Quantcast
Channel: Riza Almanfaluthi
Viewing all 861 articles
Browse latest View live

Hadapi Wartawan Bodrek

$
0
0

Binanto Suryono, 44 tahun, menyeruput kopi hitam dari cangkir yang ada di depannya. Ia menceritakan kalau dirinya baru dipindahtugaskan sebagai Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Tiga, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sleman sebulan lalu.

Sebelumnya Binanto menjadi Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Tuban. “Fungsi kehumasan di kantor pajak daerah ya ada di seksi ini,” kata Binanto dalam obrolan pagi itu di Yogyakarta pada Selasa, 22 Oktober 2019.

Menurutnya, fungsi kehumasan baru dilihat oleh para pemangku kepentingan sebatas pemadam kebakaran kalau terjadi masalah. “Seharusnya dipandang sebagai tukang taman yang mampu memberikan kesegaran dan menarik banyak orang,” ujar Binanto sambil mengaduk kopinya. Buih putih bermunculan di permukaan.

Binanto menjelaskan, yang paling riskan dalam fungsi itu adalah menjalin hubungan baik dengan media karena terkait mitigasi risiko yang mengancam reputasi Direktorat Jenderal Pajak. “Kantor kami di Tuban mengumpulkan para wartawan lokal dan online untuk sekadar ngopi-ngopi bareng dan makan martabak,” tutur Binanto.

Dari sana, Binanto menambahkan, kantor pajak kemudian menyelipkan materi-materi pajak yang perlu diketahui para awak media. Melalui acara itu, kantor pajak Tuban bisa menjalin silaturahmi lebih erat dengan para wartawan dan mereka secara sukarela menjadi corong Direktorat Jenderal Pajak. “Bahkan mereka turut memberikan informasi kepada kami tentang masyarakat yang belum membayar pajak dengan benar,” lanjutnya.

Hubungan baik itu akhirnya membawa manfaat banyak. Setidaknya di saat menghadapi wartawan yang tidak jelas identitasnya. Binanto punya akal. Ia memotret tanda pengenal yang diberikan wartawan itu kemudian melemparkannya ke grup percakapan yang diisi oleh para wartawan setempat. “Kalau terkonfirmasi sebagai wartawan tak jelas, mereka akan bilang ‘cuekin aja boss, itu wartawan bodrek’,” pungkas Binanto.

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
22 Oktober 2019


Keren, Salah Satu Indikator EoDB Indonesia Naik 31 Peringkat

$
0
0

Bank Dunia merilis kenaikan peringkat dalam indikator pembayaran pajak (payment taxes) Indonesia dari semula peringkat 112 di tahun lalu menjadi 81 di tahun ini. Hal ini tertuang dalam laporan terbaru kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB) Indonesia.

“Ini menunjukkan upaya sungguh-sungguh Direktorat Jenderal Pajak dalam memperbaiki administrasi perpajakan secara khusus dan meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama di hari terakhir penyelenggaraan Study Group on Asian Tax Administration and Research (SGATAR) di Yogyakarta (Jumat, 25/10).

Yoga menjelaskan, secara keseluruhan skor indeks kemudahan berusaha Indonesia naik dari angka 67,96 pada tahun lalu dan menjadi 69,6. Walaupun demikian laporan itu masih mendudukkan Indonesia pada peringkat yang sama di tahun sebelumnya yakni pada peringkat 73 dari 190 negara.

Dari laporan tersebut diketahui indikator pembayaran pajak merupakan salah satu dari 10 indikator pengukuran EoDB. Kenaikan peringkat indikator pembayaran pajak ini tecermin dalam kemudahan membayar dan melaporkan pajak secara daring dengan adanya e-Filing. Terutama pada jenis pajak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Yoga merincikan, perbaikan yang tercatat adalah kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) e-Filing untuk SPT PPh Pemotongan dan Pemungutan serta PPN bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu dan seluruh wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya, KPP di Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, dan KPP di Kantor Wilayah DJP Khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 09/PMK.03/2018.

Secara spesifik, hal tersebut meningkatkan skor dalam indikator jumlah pembayaran pajak per tahun dari 43 menjadi 26 dan waktu yang dibutuhkan untuk membayar pajak yang berkurang 16,5 jam dari 207,5 jam selama setahun menjadi 191 jam dalam setahun.

Menurut Yoga, beberapa perbaikan yang telah dilakukan DJP seperti dihilangkannya kewajiban pelaporan SPT PPh Pasal 25 dan mekanisme restitusi dipercepat belum terliput dalam laporan tahun ini.

“Oleh karena itu, DJP senantiasa optimis laporan Bank Dunia tentang EoDB pada tahun berikutnya akan tetap menunjukkan peningkatan dalam peringkat pembayaran pajak,” kata Yoga. (Rz)(*)

Tulisan ini dibuat untuk dan pertama kali diunggah di pajak.go.id dengan judul Melejit, Indikator EoDB Pembayaran Pajak Indonesia Naik 31 Peringkat.

Soal Pembayaran Pajak, Indonesia Ungguli Cina dan Filipina

$
0
0

Indonesia mengungguli Cina dan Filipina dalam skor dan peringkat salah satu indikator kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) 2020. Hal itu tertuang dalam laporan Bank Dunia bertajuk Doing Business 2020: Comparing Business Regulation in 190 Economies yang dirilis akhir Oktober 2019 ini.

Sebuah pencapaian bagus walaupun belum  mendongkrak secara keseluruhan peringkat kemudahan berusaha Indonesia yang masih tidak berubah seperti tahun lalu di peringkat 73 dari 190 negara.

Indikator yang dimaksud adalah pembayaran pajak (paying taxes). Indikator ini merupakan salah satu dari 10 indikator pengukuran EoDB. Indikator pembayaran pajak mengukur jumlah jenis pajak yang dibayar, waktu yang diperlukan wajib pajak untuk membayar pajak, jumlah pajak dan kontribusi yang dibayar dari profit dalam setahun, serta indeks postfiling.

Peringkat Indonesia pada indikator EoDB pembayaran pajak 2020 adalah 81. Naik 31 peringkat daripada tahun sebelumnya yang berada di peringkat 112. Filipina berada di peringkat 95 sedangkan Cina di peringkat 105.

Peringkat 81 pada indikator pembayaran pajak Indonesia mencantumkan skor 75,8 sedangkan Cina dan Filipina masing-masing adalah 72,6 dan 70,1. Skor 75,8 pada Doing Business 2020 Indonesia ini naik daripada tahun sebelumnya yang hanya mengumpulkan skor 68,03.

Salah satu komponen yang menunjang tingginya skor tersebut yaitu rasio antara jumlah pajak dan kontribusi yang dibayar terhadap profit. Semakin kecil rasionya maka akan berdampak positif pada skor. Rasio Indonesia hanya sebesar 30,1% sedangkan Cina dan Filipina masing-masing sebesar 59,2% dan 43,1%. Artinya dengan tarif pajak yang selama ini ada, wajib pajak Indonesia membayar pajak dan kontribusi lainnya lebih kecil daripada di dua negara itu.

Bank Dunia juga menilai indikator pembayaran pajak Indonesia dengan skor tersebut tecermin dalam kemudahan membayar dan melaporkan pajak secara daring dengan adanya e-Filing. Terutama pada jenis pajak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Rinciannya adalah adanya kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan menggunakan e-Filing untuk SPT PPh Pemotongan dan Pemungutan serta PPN bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu dan seluruh wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya, KPP di Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, dan KPP di Kantor Wilayah DJP Khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 09/PMK.03/2018.

Secara spesifik peringkat 81 dan skor 75,8 itu terealisasikan karena adanya jumlah jenis pembayaran pajak yang menurun dari 43 menjadi 26 dan waktu yang dibutuhkan untuk membayar pajak yang berkurang 16,5 jam dari 207,5 jam selama setahun menjadi 191 jam dalam setahun.

Di dalam jenis pembayaran pajak dengan jumlah 26 dalam setahun itu sejatinya hanya delapan jenis pajak saja yang dibayar oleh wajib pajak yaitu antara lain PPh Pasal 25, PPh Badan, PPN, pajak atas pengalihan tanah dan bangunan, meterai. Namun dikarenakan terdapat pembayaran pajak seperti jenis setoran PPh Pasal 25 yang dibayar dalam setiap bulannya sehingga terkesan jumlah jenis pembayaran pajaknya cukup banyak. Dalam sistem perpajakan Indonesia memang dikenal metode cicilan pajak setiap bulan.

Sayangnya beberapa perbaikan yang telah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak seperti dihilangkannya kewajiban pelaporan SPT PPh Pasal 25 dan mekanisme restitusi dipercepat belum terliput dalam laporan tahun ini. Perlu diketahui bahwa laporan Doing Business 2020 ini melingkupi dua kota yang dijadikan basis survei dan riset Bank Dunia yaitu Jakarta dan Surabaya.

Secara keseluruhan apa yang dilaporkan Bank Dunia tentang perbaikan peringkat dan skor indikator pembayaran pajak menunjukkan upaya sungguh-sungguh Direktorat Jenderal Pajak khususnya dalam memperbaiki administrasi perpajakan dan umumnya dalam meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia.

Upaya sungguh-sungguh itu ditunjukkan dengan Reformasi Perpajakan yang tengah dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak.Dengan fokus utamanya pada penyederhanaan proses bisnis, perubahan aturan perpajakan yang menampung dinamika ekonomi, penguatan organisasi dan sumber daya manusia, dan perbaikan teknologi informasi dan basis data.

Kita lihat tahun depan.

***

Tulisan ini dibuat untuk dan diunggah pertama kali dimuat di tajuk pajak.go.id dengan judul: Soal Ini, Indonesia Ungguli Cina dan Filipina.

Margareta Sofyana, Ibu Kemanusiaan Rawasari

$
0
0
Rita di depan rumahnya.

Sosok teguh hati menyigi kesehatan dari gang sempit, pasar, sampai diskotek. Ini soal kerja kemanusiaan yang butuh nafas panjang.

Perempuan itu keluar dari rumahnya yang berada di gang sempit persis ketika saya datang pada Sabtu, 9 November 2019. Ia kemudian menyilakan saya masuk ke ruang tamunya yang kecil. Ada sofa di sana dan karpet berwarna merah terhampar di lantai. Saya memilih duduk di atas karpet. Kipas yang tergantung di plafon rumah berputar dengan kecepatan normal. Sudah cukup untuk menyejukkan ruangan tak seberapa besar itu.

“Silakan diminum, Mas,” katanya. Perempuan itu, Margareta Sofyana, 47 tahun, menghidangkan segelas teh hangat yang tak elok untuk ditampik. Pagi menjelang siang itu ia tampak sederhana. Tubuhnya berbalut pakaian yang rapat mulai dari kepala sampai kaki. Wajahnya selalu dihiasi dengan senyum. Senantiasa semringah.

Buat warga Kampung Jawa, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat ini, Rita—panggilan Margareta—dikenal sebagai ibu rumah tangga yang aktif di bidang kesehatan masyarakat. Selain sebagai Kader Posyandu, ia adalah Kader TBC, Kader Paliatif Yayasan Kanker Indonesia, Kader Jiwa, Kader Jumantik (juru pemantau jentik), dan Kader IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).

Perempuan yang hanya lulus SMP ini dikenal juga sebagai pendamping dalam pengobatan pasien kanker dan TBC. Rita gigih mengajak masyarakat di lingkungannya untuk menjaga kesehatan dan berobat jika sakit atau melakukan pemeriksaan kanker sejak dini. Apabila ada kabar orang sakit, ia ‘gatal’ untuk mendatanginya dan mengajak mereka berobat ke puskesmas.

“Kesadaran masyarakat untuk hidup sehat masih kurang,” kata Rita dengan nada prihatin. “Ada yang tidak mau berobat karena sudah capek dengan penyakitnya atau tidak ada orang yang mendampingi.” Mendengar alasan itu, biasanya Rita kemudian menawarkan pendampingan kepada mereka untuk berobat sampai mereka benar-benar sembuh tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Sejak 2013, Rita sudah mendampingi ratusan orang yang membutuhkan pendampingan. Upayanya itu dilakukan dengan cara mengantar mereka saat berobat ke puskesmas atau dirawat di rumah sakit, mengurus asuransi dan administrasi pasien, serta memantau mereka saat menelan obat.

Rita yang memiliki tiga orang anak ini menceritakan pengalamannya sewaktu mendampingi Suryohadi, 20 tahun, yang diduga mengidap penyakit TBC. Saat itu Rita kaget melihat kondisi Suryohadi yang kurus dan hanya bisa tergeletak di tempat tidurnya.

Ketiadaan biaya adalah alasan utama sang ibu untuk tidak mengobati Suryohadi. Melihat itu, Rita langsung bergerak. Ia menghubungi pihak puskesmas dan meminta tim dokter dan perawat untuk mendatangi rumah Suryohadi.

Tim dokter pergi ke rumah Suryohadi kemudian melakukan pemeriksaan dan meminta Suryohadi datang ke puskesmas agar bisa dirontgen. Dari hasil pemeriksaan itu, dokter memastikan Suryohadi terkena TBC. Suryohadi harus menjalani pengobatan secara rutin dalam jangka waktu enam bulan dengan menelan obat yang tidak boleh putus diminum.

Bersama suaminya, Hardiana Utama, Rita mengunjungi Suryohadi selama dua bulan dan memastikan pemuda itu meminum obatnya secara rutin. Dalam dua bulan itu, Suryohadi sudah menunjukkan perkembangan yang bagus karena sudah bisa duduk. Bahkan pihak puskesmas telah memastikan kemajuannya. “Sekarang Suryohadi sudah sembuh total. Dulu kurus banget, sekarang gagah dan ganteng,” kata Rita dengan logat Betawinya yang kental.

