif, hambatan komunikasi juga terjadi.  Pekerjaan yang dulu biasanya dapat dikerjakan dan diputuskan secara langsung melalui interaksi tatap muka, sejak WFH menjadi agak sedikit lambat karena kendala teknis maupun nonteknis.

“Bagi saya seperti ada yang kurang dan berbeda sewaktu semua dapat diputuskan lebih cepat dengan berinteraksi langsung. Awalnya sempat menghambat, tetapi seiring berjalannya waktu dapat teratasi dengan baik,” tambah Arif.

Contoh kendala teknis yang dialami Arif adalah jaringan internet yang lelet. Memang, belum semua daerah dapat menikmati perkembangan teknologi digital serta memiliki infrastruktur internet yang merata. Namun, saat ini masih lebih baik daripada bertahun-tahun lampau.

Tak bisa dibayangkan jika pandemi ini terjadi 10 tahun lalu ketika jaringan masih menggunakan 3G dan proyek Palapa Ring yang belum merata. Palapa Ring sendiri merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi yang dibangun pemerintah berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer.

Arif juga harus pandai membagi waktu antara bekerja dan melakukan kegiatan rumah sehari-hari. Banyak hal yang menggoda fokusnya dalam bekerja seperti bercengkerama dengan anak, melakukan hal baru yang sedang viral di dunia maya, hingga kegiatan olahraga yang sebelum WFH tidak pernah ia rutinkan. “Tentu banyak menyita konsentrasi dan mau tidak mau harus pintar membagi waktu demi kelancaran pekerjaan. Jangan sampai terlena. Mutlak harus profesional,” katanya.

Konsekuensi dari penerapan WFH adalah kinerja ditentukan berdasarkan output yang dihasilkan oleh pegawai. Tidak lagi ditentukan dari kehadiran fisik, berapa lama duduk di meja kantor, dan urusan pribadi yang muncul dalam jam kantor. Pada saat WFH semuanya bisa bercampur baur. Itu tidak masalah selama ada hasil yang bisa dipertanggungjawabkan sekaligus sebagai upaya memberikan keseimbangan hidup antara pekerjaan dan keluarga yang selama ini menjadi sebuah kemewahan yang jarang dirasakan.

Ann Herman-Nehdi, CEO perusahaan multinasional Herrmann yang menciptakan alat untuk membantu karyawan berkomunikasi dengan lebih baik lagi, sebagaimana dikutip New York Times, mengatakan, “It’s a different way to approach work and translates to more freedom to design your day.” WFH membuat semua berubah, tetapi tak menghentikan inovasi.

Salah satunya adalah Samsul Hidayatullah, Pelaksana Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kupang. Samsul sudah dua tahun bertugas di KPP Pratama Kupang. Niatnya ia akan pulang kampung di Pasuruan, Jawa Timur, namun tertunda karena adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Maret 2020.

Samsul menjalani pekerjaannya dengan WFH. Meskipun demikian, hampir setiap hari ia pergi ke kantor, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan. Sebagai salah satu pegawai di Seksi Pelayanan, ia harus menuntaskan pekerjaan pencetakan produk hukum yang tidak bisa dilakukan selama ia tinggal di rumah.

Di masa WFH itulah Samsul dan temannya Akhsanda Abimanyu Dampar membuat aplikasi booking antrean. Konsep aplikasinya sempat dipresentasikan di kantor pusat sebagai salah satu masukan untuk penerapan aplikasi antrean secara nasional.

Aplikasi yang akan diterapkan DJP pada saat kenormalan baru, ketika DJP membuka layanan tatap mukanya kembali dengan penerapan protokol kesehatan, di saat setengah pegawainya melaksanakan WFH dan setengahnya lagi bekerja dari kantor.

***
Riza Almanfaluthi
Ditulis untuk majalah internal Direktorat Jenderal Pajak Intax Edisi Dua 2020.
Gambar Glenn Harvey dari NYT

Buat Apa Membuangnya ke Selokan?

$
0
0

Jual Buku Tidak Ada New York Hari Ini/ There Is No New York Today oleh M. Aan Mansyur - Gramedia Digital Indonesia

Seorang jurnalis membuang buku Salman Rushdi yang baru dibelinya itu ke selokan. Menurutnya, buku penulis Inggris ini memang layak dibuang karena terjemahannya buruk.

Sebaliknya, buku penulis Indonesia tidak banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Apalagi buku puisi pensyair Indonesia. Namun, mendiang Sapardi Joko Damono adalah pensyair yang karya-karyanya banyak dialihbahasakan ke dalam bahasa lian seperti bahasa mandarin, Jepang, Arab, dan bahasa Inggris. Penerjemahan ini menjadi sebuah bentuk pengakuan atas kualitas kepenyairan seseorang.