Tiba-tiba, di tengah pembicaraan, telepon genggam Rita yang berada di atas sofa berbunyi. Rita kemudian berbicara dengan orang di ujung telepon. Tidak lama ia berbicara. Menurutnya, orang yang menghubunginya barusan meminta Rita untuk mengirim video kegiatan senam yang sempat direkam Rita tadi pagi.

Memang, setiap Sabtu pagi ada kegiatan senam yang diadakan di lingkungannya. Pesertanya adalah ibu-ibu. Rita rajin mengikutinya sebagai wujud gerakan hidup sehat. “Mereka meminta saya untuk mencarikan instruktur senam,” tutur Rita.

Rita sudah 30 tahun mengontrak rumah dan tinggal di Rawasari sejak menikah dengan Hardiana pada 1989. Dengan bersuamikan teknisi di perusahaan swasta Rita hidup sederhana, namun mampu menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Kini dua orang putrinya sudah bekerja. Putra bungsunya yang berumur 18 tahun sedang menempuh pendidikan kepolisian di SPN Lido.

Sebelum menjadi kader kesehatan Rita memang dikenal sebagai orang yang suka membantu. Pada 2007, ia menjadi Kader Posyandu dan membantu menangani balita. Kemudian kejadian pada 2010-lah yang membuatnya berkomitmen melakukan pendampingan kepada pasien.

Saat itu, adik ipar Rita bernama Imam Solehudin divonis mengidap TBC tulang. Tubuhnya kurus dan bungkuk. Tulang punggungnya sudah keropos. Imam sudah tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Tak tahan dengan penderitaan Imam, Rita kemudian bertekad mengurusnya. Ia mendampingi Imam berobat di RS Persahabatan, mengurus Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah), sampai mendampingi Imam dioperasi sebanyak tiga kali.

“Delapan besi stainless dipasang di tubuhnya. Sekarang sudah sehat. Segar,” ucap Rita dengan semangat. “Kata dokter yang menangani, Imam termasuk dua orang yang bisa selamat dari total lima penderita TBC tulang. Tiga orang lainnya lewat.”

Sejak itu Rita bertekad untuk membantu lebih banyak orang. Ia ingin orang-orang terdekat dan di lingkungannya bisa hidup sehat. Rita tidak menghendaki ada orang yang benar-benar membutuhkan bantuan, namun tidak ada yang menolongnya. Tekad Rita semakin besar ketika pada 2013, ia diajak Kader PKK Kelurahan untuk mengikuti pelatihan kesehatan dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

Rita tentu senang mendapatkan kesempatan itu. Hardiana mengizinkannya untuk mengikuti pelatihan selama seminggu. Rita mendapatkan ilmu tentang penyakit, kesehatan, dan keperawatan di sana. Selepas mengikuti pelatihan, ia mempraktikkan ilmu yang telah didapatnya kepada diri sendiri, keluarga dan tetangga terdekat. Sekaligus memberikan penyuluhan kesehatan secara langsung kepada masyarakat terutama terkait TBC dan kanker mulai dari pencegahan hingga pengobatannya. Tak tanggung-tanggung ia sambangi pasar dan diskotek, remaja hingga lansia.

Dari pendampingan itu Rita mendapatkan kepuasan batin tersendiri. Kepuasan yang menurut Rita tidak bisa dinilai dengan apa pun. Apalagi kalau pasien yang didampinginya sembuh total. Rita menyadari, pendampingan itu bermanfaat buat pasien karena menurutnya, orang sakit itu senantiasa membutuhkan dorongan untuk sembuh. Terutama sekali dari keluarga terdekatnya. “Saya harus pura-pura tegar di depan pasien saya walaupun sebagai manusia saya juga sedih melihat penderitaan mereka,” kata Rita dengan mata memerah.

Rita juga mengalami penolakan saat menawarkan pendampingan berobat kepada orang yang sakit. Ia bahkan dicurigai akan meminta imbalan kepada keluarga pasien atau mendapatkan materi dari puskesmas atas pemberian jasanya. Rita tetap teguh hati, “Saya tidak akan memaksa. Nanti kalau sakitnya sudah parah pada akhirnya mau berobat ke puskesmas,” tutur Rita pelan.

Menyebut puskesmas, Rita tidak bisa menafikan mereka sebagai pihak yang telah mendukungnya selama ini dan menjadi mitra terbaiknya. Pihak puskesmas juga memberikan banyak informasi tentang warga yang sedang membutuhkan pendampingan. Rita menyambut dengan sukacita informasi itu.

Pihak keluarga terutama suaminya juga memberikan dukungan total kepada Rita. Hardiana selalu mendorong dan menasihati Rita untuk senantiasa ikhlas dalam membantu orang lain. Di lingkungannya, Hardiana adalah Ketua RT.04 RW.08 dan dikenal sebagai pribadi yang baik dan selalu berpikir positif.

Pernah pada saat mereka sahur, pintu rumah Rita diketuk orang. Sewaktu pintu dibuka, tampak laki-laki dengan wajah dan pakaian berlumuran darah. Cairan merah segar keluar dari mulutnya. Laki-laki itu meminta Rita untuk mengantarnya ke rumah sakit. Rita menyanggupi. Rita meminta izin kepada suaminya dan Hardiana langsung menghentikan makan sahurnya untuk mengantar Rita.

Rita tiba-tiba menghentikan ceritanya. Ia menatap keluar pintu yang sedari tadi terbuka dan menggelontorkan hawa ke dalam rumah. Laki-laki muda dengan rambut setengah plontos berdiri di depan pagar rumah Rita. Rita mengenalkan Nursam kepada saya. Nursam adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Rita mendampingi Nursam saat menjalani pengobatan sampai dengan saat ini.

Terjadi obrolan singkat antara Rita dan Nursam. Rita kemudian mencari dompetnya dan memberikan uang kepada Nursam. “Ini buat sebulan ya, Nur. Jangan buat beli rokok. Awas!” seru Rita sambil tertawa kepada Nursam. Menurut Rita, di lingkungannya terdapat delapan orang penderita ODMK. Sebagai Kader Jiwa, Rita selalu memantau perkembangan mereka dari waktu ke waktu.

Rita memang ingin dirinya berguna dan hidupnya tidak sia-sia buat masyarakat, Membantu orang lain adalah jalan hidupnya walaupun hanya dalam bentuk tenaga pendampingan dan bukan dengan materi yang banyak. Untuk melakukan semua itu ia tidak meminta imbalan apa pun kepada masyarakat. Baginya, balasan yang diberikan Allah Swt. sudah cukup. Apalagi ia memandang telah banyak sekali karunia yang diterimanya.

Rita merasa semua apa yang diinginkan dan diminta kepada Tuhannya selalu terkabul. “Saya pengen anak saya jadi sarjana, alhamdulillah itu terkabul. Saya pengen anak saya jadi orang yang benar-benar berguna seperti jadi polisi, akhirnya terkabul. Sekali tes, langsung lulus,” jelas Rita.

Mampu membayar kontrakan rumah setiap bulan, diberikan kesehatan dan anak-anak yang baik, serta bisa menguliahkan mereka adalah banyak hal yang amat disyukuri oleh Rita. “Kalau menolong orang dengan sungguh-sungguh jangan mikir untung. Rezeki mah pasti ngikut,” pungkas Rita dengan nada serius.

Terdengar salam dari luar rumah. Anak keduanya yang bernama Ara baru pulang dari tempatnya bekerja di Kemayoran. Wajah Ara khas masyarakat timur Indonesia. Ya, maklum saja, kakek Ara berasal dari Rote, Nusa Tenggara Timur.

Kedatangan Ara menjadi pemungkas pertemuan kami. Persis azan Zuhur berkumandang memenuhi langit Rawasari yang mulai terik. Sebelum saya mohon diri dan meninggalkan rumah Rita, ia mengajak saya berkeliling.

Rita dan anak keduanya, Ara.
Rita bersua dengan salah satu pasiennya, Barji.
Rita menyapa Wa Enong dan Bu Saneh.
Rita mengobrol akrab dengan para pedagang yang mangkal di pertigaan gang.

Rita akrab dengan warga sekitar dan menyempatkan diri mengobrol dengan mereka. Ia menyapa Wa Enong dan Bu Saneh yang sedang duduk-duduk di sudut gang. Tak ada pembicaraan lain kecuali Rita menanyakan tentang data kependudukan yang mesti diurus mereka berdua di kelurahan. Kami juga bertemu dengan salah satu pasien yang pernah Rita dampingi. Namanya Barji. “Masih diminum obatnya, kan?” tanya Rita dengan penuh perhatian kepada laki-laki bercelana pendek itu. Barji mengangguk.

Keakraban dan kepedulian Rita dengan sekitarnya menunjukkan ia ada untuk masyarakat, utamanya menghadirkan suasana lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis.

Rawasari semakin siang dengan suhu 32 derajat Celcius. Setelah mengambil jaket yang tertinggal di rumah Rita, saya pamit, meninggalkan rumah kecil itu dan sepeda motor butut yang teronggok di depannya. Papan kecil tergantung di bodi motor, bertuliskan: Ojek Diana Expres. Tanda kebersahajaan keluarga Rita.

**

Rita adalah satu dari 21 nominator Ibu Ibukota Awards 2019. Mereka hadir dan menjadi bagian masyarakat ibu kota Jakarta dengan aksi hidup baik mereka masing-masing. Ikuti cerita #AksiHidupBaik lainnya di akun Youtube dan Instagram @ibu.ibukota.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 13 November 2019

Rubrik Bahasa: Singkatan dalam Bahasa Asing

$
0
0

Kita mengenal nama jabatan atau istilah dengan menggunakan bahasa asing di institusi kita, Direktorat Jenderal Pajak ini. Contohnya Account Representative yang kita singkat menjadi AR atau Operator Console menjadi OC.

Atau seperti in house training (IHT), Compliance Risk Management (CRM), Tax Knowledge Base (TKB), atau yang campur aduk seperti internalisasi corporate value (ICV) ini.

Ada juga Application Service Provider yang kita singkat menjadi ASP. Oh ya, istilah ini sudah tidak digunakan lagi dan telah berubah menjadi Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan sejak 20 Juni 2019 dengan dikeluarkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2019 tentang Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan.

Lalu, bagaimana cara melafalkan singkatan-singkatan itu? Kebanyakan kita sudah benar melafalkannya sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yaitu melafalkan dengan nama-nama huruf itu dalam bahasa Indonesia.

Seperti ketika kita melafalkan AR dengan [a-r], bukan dengan [ei-ar], IHT kita lafalkan dengan [i-ha-te], CRM dilafalkan dengan [ce-er-em], TKB dilafalkan dengan [te-ka-be], bukan dengan [ti-ke-bi],  bahkan yang campur aduk seperti ICV, kita melafalkannya dengan benar: [i-ce-ve].

Hanya pelafalan OC yang kita masih tidak konsisten. Kita melafalkannya dengan [o-se], tidak dengan [o-ce]. Barangkali karena kita masih dan keseringan melafalkan MC (Master of Ceremony) dengan [em-si], bukan dengan [em-ce] atau melafalkan CIA dengan [si-ai-e], bukan dengan [ce-i-a].

Nah, sampai kapan kita mengulang-ulang kesalahan itu?

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
10 November 2019

Cerita Lari Borobudur Marathon 2019: Memelihara Firaun

$
0
0
Saya penamat Borobudur Marathon 2019. Tahun depan bagaimana?

 

Azan Magrib berkumandang persis ketika saya sampai di Pintu I Kompleks Candi Borobudur pada Sabtu, 16 November 2019. Sebelumnya saya naik bus Damri pukul 16.00 dari Bandar udara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta.

Dari Pintu I itu saya memesan ojek online untuk sampai di tempat bermalam Mbak Ishe Yudiwati. Ia sudah mengambil race pack saya siang tadi. Telepon saya tak diangkat ketika saya sudah sampai di sekitar tempat penginapannya. Saya hanya berbekal peta yang ia bagi via Whatsapp.

Saya menelepon Kapten DJP Runners Asdaferry Artha Bitana dan diangkat. Ia satu homestay dengan Mbak Ishe. Kami bertemu, langsung mengambil race pack, dan saya pulang. Kami tidak bisa berbincang lama-lama karena malam ini harus carboloading dan tidur yang cukup. Besok Minggu, kami akan berlari di Borobudur Marathon dalam kategori Full Marathon (FM).

 

Training Plan

Ini adalah Borobudur Marathon kedua yang saya ikuti. Tahun lalu saya memiliki kesan yang mendalam di lomba maraton ini. Keramaian, rute, dan keasrian daerahnya. Jadi saya ingin kembali. Beruntung, saya lolos undian dan bisa mengikuti event ini.

Borobudur Marathon ini juga berarti FM keempat saya setelah Mandiri Jogja Marathon 2018, Borobudur Marathon 2018, dan Pocari Sweat Bandung Marathon 2019. Di tengah kesibukan yang tiada habis, jadi saya memang perlu selektif memilih event. Cukup FM dan half marathon (HM) yang dekat-dekat saja dan tidak berdekatan waktunya.

Untuk mengikuti FM di Borobudur Marathon ini saya sudah menyiapkan latihannya sejak tiga bulan sebelumnya. Bahkan lima bulan sebelumnya kalau memang persiapan Bandung Marathon juga dihitung.

Setelah bulan Ramadan 2019 yang lalu saya fokus latihan selama dua bulan untuk Bandung Marathon dan lanjut tiga bulan untuk Borobudur Marathon. Di Bandung Marathon, saya mendapatkan hasil yang tidak disangka-sangka. Bisa lari terus sepanjang lomba dan mendapatkan catatan waktu terbaik saya di 5:15:22 jam. Setelah itu jadi optimis kalau bisa berlari dan finis di bawah 5 jam.  “Tinggal sedikit lagi di-push,” kata coach Arif Yunianto.

Saya menyiapkan diri untuk Borobodur Marathon dengan target di bawah lima jam dalam tiga bulan ini. Dengan Training Plan dari coach Arif Yunianto, saya berusaha disiplin mengerjakan menu lari jauh, tanjakan, santai, dan tempo. Latihan tempo ini sesuatu yang tidak mudah buat saya, barangkali sesulit perasaan Rama menerima Sinta selepas dari tangan Dasamuka.

Saya masih bisa mengikuti ritme latihan dengan baik dalam dua bulan pertama. Setiap pekan jarak lari semakin bertambah. Kemudian latihan mulai masuk peak season dan saya lari jauh mentok hanya bisa sepanjang 30 km saja.

Satu bulan kemudian latihan mulai kacau, padahal tinggal satu bulan lagi menjelang race. Kesibukan yang bertambah, penugasan, cedera otot paha bagian belakang yang tak kunjung sembuh, kurang tidur, nutrisi yang tidak terjaga, sampai pada akhirnya mileage pun tidak sesuai dengan target.

Apalagi hari Jumat itu saya baru saja kembali dari Jayapura, Papua. Lengkap sudah kelelahan itu. Akhirnya saya menurunkan target Borobudur Marathon 2019 ini sekadar bisa finis belaka.

Satu hal yang ingin saya katakan tentang latihan selama tiga bulan itu, “Sungguh, sepertinya saya sudah mengeluarkan dan mengorbankan banyak hal untuk Training Plan ini.”

Semoga tidak ada kembang yang telah mekar di awal musim penghujan bulan November tiba-tiba meranggas mendengar itu.

 

Tiba Masanya

Dengan melewatkan keramaian pengambilan race pack Sabtu siang tadi, saya berusaha memulihkan tenaga dan menyiapkan diri untuk esok hari dengan sebaik-baiknya. Semua perlengkapan lari buat besok sudah saya siapkan malamnya. Saya telah memasang alarm pada pukul 03.00 dan 03.30. Azan Subuh waktu Borobudur pada pukul 03.47. Masih banyak kesempatan buat menyiapkan diri.

Alarm telepon genggam pertama berbunyi. Saya masih melewatkannya. Pada pukul 03.30 saya benar-benar bangun. Lalu ke kamar mandi dan kemudian salat Subuh. Saudara yang akan mengantar saya sudah datang. Jarak rumah ke tempat lokasi lomba lima kilometer saja.

Tidak seperti pada tahun lalu yang bisa sampai di pintu dua, sekarang motor hanya bisa sampai di pintu barat kompleks candi, dekat tempat parkir mobil yang luas itu. Dari sana saya jalan kaki menuju tempat mobil golf disediakan buat para peserta lari. Ya, para pelari akan diantar dengan mobil golf menuju garis start yang jaraknya masih jauh dari titik itu.

Dari sana saya langsung ke garis Start. Saya membawa gelang kertas pace band 4:00. Gelang ini ada di dalam race pack itu. Dengan memakai gelang kertas itu saya bisa masuk di area start dan berkumpul dengan orang-orang yang akan menamatkan FM dalam jangka waktu di bawah empat jam. Wow, saya aminkan saja. Kenyataannya lihat saja nanti.

Saya bertanya kepada panitia dan diarahkan ke bagian belakang. Jaraknya jauh dari garis start dan kosong melompong. Di sana, sama panitia lainnya diberitahu kalau tempat ini buat peserta HM. “Mas, yang FM di depan,” kata panitianya. Akhirnya saya maju lagi ke depan. Untung saya bertanya. Kalau tidak, saya bisa ketinggalan start.

Di depan gerbang start sudah banyak sekali orang berkumpul. Tinggal 20 menit lagi. Saya menyelip ke sana ke mari sampai dekat garis start. Tentu di luar rombongan yang memiliki gelang 3:30.

Tepat pukul 05.00 kami mulai berlari. Entah, yang ada di pikiran saya hanya segera menyelesaikan semuanya ini. Tentu, kalau saya finis di bawah 5 jam saya harus berlari dengan pace di bawah 7:00 menit/km. Harusnya saya mampu mempertahankan pace ini sampai KM-25. Namun saya hanya bisa jaga sampai KM-14, setelahnya ambyar dan saya mulai bermain di pace 7-an.

Suasana satu menit lebih menjelang waktu dimulainya Full Marathon.
Sub 4:00:00? Iya, iya…
Ramai nian…

Saya lupa di kilometer berapa DJP Runners Mas Murdono menyusul saya. Di KM-15 saya bertemu sesama DJP Runners Mas Deny Hastomo. Berlari bersamanya membuat saya mengumpulkan mental yang sudah mulai berserakan. Namun, pace 7:00 menit/km hanya bertahan sampai KM-20 saja. “Kapan saya boleh jalan nih?” tanya saya kepada Mas Deny. “Nanti selepas KM-35,” katanya. Duh, masih jauh.

Saya tidak melewatkan setiap water station (WS). Yang saya ambil adalah secangkir air putih. Saya menampik isotonik. Pernah satu kali saja saya mengambil segelas isotonik, entah di WS KM berapa. Setelah itu tetap konsisten minum air putih.

Saya tidak sarapan setelah bangun pagi tadi. Saya cuma membawa bekal satu wafer yang sudah saya makan ketika berada di KM-5. Rencananya saya akan meminum dua butir pil garam di KM-15 dan KM-30. Empat Gu Gel yang saya bawa saya makan di setiap kelipatan 7,5 kilometer.

Berbeda dengan Borobudur Marathon tahun lalu yang saya ingat setiap detail KM-nya untuk saya ceritakan di blog saya, kali ini saya tidak berusaha mengingat-ingatnya. Entah di KM berapa saya muntah untuk pertama kalinya. Ini sehabis dari WS. Alhamdulillah, sebentar saja saya berhenti, mual itu sudah hilang.

Di KM berapa saya melihat perempuan pelari juga muntah. Eh, tak lama saya melewati dia, saya pun kembali muntah untuk kedua kalinya. Saya minta Mas Deny untuk meninggalkan saya. Setelah reda rasa mualnya saya kembali berlari. Sejak itu saya tidak melihat Mas Deny lagi.

Kami masih tetap semangat entah di kilometer berapa. (Sumber foto: Ferry Bambang Irawan. Terima kasih banyak, Mas Ferry)
Masyarakat sekitar menyambut kami.
Di mana pun kami tetap manortor. Tor-tor di bawah rerimbunan dan keteduhan pohon bambu.
Kami ikhlas di belakang dalang dan bonekanya.

Disusul Pacer

Saya mulai jalan kaki. Tetapi saya masih memiliki semangat untuk tidak selamanya jalan kaki. Saya kembali dengan strategi tahun lalu. Daripada memikirkan garis finis yang tak kunjung terlihat, saya membuat garis finis imajiner saja. Gapura, cone pembatas jalan, umbul-umbul, penanda KM, belokan, atau WS saya jadikan patokan untuk berlari.

Yang paling menarik dari Borobudur Marathon ini adalah atraksi yang ditampilkan di sepanjang jalan oleh masyarakat. Namun, untuk tahun ini saya merasa atraksi itu lebih sedikit, hambar, dan biasa-biasa saja. Barangkali karena ini bukan kesan pertama atau karena saya terlalu fokus dengan lomba ini? Fokus untuk segera cepat berlalu?

Ketika saya dilewati oleh Pacer 5:00 saya sudah pasrah. Awalnya mau mengimbangi, tetapi langkah kaki sudah terlanjur berat dan mental sudah menguap dari kepala apalagi jam 9-an ini, matahari seperti hanya berjarak sejengkal di atas kepala.

KM-35 saya lewati setelah saya berlari sepanjang 4:26:44 jam. KM-35 adalah batas Cut off Point. Para pelari harus belari maksimal enam jam sampai di titik itu. Jika melewati waktu itu para pelari dianggap gugur.

Sekarang tinggal tujuh kilometer lagi. Saya masih terus berjalan dan berlari begitu. Perut saya sudah terganjal dengan satu buah pisang yang lumayan sekali untuk memberikan tenaga ekstra. Pisang itu disediakan oleh salah satu supermarket yang menjadi sponsor event ini. Di suatu titik saya kembali disusul oleh Pacer 5:30. Duh…

Di sinilah kemudian saya berpikir. Walau sudah dilewati dua rombongan pacer ini, jam 11 pagi masih lama. Artinya, saya masih bisa mencapai waktu lebih baik daripada Borobudur Marathon tahun lalu. Dulu, saya tiba di garis finis pada pukul 11.02. Ayo, semangat, Za. Kamu bisa!

Omong-omong, ke mana DJP Runners lainnya sesama anggota grup Training Plan seperti Mas Hery Dwinanto dan Mas Salman? Saya berharap bisa finis bareng dengan mereka.

Ketika melewati KM-40, saya masih tetap sendiri dan Garmin saya menginformasikan kalau saya sudah berlari selama 5 jam 13 menit. Jarak tinggal dua kilometer lagi. Kalau saya berlari dengan pace 6:00 menit/km mungkin saya bisa finis di bawah 5 jam 30 menit. Tetapi itu tadi, mental saya sudah hanyut bersama aliran Kali Progo yang membelah daerah Borobudur menuju Laut Pantai Selatan. Barangkali sampai di muaranya nanti malam atau keesokan harinya.

Berusaha menampakkan kesemringahan dalam level dewa.

 

Di Garis Finis

Saya melihat mbak-mbak yang kolaps di KM-40. Ayo mbak, tinggal dua kilometer lagi. Pada jarak 500 meter menjelang garis finis, entah kenapa semangat saya muncul kembali. Saya ajak pemuda tinggi besar untuk lari bareng. Dia tentu lebih kuat daripada saya, tetapi saya bisa mengimbanginya. Kok bisa yah saya cepat begini, barangkali karena garis finis sudah dekat. Enggak berpikir lagi kalau takut habis, takut apa.

Untuk tahun ini saya tidak tertipu lagi dengan gerbang halu itu. Balon gerbang berwarna merah itu bukan garis finis sesungguhnya. Itu hanya gerbang salah satu sponsor lomba ini. Gerbang sesungguhnya masih jauh di belakangnya.

Ya, akhirnya kelihatan juga gerbang finis berkarpet merah. Saya pacu kecepatan berlari saya dan akhirnya saya bisa finis dalam waktu 5 jam 35 menit 22 detik.

Jauh dari target lari bisa finis di bawah 5 jam. Jauh dari catatan waktu terbaik saya di Bandung Marathon, namun lebih cepat daripada finis Borobudur Marathon tahun lalu. Alhamdulillah. Ini saja sudah patut saya syukuri. Lebih cepat hampir 27 menit daripada tahun sebelumnya. Terima kasih ya Allah. Terima kasih buat semuanya.

Di garis finis, saya menuju refreshment area untuk mengambil air minum, isotonoi, buah pisang, medali, dan kaos penamat. Saya meminta panitia mengalungkan medali itu ke leher saya. Bukan apa-apa, tangan saya sudah penuh dengan bawaan. Syukurnya pada Borobudur Marathon tahun ini, tidak ribet dengan bawaan kayak tahun lalu karena kita mendapatkan tas cangklong buat menaruh apa saja di sana.

Habis itu saya menghampiri salah satu stan es krim dan pergi berendam untuk mendinginkan kaki. Lalu foto-foto sebentar di booth. Pakai antre lagi. Seorang pelari dari Semarang yang berdiri antre di belakang meminta tolong kepada saya untuk mengambil gambarnya di booth itu. It’s Ok. Hana masalah.

Mbak Ishe sudah menelepon dan menghubungi saya berkali-kali via Whatsapp kalau saya ditunggu teman-teman DJP Runners yang lain di gazebo dekat tempat pengambilan medali. Saya segera ke sana buat foto-foto bareng.

Gerbang finis sesaat setelah saya tiba. Dua bodyguard penjaga gerbang finis tampak gagah perkasa.
Refreshment Area. Bahasa Indonesianya adalah Area Penyegaran.
Medali yang beratnya 300 gram lebih itu dengan dua kaos Borobudur Marathon dan pernak-pernik lainnya.
Selagi antre foto di booth itu, saya berswafoto dulu.
Berfoto bersama DJP Runners. Karena kelamaan mengatur posisi, sampai ada yang enggak kuat buat jongkok. Ya sudah tiada mengapa duduk ndlosor begitu.
lebih dari 50 anggota DJP Runners dalam berbagai kategori mengikuti ajang lari Borobudur Marathon 2019 ini. Sebagiannya tampak dalam foto di atas.
Binaan coach Arif Yunianto tanpa Mas Hery Dwinanto dan Mas Salman. Kami mendapatkan catatan waktu terbaik di Borobudur Marathon 2019 ini. Dari kiri ke kanan: Mas Murdono, Mbak Ishe Yudiwati, dan Mas Deny Hastomo.
Nah, kalau ini Mas Deny Hastomo dan Mas Hery Dwinanto.

Setelah itu saya pamit pulang, enggak terpikir untuk foto-foto dengan latar belakang Candi Borobudur. Inginnya segera mandi dan istirahat. Kali ini level finis strong-nya lebih baik daripada Borobudur Marathon tahun lalu, namun masih jelek daripada di Bandung Marathon. Di Bandung, saya masih sempat mengelilingi stan dan berlama-lama menunggu teman-teman DJP Runners di garis finis.

Banyak pelajaran yang bisa  saya ambil selama mempersiapkan diri untuk Borobudur Marathon 2019, terutama tentang persistensi, kedisiplinan, berdamai dengan waktu, nutrisi, istirahat yang cukup, dukungan dari keluarga, dan terutama tentang kerendahhatian. Latihan tidak pernah mengkhianati hasil. Dan bagi saya hasil terbesar pada Borobudur Marathon 2019 ini adalah agar tak memelihara Firaun di dalam dada.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Citayam, 24 November 2019
Terima kasih atas foto-fotonya dari para fotografer di Borobudur Marathon 2019 terutama dari Cerita Lari dan Mas Ferry Bambang Irawan.

 

Baca juga: Cerita-cerita lari dari gendut sampai kurus.