Mengikuti jejak Sapardi, buku M Aan Mansyur diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John H. McGlynn. Tepatnya, mengikuti edisi bahasa Indonesia yang diterbitkan pertama kali di tahun yang sama dan laku keras. Penerbitnya adalah penerbit yang sama yang menerbitkan puisi Aan dalam bahasa Indonesia.

Buku berjudul Tidak Ada New York Hari Ini, There is No New York Today diformat sebagai buku puisi dwibahasa. Pembaca buku membaca puisi Aan dalam bahasa Indonesia sekaligus membacanya dalam bahasa internasional. Sebuah strategi pemasaran yang menyasar kepada pembaca mancanegara dan dalam negeri sekaligus.

Berbeda dengan buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia, buku Aan dalam format bilingual ini tidak ditambahkan foto hitam putih sebagai ilustrasinya. Yang ada hanya gambar dari ilustrator yang biasa menggarap ilustrasi dan tata letak dalam buku puisi Aan: emte.

Perlu dicatat, tidak semua ilustrasi itu mengiringi 31 puisi Aan yang ada di dalamnya. Maka wajar jumlah halaman buku ini tidak sebanyak buku puisi Aan dalam bahasa Indonesia.

Tentu, tidak adanya foto hitam putih bergenre street photography yang membuat buku puisi Aan berformat dwibahasa ini kehilangan kesan dan kekuatannya. Buku yang terinspirasi oleh film Ada Apa dengan Cinta ini tidak benar-benar bisa menangkap kehidupan nyata kota New York seperti dalam buku bahasa Indonesianya itu.

Yang hebat dari buku ini adalah puisi pertama Aan berjudul Cinta atau Love. Dalam versi Bahasa Indonesia, puisi ini walaupun diletakkan di halaman pertama tampak tak menonjol karena menempel di dalam foto ilustrasi sehingga hampir tidak bisa dibaca dengan jelas. Di dalam buku terjemahan John H. McGlynn, puisi Aan ini menjadi sentral di tengah halaman tanpa ilustrasi sama sekali sehingga membuatnya bisa dibaca dengan mudah dan menambah kekuatan isi puisinya.

The days incinerate me. But each time I try to gather the heap of my ashes, my finger change to wind. And I understand why love was created.

Satu hal yang pelik adalah menangkap rasa dari puisi. Sebagaimana karya terjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, maka sebaliknya akan selalu ada rasa bahasa yang tidak tertangkap oleh John H. McGlynn sebagai penerjemah. Seperti diketahui, Aan hebat dalam penguasaan diksi puisinya. Maka ketika diksi berima yang dibuat Aan diterjemahkan ke dalam bahasa asing, akan tampak ada yang hilang.

Kita lihat dalam puisi Tidak Ada New York Hari Ini pada bait berikut.

Meriang. Meriang. Aku meriang.  Kau yang panas di kening. Kau yang dingin dikenang.

Yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris seperti ini:

I shiver. Shiver. Shiver.  You are the fever in my mind, you are the frost in my memory.

John H. McGlynn, mengutip Ni Komang Ariani yang telah meneliti penerjemahan buku dwibahasa ini, menggunakan metode terjemahan semantik secara dominan daripada terjemahan kata per kata. Dengan ini John H McGlynn ingin pembaca terjemahannya mendapatkan emosi yang serupa saat orang membaca puisi Aan di dalam bahasa Indonesia.

Secara substantif, puisi Aan dalam bahasa Inggris di dalam buku ini masih bisa dipahami dengan mudah oleh mereka yang berbahasa ibu bahasa Melayu. Juga, dengan memakai format bilingual, jika pembaca kesulitan memahami harfiah kata atau kalimat puisinya, pembaca dapat segera mencuri pandang terjemahannya.

Sampai di sini John H. McGlynn cukup berhasil. Tiga bintang untuk buku ini. Percayalah, setelah membacanya, kita tidak akan membuang buku ini ke selokan. Seperti jurnalis itu.

 

**
Judul               : Tidak Ada New York Hari Ini, There is No New York Today
Penulis            : M Aan Mansyur
Penerjemah     : John H. McGlynn
Tahun Terbit   : 2016
Tebal halaman : 78 halaman
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama

Telah diikutkan dalam lomba resensi buku Kementerian Keuangan Library.

Viewing all 868 articles
Browse latest View live