Baca juga: Cerita Lari Borobudur Marathon 2018: Karena Kita Sekadar Pelari Rekreasional

 

Nadiem Makarim Apresiasi Pemenang Lomba Guru Bertutur Pajak

$
0
0
Nadiem Makarim didampingi Ketua PGRI Unifah Rosyidi dan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama bersama Pemenang Lomba dan Anugerah Guru Inspiratif.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberikan penghargaan kepada pemenang lomba Guru Bertutur Pajak dalam puncak acara peringatan hari ulang tahun ke-74 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Hari Guru Nasional 2019 di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang Timur, Bekasi hari ini (Sabtu, 30/11).

Penghargaan juga diberikan kepada pemenang lomba menulis buku nonfiksi, anugerah guru inspiratif, dan guru menulis opini pendidikan.

Ketua Umum PGRI Prof. Dr. Unifah Rosyidi dan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama turut mendampingi Nadiem memberikan penghargaan kepada para pemenang.

“Sebagaimana janji PGRI untuk selalu membarui diri agar senantiasa adaptif terhadap perubahan, PGRI adalah mitra strategis Pemerintah Pusat dan Daerah dalam mewujudkan pendidikan nasional,” kata Unifah.

Seperti diketahui, kegiatan menyambut Hari Guru sangat beragam, salah satunya lomba Guru Bertutur Pajak (Gutupak).

Lomba yang terselenggara berkat kerja sama antara DJP dan PGRI ini merupakan lomba bertutur pajak pertama yang melibatkan profesi guru untuk bersama-sama mengedukasi pajak kepada generasi muda.

Gutupak sendiri merupakan salah satu dari rangkaian program inklusi kesadaran pajak dalam pendidikan dengan puncak acara pada kegiatan Pajak Bertutur tanggal 25 November 2019 lalu.

“Ke depannya, kerja sama dengan PGRI dan instansi profesi lain akan tetap digulirkan DJP dalam membentuk Generasi Emas Indonesia Cerdas dan Sadar Pajak 2045,” kata Yoga.

Beberapa hari sebelumnya, tim juri yang terdiri dari perwakilan Direktorat Jenderal Pajak dan Pengurus Besar PGRI telah melaksanakan penilaian terhadap peserta lomba “Guru Bertutur Pajak” bertempat di Ruang Sidang Pengurus Besar PGRI, Gedung Guru Indonesia, Jakarta (Kamis, 21/11) dengan hasil sebagai berikut:

A. Pemenang Tingkat Sekolah Dasar
1. Nur Fauziah, M.Pd. , MI Fatahilla, Kota Bekasi, Jawa Barat
2. M. Arief Rohman, S.Pd., MSi., SDN Simbangdesa 01, Batang Jawa Tengah
3. Sadi Suharto, SDN 4 Manggar, Blitung Timur, Bangka Blitung
3. Mansyur, S.Pd. SDN Pejuang VII, Kota Bekasi, Jawa Barat

B. Pemenang Tingkat Sekolah Menengah Pertama
1. Arif Budiman, M.Pd., SMP PGRI 1, Tangerang, Banten
2. Erwan Rachmat, SMPN 10, Semarang, Jawa Tengah
3. Maulidia, SMP LTI IGM, Palembang, Sumatra Selatan

C. Pemenang Tingkat Sekolah Menengah Atas/Kejuruan
1. Januar Ambarwati, SMA PLUS PGRI, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
2. Leny Ocktalia, S.Pd., SMKS Mambaul Ulum, Bondowoso, Jawa Timur
3. Yuliati Eko Atmojo, SMAN 3, Salatiga, Jawa Tengah. [Rz]

Artikel ini ditulis untuk dan pertama kali dimuat di pajak.go.id dengan judul Nadiem Makarim Beri Penghargaan Pemenang Lomba Guru Bertutur Pajak.

Langgam Menaikkan Rasio Pajak

$
0
0

Rasio Pajak masih menjadi pilihan yang dibahas menjelang pemilihan presiden dan legislatif pada 17 April 2019. Salah satunya pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Ekonomi dan Perpajakan (PSEP) di Café 88, Kampus PKN STAN, Tangerang, Banten (Kamis, 21 Maret 2019).

Acara yang mengangkat tema Prospek Tax Ratio Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global ini menghadirkan narasumber Kepala Kantor Wilayah Jakarta Selatan II Edi Slamet Irianto, anggota Komisi XI DPR RI M Misbakhun, Direktur Program INDEF Berly Martawardaya, dan Direktur Eksekutif PSEP Hangga Surya Prayoga.

Menurut Hangga terdapat tiga permasalahan yang mengemuka ketika membicarakan cara menaikkan rasio pajak. Pertama, biaya kepatuhan yang relatif tinggi. Wajib pajak masih harus mengeluarkan  biaya yang banyak untuk menjadi patuh.

“Ada semacam hambatan administratif bahwa ternyata untuk patuh pajak itu perlu biaya. Bikin faktur perlu biaya. Kalau fakturnya salah jadi beban, jadi biaya juga. Untuk merekrut pegawai yang ngerti pajak ada biaya juga. Di level sektor informal ini menjadi penghambat,” ujar Hangga.

Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas perpajakan masih menitikberatkan inovasinya pada sistem teknologi informasinya saja dan belum pada regulasi yang memudahkan wajib pajak.

Kedua, aturan perpajakan yang belum mengikuti perkembangan zaman dan memperhatikan praktik bisnis yang umum, serta kekurangtegasan pemerintah dalam pemberlakuan aturan perpajakan. “Saya contohkan tahun 2015 pernah ada peraturan atas pemungutan jasa jalan tol, (peraturan) itu hanya bertahan satu bulan,” kata Hangga.

Ketiga, Indonesia masih memiliki tekanan terhadap transaksi yang bersifat global dengan negara-negara lain. Tarif pajak Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN.

“Sehingga mungkin harus dipertimbangkan bahwa kebijakan-kebijakan untuk memberikan fasilitas perpajakan itu juga memang memperhatikan pemberlakukan pajak di negara sekitar sehingga tidak terjadi proses-proses transfer pricing yang ilegal,” tutup Hangga.

 

Relasi Negara

Sedangkan menurut Edi Slamet Irianto persoalan meningkatkan rasio pajak menyangkut relasi negara kepada masyarakatnya dalam konteks perpajakan.

“Jadi hal yang penting bahwa otoritas pajak ini supaya bisa berbicara dengan lingkungan perpajakan lebih efektif, berbicara  komunikasi politik yang bisa dipercaya dengan lingkungan politik yang baik,” kata Edi.

Selain itu Edi melihat bahwa banyak yang perlu diperbaiki dari kelembagaan otoritas perpajakan. Salah satunya tentang keberadaan unit kantor pajak yang belum mengikuti geografis wilayah pemerintahan dari atas sampai bawah. Misalnya dalam satu wilayah provinsi terdapat dua kantor wilayah yang berbeda. Ini akan membuat bingung wajib pajak karena terdapat kebijakan perpajakan yang tak sama.

Edi juga menambahkan, otoritas perpajakan harus melakukan otokritik melalui reformasi administrasi perpajakan.  “Hanya saja reformasi administrasi perpajakan yang sedang dilakukan seyogianya memahami apa yang dipersoalkan dan menjadi persoalan di masyarakat,” kata Edi.

Edi menjelaskan, cara lain menaikkan rasio pajak adalah dengan meningkatkan rasio Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui peningkatan pengawasan. Rasio PPN semula hanya 3,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan peningkatan 2% hingga 3% diyakininya penerimaan pajak bisa tembus hingga Rp1500-Rp1700 triliun.

Selanjutnya dengan menata Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut lembaga pemerintah kepada masyarakat karena sebenarnya PNBP membuat beban masyarakat lebih tinggi. “Tax ratio—kalau itu digabungkan dengan penerimaan yang tidak masuk—mungkin bisa mencapai 16%. Bahkan lebih,” tutur Edi.

Menurutnya, hanya ada empat jenis PNBP yang sesuai aturan dan praktik terbaik: bagi hasil dari sumber daya alam, deviden hasil BUMN, hasil dari pemanfaatan aset negara oleh privat, dan sisa anggaran lebih APBN. Tanpa disadari, PNBP di luar empat jenis itu telah membebani dan menimbulkan keengganan masyarakat untuk membayar pajak.

Jika PNBP diatur dan ditata dengan benar maka penerimaan pajak akan jauh lebih baik karena negara bisa meyakinkan masyarakat bahwa dengan membayar pajak masyarakat akan merasakan manfaat dan mendapatkan banyak fasilitas yang disediakan oleh negara.

 

Tax Collection Cost

Misbakhun memandangnya dari sisi lain berupa tax collection cost. Ia melihat cara meningkatkan rasio pajak antara lain dengan memberikan anggaran yang memadai kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dengan mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp1500 triliun pada 2019 anggaran DJP sebesar Rp7 triliun belum memadai.

Misbakhun membayangkan, seandainya DJP diberikan anggaran sebesar 1% saja dari target penerimaan—standar OECD sebesar 2,5%—maka DJP dapat membangun super komputer dan membeli basis data geospasial untuk meningkatkan pengawasan perpajakan.

Selain itu DJP membutuhkan dana banyak untuk membangun citranya dan mem-branding pembayar pajak sebagai pahlawan bangsa. Misbakhun menjelaskan, pada hakikatnya mempromosikan pajak sama saja dengan mempromosikan negara. Tentu untuk itu dana promosi iklan (kehumasan) sebesar Rp32 miliar setahun yang ada pada satu direktorat di DJP tidaklah mencukupi.

Misbakhun menambahkan, di dalam struktur pajak yang ideal seperti di negara-negara yang memiliki rasio pajak tinggi, pajak perseorangan harus lebih tinggi daripada pajak badan. Ini yang menurut Misbakhun, otoritas perpajakan saat ini memiliki permasalahan struktural yang mesti dibenahi.

 

Kalah Jauh

Berly mengamini Misbakhun. Ia menginvetarisasi permasalahan tidak optimalnya rasio pajak di Indonesia. Antara lain soal proporsi pajak penghasilan badan lebih besar dibandingkan pajak perseorangan yang potensinya jauh masih bisa digali.  “Yang memegang NPWP (per 1 Januari 2018) baru 39,2 juta atau 14,9% dari populasi,” kata Berly.

Determinan rasio pajak, menurut Berly, tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan usaha, melainkan soal bagaimana meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor formal seperti keuangan dan manufaktur.

Masalahnya adalah Indonesia masih kalah dari negara-negara di ASEAN dalam menarik investasi luar negeri. Menurut Berly, Indonesia masih kalah jauh daripada Vietnam.  “FDI (Foreign Direct Investment ) Vietnam dua kali lipat dari  Indonesia,” ujar Berly, “Bahwa Indonesia saat ini PPh Badannya, top rate-nya paling tinggi di ASEAN.”

Apalagi pada 2019 ini merupakan merupakan tahun pemilihan presiden. Menurut Berly, di setiap tahun pemilihan presiden tingkat investasi akan menurun. Efeknya akan sulit meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.

Maka Berly memandang bahwa Indonesia  harus realistis dengan pertumbuhan ekonomi dan FDI yang rendah sehingga penerimaan pajak tahun ini belum bisa mengerek rasio pajak. Baru pada 2020 penerimaan pajak akan lebih tinggi karena sudah lewat masa ketidakpastian politik dan keadaan global yang lebih stabil.

Selain itu Berly memandang otoritas perpajakan perlu mendorong kepatuhan wajib pajak baik orang pribadi dan badan. Ia mencontohkan kepatuhan di sektor pertambangan yang masih rendah. “Hanya 24% pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang membayar pajak,” tambah Berly.

Berly merekomendasikan beberapa hal untuk menaikkan rasio pajak yaitu dengan meningkatkan proporsi penduduk yang memiliki NPWP, mengetatkan pengawasan dan sanksi pada perusahaan yang tidak patuh khususnya di sektor pertambangan.

Selain itu dengan mengkaji penurunan tarif pajak PPh Badan dan penguatan ekonomi informal khususnya industri. Berly tidak meluputkan perhatiannya terhadap perkembangan e-commerce dan driver online yang menurutnya memiliki potensi perpajakan yang luar biasa. Terakhir, menurut Berly, dengan meningkatkan sistem perpajakan yang memudahkan wajib pajak.

“Di Eropa, self assessment-nya dibantu dengan sistem digital. Bukti pemotongan terhubung dengan akun kita di pajak. Kalau sistem online sudah dibangun seperti di negara-negara Skandinavia maka itu (penerimaan pajak) akan lebih jauh meningkat,” pungkas Berly. [Rz][*]

Artikel ini dibuat untuk Majalah Intax, Majalah Internal Direktorat Jenderal Pajak, Edisi II/2019.


RUBRIK BAHASA: Khatib dan Muazin

$
0
0

Setiap hari Jumat, laki-laki muslim wajib menunaikan salat Jumat di masjid. Sebelum waktu salat itu tiba, pengurus masjid akan mengumumkan beberapa pengumuman. Biasanya terkait siapa yang akan berkhotbah (khatib), siapa yang akan mengumandangkan azan (muazin), kapan waktu salat tiba, dan jumlah saldo kas masjid pekan itu.

Sayangnya, seringkali kita mendengar, pengurus masjid yang bertugas mengumumkan pengumuman itu kepleset lidah (sebut saja demikian). Kita mendengar kalimat seperti ini:

  1. “Khatib Jumat akan disampaikan oleh Ustaz Agus.”
  2. “Muazin akan dikumandangkan oleh Bapak Anton.”

Coba perhatikan dengan saksama. Yang betul itu apakah khatib atau khotbah yang disampaikan? Muazin atau azan yang dikumandangkan?

Khatib dan muazin adalah pelaku yang mengerjakan pekerjaan itu atau dalam hal ini memberikan khotbah dan mengumandangkan azan. Tentu kalimat itu akan janggal kalau diartikan sebagai berikut:

  1. Orang yang menyampaikan khotbah akan disampaikan oleh Ustaz Agus.
  2. Orang yang mengumandangkan azan akan dikumandangkan oleh Bapak Anton.

Bukan pelaku khotbah yang disampaikan kepada jamaah dan bukan pula pelaku azan yang dikumandangkan ke langit-langit semesta.

Jadi subjek yang tepat dalam kalimat di atas adalah seperti ini:

  1. “Khotbah Jumat akan disampaikan oleh Ustaz  Agus.”
  2. “Azan akan dikumandangkan oleh Bapak Anton.”

atau kalau hendak menggunakan kalimat aktif sebagai berikut:

  1. Ustaz Agus akan menyampaikan khotbah.
  2. Bapak Anton akan mengumandangkan azan.

atau juga dengan contoh sebagai berikut:

  1. Yang bertugas sebagai khatib Jumat adalah Ustaz Agus.
  2. Yang bertugas sebagai muazin adalah Bapak Anton.

Ini sekadar intermeso. Bukan sebuah “kejulidan”. Pun, karena soal ini, tidak membuat Anda terjerumus ke dalam neraka.

Demikian. Semoga bermanfaat. Mohon dimaafkan.🙏

Wallahualam bissawab.

*
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
Selamat Hari Korpri, 29 November 2019

Belajar ke Seoul

$
0
0

Seorang CEO hotel prestisius di New York pergi ke Seoul, Korea Selatan, dua kali dalam setahun. Ia menginap di hotel yang sama dalam dua kesempatan itu. CEO terkesan dengan sikap pegawai hotel itu yang mengucapkan, “Selamat datang, Pak! Senang bertemu Anda kembali.”

Sepulangnya dari Korea Selatan, ia segera berkonsultasi dengan para ahli. Mereka merekomendasikan kepada CEO untuk memasang kamera-kamera dengan peranti lunak pengenal wajah (face recognition). Kamera itu akan memotret wajah tamu dan memberi tahu resepsionis apabila tamu yang datang itu pernah menginap di sana sebelumnya.

Sayangnya sistem itu memakan biaya jutaan dolar Amerika Serikat. Tak sanggup membayangkan jumlah uang yang dikeluarkannya, CEO pergi kembali ke Seoul dan dengan malu-malu menanyakan secara langsung kepada resepsionis hotel untuk mendapatkan jawaban cara kerja sistem pengenal tamu.

Jawabannya sederhana saja. Pihak hotel membayar supir taksi untuk mengorek informasi dari tamu yang akan menginap di hotel itu. Jadi, di sepanjang perjalanan menuju hotel, supir taksi akan berbincang-bincang dengan tamu dan mengajukan pertanyaan penting apakah mereka pernah menginap di hotel itu sebelumnya.

Kalau tamu belum pernah sama sekali menginap, maka supir taksi akan memberi kode kepada resepsionis dengan cara menaruh bagasi tamu di samping kiri meja resepsionis. Kalau sudah pernah, maka supir taksi menaruh bagasi di sebelah kanan meja. Sederhana dan murah.

Drew Boyd dan Jacob Goldenberg menulis cerita menarik itu dalam buku berjudul Inside the Box. Buku ini menyajikan fakta keunggulan berpikir di dalam kotak untuk berinovasi, bukan di luar kotak, apalagi dengan brainstorming.

Buku lain menceritakan tentang keunggulan berpikir simpel dalam versi berbeda. NASA mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan pulpen yang bisa digunakan di pesawat atau stasiun luar angkasa. Pulpen itu harus bisa berfungsi pada gravitasi lemah. Pulpen yang tidak terpengaruh dengan gaya gravitasi.

Lalu dalam cerita tersebut mengemuka pertanyaan tentang mengapa harus berpikir rumit begitu? Mengapa tidak memakai pensil saja? Sesederhana itu. Namun, ternyata penggunaan pensil di luar angkasa memiliki risiko besar.

Argumentasi penolakan penggunaan pensil sudah bertebaran di internet. Salah satunya ada dalam film 3 Idiots yang dirilis 10 tahun lalu pada 2009. Ketika sang direktur sekolah tinggi bernama Viru Sahastrebuddhe mengatakan kepada mahasiswanya bernama Rancho, jika ujung pensil yang digunakan di luar angkasa itu pecah, maka pecahan itu akan mengapung dalam gravitasi nol, masuk ke mata, hidung, dan menyebar ke mana-mana. Yang paling parah jika pecahan itu merusak instrumen vital pesawat luar angkasa. Artinya, pensil bukan solusi sederhana dan kesederhanaan tidak selalu memberikan jawaban.

Maka, benarlah apa yang disampaikan Albert Einstein: “Buat semuanya sesederhana mungkin, tetapi jangan terlalu sederhana.”

***
Riza Almanfaluthi
Artikel ini ditulis untuk dan pertama kali dimuat di Majalah Media Keuangan Vol.XIV/NO.147/Desember 2019
Edisi lengkap Media Keuangan nomor tersebut bisa diunduh di sini.

 

 

Saya Melihatmu Meleleh di Neraka

$
0
0

Ada syarat-syarat tertentu yang harus dilakukan untuk bisa memiliki ilmu-ilmu kebal. Ilmu yang membuat badan atau tubuh kita utuh tanpa kurang suatu apapun saat ditusuk, diiris, dibacok senjata tajam. Atau saat dibakar dan berjalan di atas pecahan beling dan bara api.

Syaratnya antara lain bertapa di tempat sunyi dan angker, membawa menyan dan sesaji, melakukan wirid-wirid tertentu ataupun mantra-mantra nenek moyang. Puasa mutih selama empat puluh hari empat puluh malam. Atau sama sekali tidak makan ataupun minum.

Bahkan yang paling ekstrim adalah dengan melakukan hal-hal yang aneh yaitu makan daging mayat ataupun menyetubuhinya sampai mencapai bilangan tertentu. Biasanya kalau sudah 99 banyaknya, untuk mencari yang ke-100 susah banget, alih-alih berhasil malah gagal.

Yang demikian ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak syarat-syarat yang diminta oleh setan. Ujung-ujungnya adalah penghambaan manusia pada dirinya. Tidak kurang bahkan ingin lebih. Tumbal akidah itu sudah pasti menjadi taruhannya. Menjual dengan murah kehidupan akhirat dengan kefanaan dunia. Murah-murah sekali.

Tetapi banyak sekali loh yang mau. Iklan-iklan mengajak orang pada jalan pintas ini banyak bertebaran di koran-koran. Mulai dari yang benar-benar mengaku sebagai dukun dengan wajah angker, rambut terurai panjang sebahu, dan kumis serta jenggot yang menjuntai sampai pada tampilan yang bagaikan sosok-sosok walisongo dan bergelar kyai ataupun ustaz. Apalagi diiming-imingi keberhasilan 100% dan jaminan uang kembali.

Satu lagi yang membedakannya dengan dukun-dukun kampung berbangklon, bergelang bahar, berkalung tengkorak tergantung di leher, untuk mereka yang mau ilmu kebal ini, tidak perlu melakoni syarat-syarat di atas. Gampang. Tinggal menyerahkan mahar dengan angka tertentu yang telah disepakati maka ilmu pun bisa langsung ditransfer saat itu. Realtime Systems bo… Murah-murah sekali. Laris manis tanjung kimpul. Duh…

Tetapi bagi yang berpikiran rasional, tidak ada ilmu kebal yang demikian. Yang ada adalah bagaimana menciptakan alat untuk bisa melindungi tubuh dari terjangan pedang, panah, bahkan peluru tajam. Nabi Daud sudah memulai sejak dulu kala dengan menciptakan baju baja dan di abad pertengahan perlindungan itu menutupi seluruh tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Karena tidak efektif dan efisien, kini baju itu cuma tinggal jadi barang rongsokan ataupun jadi barang tontonan di museum-museum orang barat sono. Paling hebat cuma jadi figuran film kartun di kastil-kastil tua.

Sekarang karena ilmunya sudah dikuasai, banyak sekali ragam baju kebal seperti ini. Kesatuan pemadam kebakaran yang paling modern dan para astronot sudah memakai baju antiapi dan antipanas ini.

Bahkan para ilusionis dan penyuka rasa sakit sudah memakainya dalam setiap pertunjukannya. Tidak hanya untuk menahan api, tetapi untuk menahan sambaran setrum jutaan volt, juga halilintar. Gundala Putera Petir—pahlawan super made in Indonesia rekaan masa lalu—mungkin kalah aksinya dengan mereka.

Ada lagi rompi antipeluru yang terbuat dari kain dilengkapi bahan penahan kejut (kevlar) di dalamnya dan berfungsi sebagai penahan bacokan benda tajam, pecahan granat, tekanan/kejut dari pistol dan senjata laras panjang [1]. Rompi ini tidak hanya dipakai oleh prajurit Amerika Serikat untuk menjajah dunia, tetapi juga kesatuan-kesatuan tempur di setiap negara. Juga para penjual jasa keamanan swasta sekelas Blackwater Security Consulting, Vinnel, Dyncorp hingga yang cuma sekelas pengamanan uang Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

Tidak hanya dari kevlar, dengan teknologi yang semakin canggih, kini sudah dilakukan penelitian untuk mengganti kevlar dengan benang sutra laba-laba. Karena benang ini merupakan suatu jaringan serat yang sangat ringan dan kekuatan serta kelenturannya jauh melebihi Kevlar—serat sintesis terkuat yang ada saat ini buatan perusahaan DuPont. Kekuatan benang sutra ini bahkan mampu menahan peluru yang ditembakkan tanpa menyakiti orang yang memakainya sebagai baju anti peluru [2]. Jelas ini mahal. Mahal-mahal sekali.

Inilah usaha manusia untuk melindungi dirinya agar senantiasa selamat. Yang pertama dengan upaya yang murah tapi haram dengan menggadaikan hartanya yang paling mahal, yaitu akidah, hingga menempuh cara yang rasional tapi berbiaya tinggi. Karena saking mahalnya, satu paket proyek pertahanan keamanan bisa untuk membangun dan merehabilitasi ribuan sekolah. Otomatis kalau yang ini jadi target utama, amanah Undang-undang Sisdiknas tentang biaya untuk pendidikan sebesar 20% dari APBN tidak akan mungkin tercapai dengan segera.

Ya, semua di atas adalah untuk perlindungan fisik semata. Tidak menyentuh psikis manusia yang sebetulnya perlu bahkan wajib untuk dilindungi. Karena bila psikis manusia tidak dilindungi dari pengalaman buruk seperti penghinaan, perlakuan buruk, cemoohan, ketersinggungan, kegagalan dan teman-temannya itu, maka pengalaman buruk itu akan menjadi sampah yang mengotori pikiran.Semakin sering kita menyimpan memori buruk di otak, semakin negatif sikap dan perilaku kita [3].

Bagaimana cara menyingkirkannya? Kita kudu membuat armor-nya. Dan ini berarti kita harus belajar ilmu kebal yang satu ini. Tetapi tunggu dulu. Latar belakangnya bagaimana nih kok bisa pembahasannya sampai ke sini.

Yup, beberapa hari yang lalu, dalam sebuah email pribadi saya: muncul ungkapan-ungkapan seperti ini: eh pecun murahan….dasar cemen….. sok hebad…limp dick…banci im yawr worst nite mare ever….. i see u melt in hell.

**

Riza Almanfaluthi

Tulisan lama yang diperbaiki dan ditulis kembali.

      1. Analisa Kebijakan Penggunaan Rompi Tahan Peluru Taktis Di Lapangan http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=12&mnorutisi=2
      2. Benang Laba-laba dari Susu Kambing
        http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=17
      3. Membersihkan ‘Sampah’ dari Pikiran http://jerryronancy.blogs.friendster.com/chi/

 

 

Menilik Konten Viral dan Kasus BMKG

$
0
0

Apa yang membuat sebuah konten menjadi viral di media sosial? Viral dalam lingkup organisasi sendiri, nasional, atau bahkan global. Viral itu berarti konten yang kita buat dibicarakan banyak akun media sosial.

Buku bagus berjudul 200 Tips Ampuh Meningkatkan Performa Organisasi di Internet dengan Anggaran Terbatas menjelaskan bagaimana caranya menjadi terkenal dan menjawab pertanyaan di atas. Jawabannya satu, yakni konten itu memberikan manfaat kepada pengguna media sosial. Media sosial yang kita kelola menyediakan konten yang memberi solusi dari berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

Tentu, buku ini tidak hanya menjelaskan soal di atas saja. Garis besarnya, buku ini memberi perhatian penuh bagaimana sebuah tim dalam organisasi mengelola media sosialnya dengan baik. Apalagi di tengah banyaknya pimpinan organisasi yang belum memahami urgensi pengelolaan media sosial.

Soal yang terakhir itu, penulis buku ini Hariqo Wibawa Satria menghidangkan satu bab khusus dengan judul 37 Manfaat Medsos dan Website untuk Organisasi. Hariqo memahami, referensi tentang pengelolaan media sosial sudah banyak ditulis, namun masih sedikit yang mengangkat tema terkait pengelolaan tim media sosial. Buku Hariqo hadir untuk ini. Selain juga untuk meningkatkan kreativitas dan kolaborasi antarpengguna media sosial demi kepentingan nasional.

Kita jadi ingat saat Presiden Republik Indonesia membuka festival kreatif IdeaFest 2018 di Jakarta lebih dari setahun lalu tepatnya pada 26 Oktober 2018. Jokowi mengajak para pembuat konten kreatif, industri, dan pemerintah untuk melanjutkan kolaborasi. Karena menurutnya, kolaborasi adalah modal untuk memenangkan kompetisi di era Revolusi Industri 4.0 dan bersaing dengan negara lain.

Direktorat Jenderal Pajak dengan empat kanal media sosialnya di Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube menyadari itu. Empat kanal itu masing-masing memiliki kekuatannya sendiri-sendiri. Akun Instagram @DitjenPajakRI memiliki 152.105 followers, akun Twitter @DitjenPajakRI memiliki 135.806 followers, akun Facebook Direktorat Jenderal Pajak memiliki 225.037 fans, dan akun Youtube Direktorat Jenderal Pajak memiliki 13.115 subscribers. Tidak hanya itu, DJP juga memiliki akun media sosial dari 595 instansi vertikal dan unit pelaksana teknis.

Itu modal besar bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk mempengaruhi dunia dengan berbagai konten, khususnya memberikan kesadaran tentang membayar pajak kepada masyarakat. Oleh karenanya, institusi ini harus serius mengelola media sosialnya dengan benar. Sudah pada jalur yang tepat, peraturan tentang pengelolaan jejaring sosial di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sedang digodok pada akhir tahun ini.

Aturan ini menekankan pada kerja tim dalam pengelolaan media sosial. Patutlah kalau buku Hariqo ini selaras dengan itu. Buku Hariqo memberikan wawasan tentang tahapan pembentukan tim media sosial, tip-tip bagi ketua tim media sosial, ratusan tip membuat konten yang dapat meningkatkan keterlibatan warganet, cara memonitor kinerja media sosial, dan menjaga kesehatan tim media sosial. Mengapa perlu?

Bermain atau bekerja terlalu lama dengan media sosial itu berbahaya. Hariqo mengutip Taylor Loren menuliskan beberapa gejala fisik dan mental yang harus diwaspadai seperti kecemasan, perasaan lesu, low mood, sulit berkonsentrasi, kreativitas berkurang, keletihan, sakit kepala, gangguan pencernaan, tekanan darah tinggi, kesulitan tidur, peningkatan kerentanan terhadap pilek dan flu, serta ketegangan otot dan nyeri di salah satu bagian tubuh. Taylor menyarankan beberapa tip mengatasinya, antara lain dengan unfollow akun-akun yang membuat tidak nyaman.

Selain itu, salah satu yang menarik dalam buku ini adalah cerita tentang BMKG menghapus konten karena salah dalam menggunakan emoji. Akun Twitter @infoBMKG menggunakan emoji yang tidak pantas saat mengabarkan tsunami di Palu dan Donggala.

Cuitan BMKG diakhiri dengan emoji berbentuk kepala bulat berkacamata hitam. BMKG menghapus cuitan itu kemudian membuat redaksi baru yang diakhiri emoji lain berupa telapak tangan yang saling bertangkup setelah kalimat “Tetap tenang”.

Emoji kepala bulat berkacamata hitam biasanya digunakan untuk menunjukkan perasaan santai, dingin, ekspresi percaya diri, riang, gembira, atau sesuatu yang sangat baik. Tentu emoji ini tidak pas diikutsertakan dalam kabar musibah. Dalam redaksi terakhirnya, emoji telapak tangan yang saling bertangkup pun memiliki arti minta tolong, terima kasih, atau berdoa.

Emoji memiliki tafsir yang bermacam-macam. Hariqo menyarankan untuk tidak menggunakan emoji ketika menyampaikan pesan dalam suasana duka, belasungkawa atas kematian, dan bencana alam.

Hariqo mengutip Mehak Anwar yang menulis artikel berjudul 5 Times You Should Never, Ever Use an Emoji. Lima waktu yang tidak diperkenankan menggunakan emoji adalah pada saat memutuskan cinta, mengekspresikan duka dan belasungkawa atas kematian seseorang, menanggapi sebuah rahasia, berkomunikasi dengan bos atau atasan lainnya, dan ketika kita mewakili institusi resmi.

Institusi memang harus seimbang antara berhati-hati dalam mengunggah konten dan membebaskan kreativitas tim pengelola dalam bermedia sosial. Jika terjadi kesalahan, tim harus dapat bergerak cepat menangani kesalahan itu agar tidak menghancurkan reputasi institusi.

Kesalahan bisa terjadi, antara lain karena tim media sosial hanya memiliki satu gawai untuk mengelola media sosial institusi. Itu pun milik pribadi. Organisasi tidak menyediakan gawai khusus untuk mengelola akun media sosialnya.

Sampai di sini, hendaknya institusi pengelola media sosial menyadari bahwa mengelola tim media sosial tidak sekadar mengelola manusia, melainkan juga mengelola pemenuhan kebutuhan tim media sosial dari sisi peralatan yang dibutuhkan oleh tim untuk dapat bekerja secara optimal. Sudahkah?

Apakah Anda menjadi bagian dari tim pengelola media sosial? Baca buku ini. (RZ/DRM)

***
Penulis: Riza Almanfaluthi
Editor : Dwi Ratih Mutiarasari
Artikel ini ditulis untuk dan pertama kali dimuat di Majalah Elektronik Internal Direktorat Jenderal Pajak Intax Edisi Keenam Tahun 2019.

Obat Tak Bisa Menulis

$
0
0

Semuanya berkumpul di kepala ini keinginan untuk menuliskan sesuatu. Tapi apa hendak dikata, saat pena telah terpegang di tangan, lembaran kertas kosong terhampar di atas meja, atau saat program pengolah kata terbuka di depan mata, tidak ada satu huruf pun yang muncul di layar atau tertoreh hitam di atas putih. Tetap kosong. Kalaupun ada huruf yang muncul selalu tombol backspace atau delete menjadi penyapu hingga tetap bersih, atau dengan coretan tegas panjang menimpa satu atau dua kata yang sempat tertulis.

”Saya tak bisa menulis,” selalu kesah itu yang muncul. Ada apa ini?

Kalau diibaratkan kepala kita adalah teko yang telah terisi penuh dengan air maka sudah sunnatullah, air itu akan tumpah keluar. Kecuali di ujung mulut teko ada penutup rapat yang menyebabkan air tak bisa keluar. Lalu penutup apa yang menghalangi dan menyumbat isi kepala kita sehingga tak bisa mengeluarkan seluruh ide yang ada padanya dalam bentuk tulisan?

Hanya satu, perasaan TAKUT. Takut salah, takut dinilai orang lain, takut dihina, takut dibanding-bandingkan, takut tidak trend, takut tidak runut, takut terlihat bodoh, takut tidak nyastra, takut tidak nyambung, dan seribu satu alasan ketakutan lainnya itu.

Ketakutan itu muncul karena satu sebab saja. Kita tidak mau dilihat jelek oleh orang lain. Maka hasilnya sungguh menakjubkan, ketakutan itu menjadi penghalang besar bagi sebagian orang untuk menulis. Bila kita selalu dihantui ketakutan itu maka yakinilah seumur hidup kita tidak akan pernah menulis satu huruf pun. Bahkan satu karakter pun tidak, entah titik atau koma. Seperti Sundel Bolongkah rasa takut itu hingga kita menjadi paranoid dengan ketakutan itu sendiri? Lalu bagaimana, dong?

Hanya satu obatnya, cuek, jangan pernah pedulikan apa kata orang, jangan pernah sekalipun berpikir tentang penilaian orang lain, jangan pernah berpikir tentang teori njlimet kepenulisan. Biarkan ia mengalir apa adanya. Jangan pernah dihentikan sampai Anda memutuskan di mana titik terakhir itu Anda tempatkan. Lalu berhentilah sejenak saat Anda telah menemukan titiknya. Istirahatlah.

Setelahnya, Anda akan temukan huruf-huruf itu menjadi sebuah kata. Dan kata-kata itu menjadi sebuah kalimat. Dan kalimat-kalimat itu menjadi sebuah paragraf. Dan paragraf-paragraf itu begitu mudahnya, begitu gampangnya memenuhi lembaran kertas dan layar Anda.

Barulah Anda tidak bisa cuek di sini. Anda harus peduli itu. Anda harus menjadi penyunting bagi diri Anda sendiri. Minimal Anda harus memperbaiki kesalahan tulis yang ada pada karya Anda itu. Setelahnya pilihan kata yang tepat. Itu saja. Tidak lebih.

Tunggu dulu, ada satu lagi, ulangi terus langkah ini sampai Anda temukan betapa mahirnya Anda menyusun rangkaian kata itu. Sampai Anda temukan ternyata masih ada yang harus diperbaiki dalam tulisan Anda. Sampai Anda temukan betapa ketakutan itu hanya ada di awal langkah Anda. Betapa ketakutan itu hanya pada saat Anda akan memulai suatu langkah besar.

Setelah itu ia menghilang bagaikan halimun ditelan pagi yang cerah dengan sinar mentari hangat tersenyum pada dunia.

Anda tidak percaya? Sekarang juga! Ambil pena, ambil kertas, and just do it! Masih tidak percaya? Sesungguhnya tulisan ini diawali pula dari rasa takut.

***
dedaunan di ranting cemara
disampaikan pada sesi ngeblog (nulis) itu mudah.
22:24 18 Desember 2005

 

 

Sosok Sigit Danang Joyo: Berani Berantas Korupsi

$
0
0

Sigit Danang Joyo menerima Intax di ruangan kantornya yang bersahaja pada Senin, 9 Desember 2019. Itu hampir sepekan setelah acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di, Aula Cakti Buddhi Bhakti Kantor Pusat DJP, Jakarta.

Nama Sigit mulai dikenal masyarakat setelah ia masuk ke dalam sepuluh nama yang diserahkan oleh Pansel Capim KPK kepada Presiden Joko Widodo September 2019 lalu. “Boleh saya bilang tes yang paling berat bagi saya selama mengikuti seleksi adalah ketika wawancara dengan sembilan anggota Pansel (panitia seleksi–Red.) ditambah tiga ahli hukum yang sebagian besar adalah para guru besar,” ucapnya.

Walaupun demikian Sigit belum berhasil melaju ke Kuningan. “Mereka (anggota DPR) bilang, secara politik Mas Sigit belum cukup mendapatkan dukungan,” tutur pria pemilik hobi mancing dan pecinta alam ini.

 

Sebagai Subjek

Selama proses pemilihan Capim KPK itu, Sigit mendorong wacana penguatan DJP. Menurutnya, keuangan negara ada dua sisi yaitu penerimaan dan pengeluaran. Banyak pihak yang mengawasi soal kebocoran pada sisi pengeluaran negara yang disebut korupsi, seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. “Sedangkan uang yang baru atau akan masuk ke kas negara (penerimaan negara) seperti pajak, yang diberi amanah hanyalah DJP,” ucap Sigit.

Sigit menilai, selama ini DJP hanya disorot sebagai objek (sasaran) dalam pemberantasan korupsi. “Seharusnya semua pihak ikut mendorong DJP sebagai subjek (pelaku) dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” ujarnya dengan serius. Menurutnya, sebagai subjek, DJP memiliki seperangkat kewenangan yang jauh lebih leluasa dalam mendeteksi korupsi atau setidak-tidaknya inefisiensi penggunaan anggaran negara.

DJP dapat menjadi trigger mechanism yang mendorong dan membantu penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi. “Jadikan DJP lembaga yang bermartabat, yang strategis, yang mampu menjadi ujung tombak, yang men-trigger aparat-aparat penegak hukum itu dalam konteks penyelamatan keuangan negara,” kata salah satu pendiri Indonesia Court Monitoring (ICM) ini saat ia masih menjadi senat mahasiswa di Universitas Gajah Mada pada 1998.

 

Harus Berani

Sigit menjelaskan, sampai saat ini program pencegahan dan pemberantasan korupsi di DJP masih dalam zona biru. Artinya DJP dinilai sebagai institusi yang melampaui target dalam program pencegahan dan pemberantasan korupsi. Menurut mantan Asisten Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bidang hukum ini, pencapaian itu masih di atas kertas karena pada faktanya masih ada oknum DJP yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Menurut lulusan S-2 dari Universitas Paris 9 dan Paris 1 Sorbonne ini, kampanye DJP dalam iklan layanan masyarakat berupa ajakan untuk tidak melakukan perbuatan korupsi tidaklah cukup. “Sehingga yang paling efektif untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi itu adalah dengan menggunakan tangan kita sendiri supaya tidak terjadi korupsi. Bukan hanya bicara, bukan hanya mendoakan, tetapi dengan tangan kita sendiri melakukan itu,” jelasnya.

Selama ini, banyak pengaduan mengenai oknum pegawai DJP yang terindikasi melakukan pelanggaran disampaikan langsung oleh pegawai DJP ke KPK.  Sehingga perlu diciptakan suatu kondisi agar para pegawai DJP memiliki keberanian untuk melaporkan adanya indikasi perilaku koruptif di lingkungannya kepada pihak internal DJP.

Di samping itu, perlu juga adanya perlindungan bagi pegawai DJP ketika menyampaikan laporan sehingga mereka memiliki rasa aman untuk menyampaikan ketidakbenaran yang terjadi di lingkungannya. Perlu juga diciptakan adanya suatu kepercayaan bagi pegawai bahwa laporannya akan ditindaklanjuti.

Sebenarnya DJP telah memiliki WBS (Whistleblowing System) yang merupakan WBS pertama kali dibangun di level kementerian. Oleh karena itu, DJP terus-menerus mendorong agar pegawai DJP mampu menjaga DJP melalui WBS tersebut.

Dalam hal ini tentunya juga harus diimbangi dengan adanya komitmen agar pimpinan betul-betul memberikan ketegasan terhadap praktik korupsi itu, misalnya terhadap oknum pegawai DJP yang sangat kuat terindikasi melakukan tindakan koruptif. “Pimpinannya harus berani untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS,” imbuh ayah dua putri ini.

Sigit setuju dengan pendapat mantan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution yang menyatakan pegawai DJP yang benar-benar baik dan berani melakukan perubahan itu hanya sepuluh persen, yang tidak bisa diubah sepuluh persen juga. “Yang 80 persen itu floating mass, tergantung pimpinannya. Makanya kita dorong 80 persen itu supaya mereka proaktif dan berani,” kata Sigit.

 

Bekerja Efektif

Di tengah kesibukannya, Sigit berusaha menerapkan konsistensi dalam bekerja. Ia meminta anak buahnya untuk bekerja efektif sesuai jam kantor tanpa harus lembur. Menurut Sigit, tidak ada pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dari pukul 7.30 sampai 17.00. “Bisa kok. Asal kita efektif, konsentrasi, dan fokus,” ucap Sigit. “Inti dalam bekerja itu sebenarnya adalah mengetahui apa pekerjaannya, mengetahui apa yang harus dilakukan, kemudian lakukanlah. Pasti cepat selesai pekerjaan itu. Tanpa perlu ditunda-tunda,” tambah Sigit.

Pun, dalam kondisi genting dan mendesak, tugas itu bisa diselesaikan di rumah.  “Keluarga, istri dan anak-anak bagiku itu penting. Pokoknya kalau kerja itu, dua hal jangan dilupakan. Ibadah dan keluarga. Sudah,” ujar Sigit.

Sesibuk-sibuknya ia menggeluti pekerjaannya, Sigit berusaha meluangkan waktu untuk istri dan anak-anaknya. Sigit mengajari naik sepeda, mengaji, dan menjadi guru les untuk kedua putrinya yang masih kecil-kecil. “Itu hal yang tidak bisa digantikan sama yang lain-lain. Itu golden age. Nanti gede sedikit sudah lewat semuanya. Bonding-nya tidak dapat,” pungkasnya.

***

Penulis: Riza Almanfaluthi

Editor: Agung Utomo

Foto: Arif Kuswanadji

Artikel ini telah dimuat di majalah elektronik internal Direktorat Jenderal Pajak INTAX Edisi VII 2019.

Trump dan Pajak Digital

$
0
0

Presiden Amerika Serikat ini memang senang perang dan baunya. Perang fisik ataupun dagang. Tewasnya petinggi militer Iran Jenderal Qasem Soleimani di Irak atas serangan drone Amerika Serikat bisa jadi bukti. Juga suka berperang dengan Cina. Perang dagang.

Terakhir kemarin (Selasa, 21/1), pemerintahan Donald Trump melalui Menteri Keuangan Amerika Serikat Steve Mnuchin siap-siap bikin balasan menyakitkan kepada Italia dan Inggris jika dua negara Eropa itu menerapkan pajak kepada perusahaan-perusahaan seperti Google, Apple,  Facebook, Amazon, dan Netflix. Menurut Trump pengenaan pajak ini mendiskriminasi bisnis Lembah Silikon dan tidak konsisten dengan kebijakan pajak internasional.

Di hari sebelumnya, Amerika Serikat juga berhasil menekan Perancis agar tidak menerapkan tarif pajak 3% kepada perusahaan digital berdasarkan undang-undang pajak yang disahkan tahun lalu. Perancis mengenakan pajak terhadap perusahaan digital yang memiliki pendapatan global sebesar 750 juta Euro dan penjualan digital sebesar 25 juta Euro.

Tadinya Perancis ngotot buat mengenakan pajak digital itu kepada perusahaan seperti di atas, tetapi bukan namanya Trump kalau bisa membalikkan kartu. Tarif Trump jadi ancaman kuat yang menghentikan Perancis. Amerika Serikat akan menerapkan tarif 100% atas produk Perancis berupa anggur dan keju yang memiliki nilai penjualan $2,4 miliar.

Uni Eropa—yang pada 2014 mendakwa Irlandia menerapkan rezim tarif pajak rendah kepada Apple—memang gerah dengan aliran deras uang konsumsi digital tanpa pajak itu ke perusahaan-perusahaan digital. Sebenarnya tidak hanya Uni Eropa, puluhan negara-negara lainnya di dunia juga enggak mau diam.

Secara aturan klasik perpajakan internasional, hak pemajakan ada pada negara tempat perusahaan teknologi itu dan perusahaan teknologi tidak membayar pajak di yurisdiksi tempat mereka menjual layanan.

Ini memaksa OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) untuk menemukan titik temu. Pada Desember 2019 saja Amerika Serikat menolak proposal OECD agar hak pemajakan diberikan juga kepada negara-negara tempat perusahaan digital menjual layanannya.

Jika titik temu tidak tercapai maka kita akan melihat setiap negara nantinya akan mengambil langkah-langkahnya sendiri.  Kita kemudian mendengar istilah Google tax dan Netflix Tax. Terbukti Perancis, Inggris, Italia, Australia, dan masih banyak negara lainnya. Tinggal kuat-kuatnya Amerika Serikat membalas tekanan banyak negara untuk itu.

Dan setelah Pajak Google, bagaimana dengan Pajak Netflix di Indonesia? Bisakah negara mengambil pajaknya dengan kesepakatan? Atau menunggu Undang-Undang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian diserahkan ke Senayan untuk dibahas dan disahkan? Setelah itu, akankah wajah Trump menoleh ke Indonesia? Itu juga kalau ia lolos dari sidang pemakzulan di senat negaranya.

Kayaknya enak nih mendengar para pakar pajak berkumpul dan membahas ini sambil menyeruput segelas Hot Cappucino di warung kopi waralaba negara adidaya dengan logo warna hijau itu. Iya enggak sih?

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
22 Januari 2020


Kaisar Amerika Serikat

$
0
0

Pada saat ini banyak bermunculan kerajaan baru dengan raja-raja barunya di Indonesia. Amerika Serikat juga pernah mengalami mendapatkan raja baru di masa Presiden James Buchanan. Seseorang yang tidak waras bernama Joshua Norton mendaulat dirinya sendiri sebagai kaisar pada 17 September 1859 dengan gelar Kaisar Norton I.

Untuk menunjang tugasnya sebagai kaisar, Norton berpakaian seragam militer lengkap dengan pangkat di pundak, memiliki sebilah pedang, dan bertopi bulu merak. Selama 21 tahun mengelilingi jalanan San Fransisco dengan dikawal dua anjing liar.

Seperti raja Keraton Agung Sejagat Toto Santoso yang ditangkap Kepolisian Daerah Jawa Tengah karena dianggap meresahkan warga, Joshua Norton juga pernah ditangkap oleh kepolisian San Fransisco karena dianggap orang gila yang berkeliaran di jalanan. (Saat ini, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar juga menganggap Toto Santoso sebagai orang kurang waras.)

Nah, penangkapan Norton itu malah dikecam oleh masyarakat San Fransisco. Mereka memprotes kepala polisi dan memintanya untuk membebaskan Norton. Kaisar Norton akhirnya dibebaskan dan kepala polisi meminta maaf secara pribadi. Mendapatkan perlakuan seperti itu, Norton mengeluarkan “pengampunan raja”.

Norton selain ketidakwarasannya dikenal sebagai orang yang ramah, cerdas, dan rasional—kecuali tentu tentang dirinya dan kekaisarannya. Masyarakat San Fransisco menerima Norton sebagai maskot tidak resmi kota.

Masyarakat membayar “pajak” kepada Norton. Restoran di San Fransisco memberikan makanan kepadanya. Pemilik teater memberikan tiket bangku khusus kepadanya. Pemerintah kota juga menyediakan anggaran khusus buat seragamnya, jika seragam itu sudah usang. Percetakan membuat logo resmi pemerintahan kaisar yang diterima oleh toko-toko sebagai mata uang kaisar. Toko-toko juga menjual boneka Kaisar Norton.

Norton selain mendapatkan haknya sebagai kaisar juga menjalankan “kewajiban-kewajibannya”, seperti memberikan gelar kebangsawanan abadi kepada petugas kota, memecat gubernur California, melarang Kongres untuk bersidang di Washington D.C., menghapus Partai Demokrat dan Partai Republik, dan memerintahkan Dewan Pengawas Kota untuk ditahan karena tidak bisa menjalankan dekritnya.

Ketika dia meninggal, ribuan warga kota hadir dengan iringan pemakamannya sepanjang dua mil. Media massa memberitakannya secara terperinci, bahkan melebihi pemberitaan pelantikan gubernur baru California. Orang-orang kaya ikut menjadi donator membiayai pemakamannya. Bendera-bendera dikibarkan setengah tiang. Batu nisannya ditulis dengan huruf besar KAISAR AMERIKA SERIKAT DAN PELINDUNG MEKSIKO. Tanpa didahului tanda kutip, sungguh.

Namun patut diingat, dalam delusinya Norton meninggalkan warisan. Seabad kematiannya diperingati. Mata uang Kaisar Norton jadi benda koleksi. Kenal Mark Twain dan Robert Louis Stevenson? Mereka berdua mengabadikan Norton dalam bukunya masing-masing. Ide Norton dalam mendukung perempuan dan kelompok minoritas diterima luas. Ia juga mengusulkan dibentuknya Liga Bangsa-bangsa sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa ada dan pembangunan jembatan San Fransisco-Oakland.

Eric Barker yang menulis cerita Kaisar Amerika Serikat di atas dalam bukunya berjudul Mendaki Tangga yang Salah ini mencatat, “Jika Norton tidak melaksanakan pemerintahannya dengan percaya diri, orang-orang tidak akan mengingatnya dengan hormat hingga satu abad kemudian. Tetapi jika Anda tidak berhati-hati, kepercayaan diri bisa menjadikan Anda seorang kaisar yang tidak punya wilayah di luar kepala Anda sendiri.”

Kini ada Toto Sugianto sebagai Raja Keraton Agung Sejagat dan pendahulunya Nasri Banks sebagai Kaisar Sunda Empire. Pengawal mereka bukan anjing-anjing liar yang setia mengikuti Norton ke mana-mana. Mereka punya banyak pengikut. Dan punya kepercayaan diri yang luar biasa.

Tinggal waktu yang akan membuktikan apakah dengan kepercayaan diri itu mereka akan meninggalkan warisan abadi. Untuk diingat dalam benak pikiran masyarakat. Atau cukup diingat dalam ingatan-ingatan pendek media sosial yang hanya bisa dicari dengan Google?

Karena sebagai kaisar, mereka hanya memiliki wilayah di kepalanya masing-masing.

 

***
Riza Almanfaluthi
Dedaunan di ranting cemara
23 Januari 2020

Ditjen Pajak Siapkan Single Login untuk Wajib Pajak

$
0
0

Direktorat Jenderal Pajak semakin bertekad memberikan layanan terbaik untuk wajib pajak dengan secara resmi meluncurkan Single Login di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta (Kamis, 23/01).

Single Login ini berupa tombol kuning bertuliskan login di sudut kanan atas laman situs web pajak.go.id. Dengan satu kali log masuk (login), wajib pajak akan mendapatkan banyak layanan digital terutama pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Secara terperinci layanan digital yang disediakan itu adalah sebagai berikut:

    • Pelaporan (e-Filing, e-reporting, e-CBCR, e-Bupot)
    • Pembayaran (e-Biling)
    • Profil wajib pajak berupa data pokok wajib pajak dan SPT yang dilaporkan

<li>Layanan administrasi seperti konfirmasi dokumen, konfirmasi status wajib pajak, dan permohonan yang untuk sementara jumlah dan cakupannya masih terbatas dan akan terus ditambahkan.

Single Login ini merupakan salah satu program dari Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak 2015-2019 yang dilanjutkan pengembangannya dan masuk menjadi program dari Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak 2020-2024.

Single Login juga merupakan pintu masuk layanan berbasis 3C (Click-Call-Counter). 3C ini merupakan program pemberian pelayanan kepada wajib pajak dengan sistem kanal namun tidak terbatas pada ketiga kanal tersebut (termasuk juga di dalamnya kanal lain seperti aplikasi mobil dan kantor pos).

Dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak memberikan kanal utama melalui situs web pajak.go.id dengan pengelolaan permohonan yang masuk ke dalam situs web secara otomatisasi penuh tanpa bantuan manusia, atau diproses lebih lanjut oleh agen pusat kontak (contact center) atau Account Representative tergantung kerumitan jenis permohonan.

Kanal kedua adalah pusat kontakBeberapa jenis permohonan juga direncanakan dapat disampaikan melalui pusat kontak. Sementara bagi wajib pajak yang tidak dapat mengakses situs web dan pusat kontak atau termasuk dalam kategori risiko sesuai aplikasi Complain Risk Management (CRM) dapat menyampaikan permohonannya secara langsung melalui kantor pajak.

Konkretnya, Direktorat Jenderal Pajak akan mendigitalisasi dan mengotomatisasi layanannya secara bertahap sehingga wajib pajak tidak perlu berbondong-bondong datang ke kantor pajak.

Pada 2020 ini akan ada tujuh layanan yang terlebih dahulu diotomatisasi ke situs web pajak.go.id, yaitu sebagai berikut:

  1. Pemberitahuan Penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Netto
  2. Pemberitahuan Penyelenggaraan Pembukuan dalam Bahasa Inggris dan Mata Uang Dollar Amerika Serikat (KK dan KKS)
  3. Surat Keterangan Jasa Luar Negeri
  4. Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Non Efektif Orang Pribadi
  5. Perubahan Data Wajib Pajak Ekspress
  6. Cetak Ulang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
  7. Surat Keterangan PP 23.

Wajib pajak dapat mengaksesnya nanti dengan menekan tombol login di pajak.go.id kemudian akan muncul tampilan log masuk. Wajib pajak tinggal memasukkan NPWP dan kata sandi yang dimiliki lalu akan muncul tampilan laman dengan “tab” Dasbor, Profil, Bayar, Hitung, Lapor, dan Layanan. Tujuh layanan yang diotomatisasi dengan sistem itu diakses dengan mengeklik “tab” Layanan.

Direktorat Jenderal Pajak meyakini dengan otomatisasi layanan ini maka Direktorat Jenderal Pajak akan dapat memberikan pelayanan yang berkualitas dan terstandardisasi kepada wajib pajak. Pelayanan yang diberikan juga adalah pelayanan yang profesional, tepercaya, transparan, tepat waktu, dan konsisten sesuai dengan aturan yang berlaku.

Ini juga memberikan keseragaman dan kemudahan pelayanan bagi wajib pajak. Tidak akan lagi ditemui perbedaan dokumen yang dipersyaratkan yang bisa jadi muncul jika dilayani secara luring melalui kantor pajak.

Terutama pula keyakinan bahwa otomatisasi layanan itu akan menunjang pengawasan pajak yang lebih efisien dan efektif berbasis pendekatan perilaku kepada wajib pajak.

Dan Single Login adalah mulanya. Pintunya, tetapi bukan pintu ke mana-mana. Ini pintu menuju era baru layanan digital Direktorat Jenderal Pajak.

***

Tulisan ini ditulis untuk dan pertama kali dimuat di pajak.go.id.

 

Resensi Buku: Guru Aini, Maryamah Karpov Kedua Andrea Hirata

$
0
0

Membaca buku ini membuat pikiran saya melayang di suatu masa ketika guru matematika itu melempari saya dengan sebatang kapur.  Di saat ia dengan serius menjelaskan rangkaian angka-angka, saya malah asyik makan kuaci bunga matahari di dalam kelas.

Guru Aini adalah prekuel dari novel Andrea Hirata: Orang-Orang Biasa. Prekuel itu awalan dari cerita sebelumnya. Novel Guru Aini sejenis novel from zero to hero. Dulu Andrea pernah menulis semacam ini ketika membuat novel Maryamah Karpov. Kali ini palagan itu bukan catur, melainkan matematika, ibu segala ilmu, piston yang menggerakkan seluruh mekanika kepandaian.

Nuraini binti Syafrudin atau Aini biasa ia dipanggil adalah tokoh novel ini yang paling bebal dalam pelajaran matematika. Sejak SD sakit perutnya kambuh kalau ada pelajaran itu. Sebuah kebiasaan yang entah kenapa bisa diturunkan dari ibunya Aini, Dinah, dulu sewaktu masih sekolah. ”Kalau ada pemilihan putri paling tak becus matematika tingkat Provinsi Sumatera Selatan, lekas kudaftarkan kau, Dinah!” kata Guru Matematika Desi Istiqomah.

Semua berubah ketika ayah Aini jatuh sakit dan ia tak naik kelas karena absen selama 7 bulan untuk menjaga ayahnya. Sang tabib bilang kepada Aini kalau penyakit ayahnya ini hanya bisa disembuhkan dengan pengobatan modern. Sejak itu Aini ingin menjadi dokter.

Masalahnya adalah ia harus menaklukkan matematika agar bisa kuliah di fakultas kedokteran. Untuk itu ia harus belajar kepada guru terbaik: Guru Desi. Guru matematika yang terkenal idealis. “Tanpa idealisme, matematika akan menjadi lembah kematian pendidikan,” kata Guru Desi.

Guru Desi juga dikenal sebagai guru yang galak, genius, dan punya nazar yang aneh. Guru Desi tidak akan pernah mengganti sepatu pemberian ayahnya yang sudah dipakai sejak pertama kali pergi ke tempat terpencil itu, sampai ia menemukan murid yang pintar matematika. Di sinilah cerita guru eksentrik dan murid bebal terjalin menarik.

Guru Desi tak serta merta menerimanya. Ia harus mengetahui seberapa kuat nyali Aini. Menurut Guru Desi ada tiga cara mempersulit diri sendiri di sekolah itu: “Pertama, masuk kelasku. Kedua, belajar matematika. Ketiga, belajar matematika dariku.”

Dengan berjalannya t kecil (baca: waktu) Guru Desi menerima Aini. Namun kebebalan seperti pungguk pengkor yang tak mau terbang dari tempurung kepala Aini. Guru Desi berusaha mencari cara bagaimana Aini bisa memahami matematika, tidak menjadi monumen kegagalannya mengajar, dan tak menjadi bagian dari statistik suram matematika dunia.

Juga Aini dengan tekad kuat berusaha tabah dengan kelakuan gurunya. “Di tiang bendera mana kepalamu pernah terbentur sehingga kau telat mikir begini?! teriak Desi kepada Aini kalau tak mampu menjawab soal matematika. Guru Aini hampir menyerah sampai ia menemukan suatu cara terakhir.

Seperti biasa Andrea mahir memancing haru biru juga gelak tawa dengan humor-humornya. Karakter Guru Desi yang kuat menjadi daya pikat novel yang terbit di awal Februari 2020 ini walaupun bab pertamanya terasa membosankan. Tidak ada komentar lain selain ini.

Kemudian, bagaimana cara jitu Guru Desi mengajari matematika kepada Aini? Mampukah Aini seperti pesan Guru Desi kepadanya di suatu hari? “Buatlah sesuatu, supaya aku tak dapat melupakan namamu!” Bisakah Aini masuk fakultas kedokteran?

Tentu, menikmati dengan membaca sendiri novel itu lebih berkesan daripada mendengar akhir ceritanya dari orang lain. Oh ya, ingat dengan kuaci bunga matahari? Melihat pola bunganya, tersembunyi urutan Fibonacci. Matematika juga. Kalau saja guru matematika itu tahu dan saya tak bebal.

Selamat membaca.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
10 Februari 2020

Cara Prediksi Orang Mau Bayar Utang Atau Tidak

$
0
0

Jadi tiga ekonom seperti Kang Oded Netzer, Alan Lemaire, dan Michal Herzenstein ini dari penelitiannya bisa menyimpulkan bahwa orang dapat melunasi utang atau tidak, bisa dilihat dari kata-kata yang disampaikan pengutang kepada pemberi pinjaman. Kata-kata itu jadi prediktor kuat orang ini bisa melunasi utangnya atau tidak.

Nah, tiga orang itu meminta kita menebak dari 10 kata-kata ini mana yang sering digunakan oleh orang yang cuma janji belaka dan mana yang memang sanggup melunasi utangnya.

God
Promise
Debt-free
Minimum-payment
Lower interest rate
Will pay
Graduate
Thank you
After-tax
Hospital 

Daftar di atas terbagi dua kelompok. Lima kata-kata yang sering digunakan oleh yang sering tidak melunasi utangnya dan lima kata-kata yang sering digunakan oleh yang sering melunasi utangnya.

Dari pengalaman, saya menebaknya dengan benar semua. Jawabannya ada di bagian akhir catatan ringan ini.

Ya, semakin sopan dan banyak janji, semakin banyak yang diingkari. Dari penelitian itulah diketahui seseorang yang menyebut Tuhan (God) saat mengajukan permohonan utang, hasilnya 2,2 kali lebih mungkin tidak membayar utang. Ini salah satu indikator tunggal tertinggi bahwa seseorang berniat tidak mengembalikan pinjamannya.

Jangan khawatir, ini cuma kajian akademis saja. Tak semua seperti itu. Mereka para peneliti tahu dari ini akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang terkait etis.

Berikut lima kata-kata yang sering digunakan oleh orang yang melunasi utangnya:

Debt-free
Lower interest rate
After-tax
Minimum payment
Graduate

 

Lima sisanya, mangkir.

***
Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
21 Februari 2020
Gambar hanyalah gula.

Buku Kedua Itu Terbit: Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini

$
0
0

Buat saya menjadi narablog (blogger) itu sudah cukup sebenarnya. Buku pertama saya terbit di tahun 2015 oleh Penerbit Bunyan, Bentang Pustaka saat saya masih di Tapaktuan, Aceh Selatan. Itu juga karena penerbitnya yang kemudian menawarkan kepada saya untuk membukukan tulisan-tulisan saya. Saya persilakan dan selesai.

Lima tahun berlalu, tidak ada yang dilakukan selain untuk terus menulis dan menulis. Dan mas Harris Rinaldi pada sekitar bulan Oktober 2019 datang kepada saya lalu bertanya, “Kapan bukunya terbit?” Ia orang kedua yang bertanya di pekan itu tentang hal yang sama.

Saya tersentak. Terpantik. Akhirnya saya kebut untuk menyeleksi naskah buku yang kemudian pada Februari 2020 ini terbit secara indi. Buku ini berjudul Orang Miskin jangan Mati di Kampung Ini.

Jadi dengan penerbitan indi ini mohon dimaklumi saja kalau pun saya santuy dalam memasarkannya.

Maka dari itu, semoga buku ini menjadi manfaat buat teman-teman saya. Terima kasih kepada semua yang sangat antusias memesan buku ini pada kesempatan pertama. Itu saja sudah melegakan saya.

Sekarang saya memiliki pengalaman baru yang luar biasa dalam memproses kelahiran buku kedua ini. Seperti yang kata mas Anang Anggarjito bilang kepada saya: “Akhirnya masuk dalam level yang lebih tinggi lagi, penulis buku.”

Sebuah pujian yang saya malu untuk mendakunya. Sebabnya saya memiliki keinginan bahwa buku ini bermanfaat dan bergizi buat para pembaca.

Seperti beberapa hal di dalam buku ini:

Di kota kecil ini praktis tidak ada penduduknya—100% imigran Italia—meninggal muda karena serangan jantung atau menunjukkan tanda-tanda penyakit jantung, penyakit luka lambung, tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada penyalahgunaan alkohol, kecanduan obat terlarang, dan sangat sedikit memiliki catatan kejahatan, serta hampir tidak seorang pun yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ternyata mereka memiliki rahasianya. Tiga puluh tahun kemudian dilakukan penelitian lagi di masyarakat itu. Hasilnya berubah secara radikal. Ya, karena mereka merusak sendiri kunci rahasia itu.

Hal lain kita bisa melihat dua negara seperti Cile dan Honduras. Cile perekonomiannya lebih bagus daripada Honduras. Pendapatan orang miskin Cile masih dua kali lipat pendapatan orang miskin di Honduras. Pertanyaannya kemudian diajukan, “Siapa yang lebih bahagia? Orang miskin di Cile atau orang miskin di Honduras?” Logika menjawab tentu orang miskin di Cile. Ternyata salah. Berdasarkan penelitian, yang lebih bahagia adalah mereka orang-orang miskin di Honduras. Apa sebab? Karena jarak pendapatan orang miskin di Honduras dengan pendapatan rata-rata penduduk tidak jauh. Beda dengan yang ada di Cile, jurang pendapatan masyarakatnya menganga lebar. Ujungnya stres dan cemas melulu.

Tetapi kecemasan yang sama dialami juga oleh pasangan yang telah lama menunggu jabang bayi selama 27 tahun dengan penuh kesabaran. Dengan ikhtiar dan beberapa amalan, keajaiban itu terjadi. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi itu menjadi saksi peristiwa pencarian detak jantung janin itu.

Buku sejenis chicken soup ini adalah kumpulan tulisan Riza Almanfaluthi di berbagai media elektronik atau seperti Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaidi katakan, buku ini adalah katalog dari begitu banyak hikmah dalam hidup manusia.

Riza bekerja sebagai aparatur sipil negara di Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Untuk menunjang pekerjaan utamanya dalam mengelola situs web Pajak.go.id dan media sosial Direktorat Jenderal Pajak, narablog di rizaalmanfaluthi.com ini telah mendapat sertifikat kehumasan dengan kompetensi Humas Ahli dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan Lembaga Sertifikasi Profesi London School Public Relations pada 2017.

Pemilik akun Instagram @riza_almanfaluthi ini menyukai menulis sejak menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Tulisannya pernah dimuat di Jawa Pos, Republika, Serambi Indonesia, Berita Pajak, Majalah Pajak, Media Keuangan, e-Magazine DJP, Intax, Pintoe Aceh, dan media lainnya. Aktivitasnya saat ini selain menjadi editor, memberikan pelatihan menulis, dan menjadi juri dalam berbagai lomba menulis, ia mengajar di Politeknik Keuangan Negara STAN.

Untuk pemesanan buku silakan mengisi tautan berikut https://forms.gle/2XtH4KEPG9wqgYVq9 dan sebagai konfirmasi hubungi melalui telepon atau Whatsapp kepada Maulvi Izhharulhaq Almanfaluthi di 087742649595 atau Riza di 0817795050.

Squ, Komikus @pengenjadibaik:
Dulu saya mengenal penulis pertama kali sebagai narablog (blogger) Dedaunan di Ranting Cemara dengan tulisan-tulisannya yang bukan cuma bagus dan enak dibaca, tetapi juga menginspirasi. Dan ketika tahu penulis membukukan tulisan-tulisan lamanya, saya langsung mencari judul Mel di daftar isi. Yes! Ada! Mel adalah salah satu judul tulisannya yang menjadi favorit saya. Membaca dan mengenal gaya menulisnya membuat kita—terutama saya—ingin juga bisa berbagi banyak hal melalui tulisan.

Eko Novianto Nugroho, Penulis Buku:
Saya berulang-ulang mengatakan, menulis adalah satu hal dan buku adalah satu hal lain. Tetapi pada penulis buku ini, sejak awalnya pun, saya bilang dia harus menerbitkan buku. Kapasitasnya berada di ruang atas dari standar kehidupan saya dan kalau saya malu menyarankannya menulis buku, kita akan kehilangan kesempatan menandai cita rasa tulisannya. Alhamdulillah. Semua baik-baik. Dan kita bisa menikmati bukunya sekarang.

Ellina Supendi, Konsultan Keluarga:
Tulisannya ringan, tetapi isinya mendalam. Begitu pikiran saya saat membaca buku Riza Almanfaluthi ini. Membuat saya melakukan permenungan sekaligus terinspirasi. Penulis memang produktif dan aktif di dunia kepenulisan hingga ke urusan pekerjaannya. Perbanyak tulisan seperti ini dan jangan berhenti menulis.

Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini

a. Judul buku : Orang Miskin Jangan Mati di Kampung Ini
b. Penulis : Riza Almanfaluthi
c. Jenis buku : Nonfiksi
d. Kategori : Pengembangan Diri
e. Penerbit : Maghza Pustaka
f. Tahun terbit : Februari 2020
g. Cetakan : Pertama
h. ISBN : 9786025824555
i. Jumlah hal. : 203 halaman
j. Dimensi buku: 14cm x 20,5cm
k. Berat : 200 gram
l. Harga buku : Rp65.000,00 (di luar ongkos kirim).

Viewing all 861 articles
Browse latest View live